Kemampuan menulis kudapat tanpa sengaja saat duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menyukai seorang gadis perempuan teman sekelasku yang—secara misterius dan tanpa sengaja—membuatku secara ajaib berubah. Dulu untuk membuat satu bait puisi saja pusingnya minta ampun. Tapi sekarang, hanya dengan membayangkan gadis itu—gayanya menjawab soal matematika, lekukan tajwidnya yang terdengar menakjubkan saat ia mengaji, atau sekedar membayangkan senyumnya saat kami mengobrol—aku mampu menghasilkan puluhan bait puisi, tanpa berpikir sama sekali! Cinta memang sering membingunkan. Sementara kemampuan aktingku—orang-orang terdekatku bilang tidaklah terlalu buruk. Entah karena tak ingin melukai hatiku atau kasihan padaku, aku tak tahu.
Tiga bulan pendidikan dasar seni peran itu kujalani
dengan baik. Tak lama kemudian, muncul juga aku di layar kaca. Sungguh senang
hatiku. Namun karena masih baru, aku hanya menjadi “orang lewat”, di belakang
sana, di bawah pohon beringin yang gelap, dengan wajah yang lebih sering
diburamkan, serta jarang diperhatikan mata penonton mana pun. Maka dari
kejauhan—diriku yang menyedihkan ini, yang berperan sebagai figuran, yang lebih
sering dibentak-bentak oleh asisten sutradara karena salah melangkah, serta hanya
dibayar beberapa lembar rupiah lusuh dan sekotak nasi dingin—hanya bisa
memandangi dengan lugu artis-artis terkenal yang sedang berakting di sana. Tak apa, mungkin suatu hari, pikirku. Ada
saatnya aku disorot tiga kamera dari angel
yang berbeda, ada saatnya aku berpura-pura dalam tanda kutip—selagi wajahku
disinari lampu-lampu besar nan menyilaukan itu. Ada saatnya untuk semua itu…
Maka sejak saat itu kujalani dengan sepenuh hati
segala kepahitan yang nyata sebagai seorang figuran. Aku pernah dihina,
dibentak dengan kasar, ditertawakan, oleh sebagian dari kru film. Tapi itu
semua tak membuatku patah semangat. Jika tak ada syuting, aku mengikuti audisi dan
casting iklan atau program apa saja.
Meski tak pernah lolos, aku tetap semangat. Suatu hari, aku dan seorang teman,
namanya Yuri, syuting di UI Depok. Kami berangkat pagi-pagi sekali, dan
pulangnya pagi berikutnya—pukul satu dini hari. Kami tak punya kendaraan. Tiap
syuting, uang honor kami yang memang sudah sedikit itu, harus terpotong untuk
ongkos pulang pergi. Tubuh yang seakan remuk ini, tak membuatku sedih. Peluh
yang deras terkuras habis, tak membuatku menyerah. Kami berjalan di bawah sinar
rembulan, ditemani hawa seram pepohonan yang berdiri menjulang di samping
kiri-kanan kami. Kata Yuri, Fakultas Bahasa Jepang ini tempatnya angker. Aku
tak menanggapi, bukan karena takut, tapi pusing memikirkan bagaimana kami
pulang. Jam segini pasti tak ada angkutan umum. Dan benar, tak ada satu pun
kendaraan di jalan raya, yang menurutku hampir mirip hutan itu—gelap dan dingin.
Tiang lampu yang terkesan malas menerangi jalanan yang sepi ini, tampak lesu
memandang kami berdua. Pepohonan di sana pun agaknya bosan dengan hidup mereka
yang sepi, terabaikan. Pagi itu, dini hari itu, kami berjalan kaki dari UI
Depok sampai mendekati daerah sekitar Pasar Minggu. Sebenarnya di tengah jalan
sesekali kami menemukan mobil angkutan kota yang sedang parkir—sopirnya
tertidur di bangku depan. Namun setelah kami bangunkan, yang kami dapat hanya bentakan
atau siraman ampas kopi dari sang sopir. Maka, kami berjalan sampai kaki rasanya
tak sanggup lagi melangkah. Jika dilihat dari kejauhan, kami seperti korban
perampokan—berantakan, berjalan terseok-seok dengan memanggul tas yang kusam,
serta wajah kami kusut masai seperti kucing yang tidur seharian dan bangun
sehabis maghrib. Namun senyum itu, semangat itu, sulit untuk kubuang jauh-jauh.
***
Aku dan beberapa teman satu manajemen menyewa sebuah
rumah untuk ditempati bersama. Keputusan yang tepat meningat uang kami yang
pas-pasan. Rumah yang kami tempati ini, dekat dengan sebuah kolam lele. Jadi
jangan heran, jika berkunjung ke tempat kami tiba-tiba kulitmu diserbu berbagai
jenis nyamuk, dan hidungmu mendeteksi adanya bau tidak sedap yang—secara kurang
ajar—menyelinap masuk tanpa permisi ke dalam perut hingga membuatmu mual.
Berbagai cerita lucu sering kami alami. Misal saat salah seorang teman kami
syuting dengan sepatunya yang kebesaran. Ia pulang kebasahan karena hujan deras
tak bisa dihindari lagi. Jadilah sepatu basah itu menyebarkan bau ke seluruh
penjuru rumah. Malamnya, kami baru bisa tidur setelah menutup hidung
rapat-rapat.
Di tempat inilah aku mengenal dua orang sahabat. Yang
pertama Dira namanya—orang asli Bandung yang bertubuh tambun. Ia lebih tua
dariku, namun wajahnya seperti bayi yang lucu dan menggemaskan. Siapa pun yang
pernah menonton film “King Kong”, pasti akan tahu tokoh Carl Denham, sutradara
licik itu. Dira wajahnya mirip dengan pemeran tokoh tersebut. Namun, Dira bukan
orang yang curang seperti Denham. Dia sahabatku yang paling polos dan lugu. Yang
kedua, namanya Alvin, satu-satunya sahabat yang hobinya sama denganku—membaca
dan menulis. Selama ini—yang kutahu—Dira hobi makan gorengan dan syuting.
Teman-temanku yang lain hobinya melukis, memancing, dan nge-band. Dari obrolan tentang buku-buku
J.K. Rowling, aku dan Alvin semakin akrab. Kami punya banyak kesamaan—sama-sama
perantauan, sama-sama jangkung, sama-sama kurus, sama-sama jarang makan, serta
sama-sama suka membaca. Alvin mengingatkanku pada tokoh Neuville Longbottom, di
film “Harry Potter and The Prisoner of Azkaban”—kurus dan berambut keriting.
***
Waktu terus berlalu. Hobi menulis yang merasuk jiwa
ragaku tetap berjalan—meski hanya kusimpan puisi-puisi itu di dalam “kepala”
dan beberapa sobekan kertas, tak kutunjukkan pada siapa pun, termasuk Alvin.
Namun ada sedikit perubahan positif—aku “naik pangkat”! Aku kini jarang menjadi
figuran. Hari ini aku menjadi “pegawai kantor”, besoknya menjadi “anak band”,
dan besok lusanya besok (maksudnya tiga hari setelah itu)—aku menjadi “dokter”.
Juga masih banyak lagi macam-macam peran dengan dialog. Tergantung kebutuhan.
Ah, senangnya! Meski hanya kulakoni peran satu scene tanpa nama, meski para penonton masih tak peduli
denganku—dengan peran yang tidak penting, meski dialog pendek yang telah susah
payah kuhafal itu kadang menjadi tak berguna karena dibuang editor, meski tak
jarang aku ditipu dengan honor yang sedikit—aku bahagia dan menjalani semua itu
dengan semangat.
***
Semalam suntuk aku tak tidur—memikirkan puisi-puisiku.
Esoknya, kuputuskan untuk mulai mengetik semua hasil tulisan yang selama ini
hanya ada dalam bayanganku dan beberapa sobekan kertas itu. Tak peduli meski
hanya puisi-puisi sederhana. Kalau aku hanya diam, hanya memendam tulisan-tulisan
itu tanpa ada seorang pun yang tahu, mimpiku menjadi penulis perlahan tapi
pasti, akan terkubur. Aku tak mau! Aku ingin terus belajar. Aku punya mimpi
lama, menerbitkan buku—apa pun yang terjadi! Aku akan menyimpan tulisan-tulisan itu dengan baik, begitu pikirku
dalam hati. Sejak itu aku mulai aktif pergi ke warnet, meski hanya mengetik
selembar puisi—karena aku tak punya laptop atau netbook.
Suatu siang kami bertiga—aku, Dira, dan
Alvin—mengobrol. Tiba-tiba Dira—yang memang sudah mengetahui hobiku dan
Alvin—tanpa ragu langsung mengatakan kalau dia ingin menerbitkan buku. Wajahnya
yang tembam, terlihat lucu saat ia mengunyah sepotong cireng. Maka hari itu,
kami ukir bersama mimpi kedua kami—menerbitkan buku! Bukuku tentang seorang
pengamen jalanan, Alvin tentang petualangan penyihir tampan, sedangkan Dira
tentang monster lendir hijau di rumahnya. Kami tertawa bersama. Aku bersyukur,
memikirkan betapa hidup yang susah ini sangatlah indah jika kita hadapi dengan
senyuman. Hanya mimpi dan semangat itulah yang tersisa untuk kami. Hanya itu
yang kami miliki—bukan uang, bukan harta, bukan ketenaran.
***
“Kalau aku jadi penerbit, pasti langsung kutolak.
Tulisanmu ini jelek sekali. Judulnya saja tidak menjual!”
Mendengar itu, hatiku perih menahan sakit yang tak
terkira. Untuk pertama kalinya, aku merasa, mimpiku menjadi seorang penulis
sangatlah jauh. Alvin dengan teganya berkata seperti itu saat kutunjukkan
tulisanku padanya. Kulihat ekspresinya jujur, serius, dan terkendali—bukti
bahwa dia sedang dalam keadaan sadar saat mengatakannya. Aku hanya diam. Di
kamar, kubaca tulisan itu. Dengan rasa kecewa tak tertahankan, kusimpan kertas-kertas
itu di tumpukan bajuku yang paling bawah. Malam itu aku berpikir, bagaimana
sahabat seperjuangan dapat berbuat sejahat itu. Kalau memang tulisanku jelek,
bukan begitu cara dia seharusnya mengkritik. Kujernihkan pikiranku—mengingat
mimpi-mimpi itu, semangat itu, rasa lelah itu, serta senyuman demi mendamaikan
hati dari kerasnya hidup. Aku tertidur ditemani suara gerimis di kolam yang bau
itu, ditemani dengung nyamuk yang merisaukan, di atas selembar kasur tipis.
Dalam dingin malam aku meringkuk seorang diri.
***
Tawaran syuting mulai sepi. Benar kata seorang teman,
penghasilan di bidang ini naik turun. Apalagi aku masih pemula, aku masih belum
apa-apa. Aku seperti kurcaci di tengah kerumunan raksasa, yang sibuk dengan
urusan mereka masing-masing. Penghasilan sebagai artis figuran setengah
dialog—istilah yang kami buat sendiri—tak seperti yang orang luar sana
bayangkan. Lumayan sebenarnya untuk ditabung, tapi karena entah aku yang kurang
pintar atau terlalu mudah ditipu—uang yang kudapat hanya sedikit. Dipotong
ini-itu, kata seorang kenalan atau agency
yang biasa mengajakku syuting. Sedikit demi sedikit, uang itu kutabung untuk
membeli sebuah laptop atau netbook—demi
menghemat waktu dan tenaga. Karena dengan alat ajaib itu, aku bisa mengetik
kapan pun aku mau. Di tengah keadaan yang serba sulit, yang membuat dompet
semakin menipis dan perut tersiksa menahan lapar—aku tetap pergi ke warnet
untuk mengetik dan menyimpan tulisanku di flashdisk,
sembari menahan rasa kecewa atas perkataan Alvin tempo hari. Tapi aku tak menyalahkannya.
Hubungan kami tetap baik. Aku hanya tak mengerti, mengapa ia setega itu padaku.
Selama ini kami memegang teguh mimpi yang sama.
Yang berikutnya kulakukan adalah mencari pekerjaan. Syuting
masih sepi, uang menipis. Tak ada pilihan lain. Alvin juga ingin kerja. Ia
bilang sudah bosan syuting. Sementara Dira, sama denganku—krisis keuangan. Maka
takkan kulupa, saat kami bertiga, dengan gagah berani membawa masing-masing
tiga buah amplop di tangan—di ketiak lebih tepatnya. Amplop-amplop itu berisi
surat lamaran pekerjaan. Beruntung cuaca agak mendung, karena jika cuaca hari
itu panas, amplop yang kami bawa pasti basah—semua orang tahu itu. Pagi itu
kami berangkat ke sebuah bursa kerja di daerah Salemba. Seminggu kemudian aku
dan Dira mendapat panggilan interview di
sebuah perusahaan yang menjual alat bantu kesehatan. Sementara Alvin, belum
mendapat telepon dari perusahaan tempat ia melamar kerja. Ia pun kembali
syuting. Setelah dua hari wawancara dan tes tulis, kami mendapat pengumuman. Dira
tidak lolos. Ia lalu memutuskan pulang ke Bandung, mencari kerja di sana.
“Mungkin kalau ada kesempatan, kita bertemu lagi.
Berkumpul lagi seperti dulu…”
Kudengar kata-kata terakhir darinya. Maka tinggallah aku
sendiri, menjalani masa pelatihan selama sebulan penuh. Aku senang karena
diterima bekerja, namun sedih memikirkan dua sahabatku itu. Mengapa hanya aku yang diterima?
***
Semangatku meroket demi tujuan itu—membeli “alat ajaib”.
Tapi tabunganku terus berkurang, untuk keperluan sehari-hari. Maka aku berjuang
mati-matian selama satu bulan masa pelatihan itu—dan merelakan malam tahun baru
di Monas. Sejak awal menginjak Jakarta, aku ingin sekali ke Monas, tapi belum
sempat. Selama ini aku hanya melihatnya langsung dari kejauhan, tak pernah menyentuhnya
sama sekali. Tak apa meski hanya sekali saja, aku ingin memeluk Monas, memeluk
monumen hebat itu. Namun, saat teman-teman berangkat ke sana merayakan malam
tahun baru. Aku seorang diri belajar buku pelatihan, mempersiapkan diri untuk
tes-tes berikutnya. Mungkin, ada saatnya
aku memelukmu, Monas….
Jadilah seperti ini. Aku bangun subuh-subuh, saat
teman-teman baru menuju ke peraduan karena semalam syuting. Selesai sholat aku
langsung bersiap berangkat ke Jakarta Barat, ke tempat training. Aku harus berangkat pagi-pagi jika tak ingin terlambat,
karena rumah kontrakan kami berada di daerah Jakarta Selatan. Lumayan
jauh—harus tiga kali oper kendaraan umum. Dinginnya udara pagi menyiksa lidahku
yang sariawan. Gerimis atau hujan membuat perjalanan ini semakin sulit. Berdesak-desakan
di dalam metromini yang jumlahnya tak terlalu banyak, sementara penumpangnya
selalu membeludak—penuh sampai tak ada lagi celah untuk berdiri, berjalan di
dalamnya pun sulit—adalah sarapan pagi untukku. Kemacetan yang tidak wajar dari
daerah Pondok Indah sampai perempatan Slipi tujuanku, adalah kopi hangatku.
Sementara pusing dan mual sesampai di tempat tujuan sekitar pukul tujuh pagi,
adalah akibat berani berpetualang di ibukota tanpa sesuap nasi. Setelah
seharian kujalani tes dengan baik, maka sore itu juga aku harus menyiapkan diri
dengan horor berikutnya. Perjalanan pulang tak kalah sulit. Aku kembali
berdesak-desakan di dalam metromini. Itulah mengapa tubuh kurusku ini selalu
hangat meski hujan turun. Kemacetan saat pulang lebih parah. Hampir tengah
malam aku baru sampai di rumah kontrakan. Kubersihkan diri, dan berusaha tidur
dengan suara berisik teman-temanku. Tubuhku pun sudah terbiasa dengan nyamuk
dan hawa dingin di tempat kami. Kabar baiknya adalah, besoknya semua itu
terulang kembali—selama satu bulan. Tapi tak kurasakan semua itu. Tak apa aku
berhenti dulu di dunia seni peran—salah satu mimpiku—demi membeli sebuah alat
ajaib, demi menerbitkan sebuah buku, meski hanya kumpulan puisi sederhana. Aku
hanya seorang anak kos dengan penghasilan tak menentu, yang sehari-hari tidur dengan
nyamuk, beralaskan kasur setebal satu setengah inci, serta kedinginan oleh bau
kolam ikan sehabis hujan. Tiap detik aku berdoa agar mimpi itu menjadi nyata.
Itulah yang membuatku bersemangat. Bulan itu, bulan Desember. Bulan yang
memiliki arti tersendiri di hatiku.
***
Aku bekerja dengan sangat baik, sampai-sampai seorang
kepala cabang yang terkenal dingin dan tak banyak bicara itu, menjadi akrab
denganku. Namun semua rasanya begitu cepat. Aku hanya bertahan selama beberapa
bulan. Orangtuaku di Surabaya memberi kabar bahwa Kakekku meninggal dunia.
Kakek yang dulu selalu mengajariku menggambar kuda, memakai arloji, serta
mengikat bendera itu—kini telah tiada. Perih hatiku, dan semakin berat rasanya
saat kubaca surat dari kantor pusat, yang isinya mengatakan bahwa besok lusa,
aku harus berangkat ke Kalimantan—mutasi selama dua tahun, dan hanya boleh
pulang setahun sekali saat lebaran. Aku harus memilih, antara keluarga atau
pekerjaan. Tiap sholat, aku berdoa, minta petunjuk. Akhirnya kuputuskan untuk
pulang. Kutinggalkan surat itu di kamarku. Biar diambil nyamuk. Biar diambil
dingin dan bau kolam ikan lele itu.
Kubuka tabunganku. Setelah kupakai untuk berbagai keperluan,
kuhitung kembali. Ternyata belum cukup untuk membeli sebuah alat ajaib yang
selama ini kudambakan. Tapi aku tak melepas mimpi dan semangatku. Terlalu lama
mereka kupegang, hingga tak sanggup kubiarkan pergi begitu saja. Kubuka
lembaran puisiku. Aku takkan berhenti!
Kuciumi bau rumah kontrakan kami—tempat sempit yang memberi banyak pelajaran
untukku: perjuangan, semangat, dan keteguhan hati. Di pojok sana, koper-koper
kami tergeletak menyedihkan. Baju-baju kami berantakan, dilipat sekenanya,
karena kami tak punya setrika. Puntung rokok berkeliaran, di ruang tamu
sekaligus ruang mengobrol bagi kami, meski aku dan kebanyakan dari kami bukan
perokok. Temanku Sang Pelukis itu memang perokok berat. Kupandangi
teman-temanku yang terlelap—kelelahan karena semalam “bekerja”. Matahari terasa
hangat, sinarnya bersembunyi, mengintip malu di antara handuk dan pakaian kami
yang digantung di depan rumah. Sesekali terdengar suara pemilik rumah sedang
bercanda dengan ibu-ibu tetangga kami. Nyanyian pedagang sayur terkadang turut
serta, menghiasi pagi yang sunyi di tempat itu.
***
Alvin sudah pindah ke Jakarta Pusat. Kini ia bekerja
di showroom mobil. Sementara Dira, bekerja
di sebuah rumah makan di Bandung. Aku yang keras kepala, Dira yang polos, serta
Alvin yang cerewet—satu perpaduan unik yang membuat kami semakin akrab.
Kami—digarisbawahi—adalah sebuah persahabatan.
“Nanti kita syuting lagi, ya. Setelah pulang kampung
ini, kita berjuang lagi. Meski sulit, meski hanya figuran setengah dialog. Kita
adakan lomba persahabatan. Siapa yang lebih dulu menerbitkan buku, dia yang
menang, dan harus memberikan bukunya secara gratis untuk yang kalah. Punya
Rangga judulnya ‘Gitar Bang Arman’, kalau Alvin judulnya ‘Penyihir Negeri Bunga
Merah’. Kalau punyaku judulnya apa, ya? Oh, ya! Punyaku judulnya ‘Ada Monster
Di Rumahku’! Pasti best seller!”
Begitu Dira berkata, dengan suara khasnya yang mirip
suara Patrick di film kartun “Spongebob Squarepants”. Kami bertiga tertawa
bersama. Monas dan suara kecipak ikan lele di luar sana menjadi saksi.
Ikan-ikan itu menggelepar. Ekornya yang besar membuat air kotor itu terciprat,
membasahi sepatu Dira yang dijemur di atasnya.
-SELESAI-
NB :
Cerpen
ini diangkat dari kisah nyata. Tempat kejadian sesuai dengan aslinya. Namun
nama beberapa tokoh di dalamnya sengaja disamarkan untuk menjaga privasi.
Ceritanya menggugah! Menarik sekali Mas Ken perjuangan yang luar biasa! Usaha keras itu tidak kan pernah mengingkari ;) Keep spirit!
ReplyDeleteSip. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. :)
ReplyDelete