Skip to main content

"Jakarta Bulan Desember" oleh Ken Hanggara


 Sebenarnya sudah lama—sejak aku SMP—aku ingin ke Jakarta, ingin melihat dan menyentuh Monas yang terkenal itu. Maka selesai sekolah, aku merantau ke Jakarta. Aku mendaftar ke sebuah manajemen artis, dan mendapat pendidikan dasar seni peran—bagaimana melatih pernafasan, konsentrasi, ekspresi, dan lain sebagainya. Aku sangat serius menjalaninya karena—selain bercita-cita menjadi seorang penulis—aku juga ingin menjadi seorang bintang film, atau setidaknya penulis skenario.
Kemampuan menulis kudapat tanpa sengaja saat duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menyukai seorang gadis perempuan teman sekelasku yang—secara misterius dan tanpa sengaja—membuatku secara ajaib berubah. Dulu untuk membuat satu bait puisi saja pusingnya minta ampun. Tapi sekarang, hanya dengan membayangkan gadis itu—gayanya menjawab soal matematika, lekukan tajwidnya yang terdengar menakjubkan saat ia mengaji, atau sekedar membayangkan senyumnya saat kami mengobrol—aku mampu menghasilkan puluhan bait puisi, tanpa berpikir sama sekali! Cinta memang sering membingunkan. Sementara kemampuan aktingku—orang-orang terdekatku bilang tidaklah terlalu buruk. Entah karena tak ingin melukai hatiku atau kasihan padaku, aku tak tahu.
Tiga bulan pendidikan dasar seni peran itu kujalani dengan baik. Tak lama kemudian, muncul juga aku di layar kaca. Sungguh senang hatiku. Namun karena masih baru, aku hanya menjadi “orang lewat”, di belakang sana, di bawah pohon beringin yang gelap, dengan wajah yang lebih sering diburamkan, serta jarang diperhatikan mata penonton mana pun. Maka dari kejauhan—diriku yang menyedihkan ini, yang berperan sebagai figuran, yang lebih sering dibentak-bentak oleh asisten sutradara karena salah melangkah, serta hanya dibayar beberapa lembar rupiah lusuh dan sekotak nasi dingin—hanya bisa memandangi dengan lugu artis-artis terkenal yang sedang berakting di sana. Tak apa, mungkin suatu hari, pikirku. Ada saatnya aku disorot tiga kamera dari angel yang berbeda, ada saatnya aku berpura-pura dalam tanda kutip—selagi wajahku disinari lampu-lampu besar nan menyilaukan itu. Ada saatnya untuk semua itu…
Maka sejak saat itu kujalani dengan sepenuh hati segala kepahitan yang nyata sebagai seorang figuran. Aku pernah dihina, dibentak dengan kasar, ditertawakan, oleh sebagian dari kru film. Tapi itu semua tak membuatku patah semangat. Jika tak ada syuting, aku mengikuti audisi dan casting iklan atau program apa saja. Meski tak pernah lolos, aku tetap semangat. Suatu hari, aku dan seorang teman, namanya Yuri, syuting di UI Depok. Kami berangkat pagi-pagi sekali, dan pulangnya pagi berikutnya—pukul satu dini hari. Kami tak punya kendaraan. Tiap syuting, uang honor kami yang memang sudah sedikit itu, harus terpotong untuk ongkos pulang pergi. Tubuh yang seakan remuk ini, tak membuatku sedih. Peluh yang deras terkuras habis, tak membuatku menyerah. Kami berjalan di bawah sinar rembulan, ditemani hawa seram pepohonan yang berdiri menjulang di samping kiri-kanan kami. Kata Yuri, Fakultas Bahasa Jepang ini tempatnya angker. Aku tak menanggapi, bukan karena takut, tapi pusing memikirkan bagaimana kami pulang. Jam segini pasti tak ada angkutan umum. Dan benar, tak ada satu pun kendaraan di jalan raya, yang menurutku hampir mirip hutan itu—gelap dan dingin. Tiang lampu yang terkesan malas menerangi jalanan yang sepi ini, tampak lesu memandang kami berdua. Pepohonan di sana pun agaknya bosan dengan hidup mereka yang sepi, terabaikan. Pagi itu, dini hari itu, kami berjalan kaki dari UI Depok sampai mendekati daerah sekitar Pasar Minggu. Sebenarnya di tengah jalan sesekali kami menemukan mobil angkutan kota yang sedang parkir—sopirnya tertidur di bangku depan. Namun setelah kami bangunkan, yang kami dapat hanya bentakan atau siraman ampas kopi dari sang sopir. Maka, kami berjalan sampai kaki rasanya tak sanggup lagi melangkah. Jika dilihat dari kejauhan, kami seperti korban perampokan—berantakan, berjalan terseok-seok dengan memanggul tas yang kusam, serta wajah kami kusut masai seperti kucing yang tidur seharian dan bangun sehabis maghrib. Namun senyum itu, semangat itu, sulit untuk kubuang jauh-jauh.
***
Aku dan beberapa teman satu manajemen menyewa sebuah rumah untuk ditempati bersama. Keputusan yang tepat meningat uang kami yang pas-pasan. Rumah yang kami tempati ini, dekat dengan sebuah kolam lele. Jadi jangan heran, jika berkunjung ke tempat kami tiba-tiba kulitmu diserbu berbagai jenis nyamuk, dan hidungmu mendeteksi adanya bau tidak sedap yang—secara kurang ajar—menyelinap masuk tanpa permisi ke dalam perut hingga membuatmu mual. Berbagai cerita lucu sering kami alami. Misal saat salah seorang teman kami syuting dengan sepatunya yang kebesaran. Ia pulang kebasahan karena hujan deras tak bisa dihindari lagi. Jadilah sepatu basah itu menyebarkan bau ke seluruh penjuru rumah. Malamnya, kami baru bisa tidur setelah menutup hidung rapat-rapat.
Di tempat inilah aku mengenal dua orang sahabat. Yang pertama Dira namanya—orang asli Bandung yang bertubuh tambun. Ia lebih tua dariku, namun wajahnya seperti bayi yang lucu dan menggemaskan. Siapa pun yang pernah menonton film “King Kong”, pasti akan tahu tokoh Carl Denham, sutradara licik itu. Dira wajahnya mirip dengan pemeran tokoh tersebut. Namun, Dira bukan orang yang curang seperti Denham. Dia sahabatku yang paling polos dan lugu. Yang kedua, namanya Alvin, satu-satunya sahabat yang hobinya sama denganku—membaca dan menulis. Selama ini—yang kutahu—Dira hobi makan gorengan dan syuting. Teman-temanku yang lain hobinya melukis, memancing, dan nge-band. Dari obrolan tentang buku-buku J.K. Rowling, aku dan Alvin semakin akrab. Kami punya banyak kesamaan—sama-sama perantauan, sama-sama jangkung, sama-sama kurus, sama-sama jarang makan, serta sama-sama suka membaca. Alvin mengingatkanku pada tokoh Neuville Longbottom, di film “Harry Potter and The Prisoner of Azkaban”—kurus dan berambut keriting.
***
Waktu terus berlalu. Hobi menulis yang merasuk jiwa ragaku tetap berjalan—meski hanya kusimpan puisi-puisi itu di dalam “kepala” dan beberapa sobekan kertas, tak kutunjukkan pada siapa pun, termasuk Alvin. Namun ada sedikit perubahan positif—aku “naik pangkat”! Aku kini jarang menjadi figuran. Hari ini aku menjadi “pegawai kantor”, besoknya menjadi “anak band”, dan besok lusanya besok (maksudnya tiga hari setelah itu)—aku menjadi “dokter”. Juga masih banyak lagi macam-macam peran dengan dialog. Tergantung kebutuhan. Ah, senangnya! Meski hanya kulakoni peran satu scene tanpa nama, meski para penonton masih tak peduli denganku—dengan peran yang tidak penting, meski dialog pendek yang telah susah payah kuhafal itu kadang menjadi tak berguna karena dibuang editor, meski tak jarang aku ditipu dengan honor yang sedikit—aku bahagia dan menjalani semua itu dengan semangat.
***
Semalam suntuk aku tak tidur—memikirkan puisi-puisiku. Esoknya, kuputuskan untuk mulai mengetik semua hasil tulisan yang selama ini hanya ada dalam bayanganku dan beberapa sobekan kertas itu. Tak peduli meski hanya puisi-puisi sederhana. Kalau aku hanya diam, hanya memendam tulisan-tulisan itu tanpa ada seorang pun yang tahu, mimpiku menjadi penulis perlahan tapi pasti, akan terkubur. Aku tak mau! Aku ingin terus belajar. Aku punya mimpi lama, menerbitkan buku—apa pun yang terjadi! Aku akan menyimpan tulisan-tulisan itu dengan baik, begitu pikirku dalam hati. Sejak itu aku mulai aktif pergi ke warnet, meski hanya mengetik selembar puisi—karena aku tak punya laptop atau netbook.
Suatu siang kami bertiga—aku, Dira, dan Alvin—mengobrol. Tiba-tiba Dira—yang memang sudah mengetahui hobiku dan Alvin—tanpa ragu langsung mengatakan kalau dia ingin menerbitkan buku. Wajahnya yang tembam, terlihat lucu saat ia mengunyah sepotong cireng. Maka hari itu, kami ukir bersama mimpi kedua kami—menerbitkan buku! Bukuku tentang seorang pengamen jalanan, Alvin tentang petualangan penyihir tampan, sedangkan Dira tentang monster lendir hijau di rumahnya. Kami tertawa bersama. Aku bersyukur, memikirkan betapa hidup yang susah ini sangatlah indah jika kita hadapi dengan senyuman. Hanya mimpi dan semangat itulah yang tersisa untuk kami. Hanya itu yang kami miliki—bukan uang, bukan harta, bukan ketenaran.
***
“Kalau aku jadi penerbit, pasti langsung kutolak. Tulisanmu ini jelek sekali. Judulnya saja tidak menjual!”
Mendengar itu, hatiku perih menahan sakit yang tak terkira. Untuk pertama kalinya, aku merasa, mimpiku menjadi seorang penulis sangatlah jauh. Alvin dengan teganya berkata seperti itu saat kutunjukkan tulisanku padanya. Kulihat ekspresinya jujur, serius, dan terkendali—bukti bahwa dia sedang dalam keadaan sadar saat mengatakannya. Aku hanya diam. Di kamar, kubaca tulisan itu. Dengan rasa kecewa tak tertahankan, kusimpan kertas-kertas itu di tumpukan bajuku yang paling bawah. Malam itu aku berpikir, bagaimana sahabat seperjuangan dapat berbuat sejahat itu. Kalau memang tulisanku jelek, bukan begitu cara dia seharusnya mengkritik. Kujernihkan pikiranku—mengingat mimpi-mimpi itu, semangat itu, rasa lelah itu, serta senyuman demi mendamaikan hati dari kerasnya hidup. Aku tertidur ditemani suara gerimis di kolam yang bau itu, ditemani dengung nyamuk yang merisaukan, di atas selembar kasur tipis. Dalam dingin malam aku meringkuk seorang diri.
***
Tawaran syuting mulai sepi. Benar kata seorang teman, penghasilan di bidang ini naik turun. Apalagi aku masih pemula, aku masih belum apa-apa. Aku seperti kurcaci di tengah kerumunan raksasa, yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Penghasilan sebagai artis figuran setengah dialog—istilah yang kami buat sendiri—tak seperti yang orang luar sana bayangkan. Lumayan sebenarnya untuk ditabung, tapi karena entah aku yang kurang pintar atau terlalu mudah ditipu—uang yang kudapat hanya sedikit. Dipotong ini-itu, kata seorang kenalan atau agency yang biasa mengajakku syuting. Sedikit demi sedikit, uang itu kutabung untuk membeli sebuah laptop atau netbook—demi menghemat waktu dan tenaga. Karena dengan alat ajaib itu, aku bisa mengetik kapan pun aku mau. Di tengah keadaan yang serba sulit, yang membuat dompet semakin menipis dan perut tersiksa menahan lapar—aku tetap pergi ke warnet untuk mengetik dan menyimpan tulisanku di flashdisk, sembari menahan rasa kecewa atas perkataan Alvin tempo hari. Tapi aku tak menyalahkannya. Hubungan kami tetap baik. Aku hanya tak mengerti, mengapa ia setega itu padaku. Selama ini kami memegang teguh mimpi yang sama.
Yang berikutnya kulakukan adalah mencari pekerjaan. Syuting masih sepi, uang menipis. Tak ada pilihan lain. Alvin juga ingin kerja. Ia bilang sudah bosan syuting. Sementara Dira, sama denganku—krisis keuangan. Maka takkan kulupa, saat kami bertiga, dengan gagah berani membawa masing-masing tiga buah amplop di tangan—di ketiak lebih tepatnya. Amplop-amplop itu berisi surat lamaran pekerjaan. Beruntung cuaca agak mendung, karena jika cuaca hari itu panas, amplop yang kami bawa pasti basah—semua orang tahu itu. Pagi itu kami berangkat ke sebuah bursa kerja di daerah Salemba. Seminggu kemudian aku dan Dira mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan yang menjual alat bantu kesehatan. Sementara Alvin, belum mendapat telepon dari perusahaan tempat ia melamar kerja. Ia pun kembali syuting. Setelah dua hari wawancara dan tes tulis, kami mendapat pengumuman. Dira tidak lolos. Ia lalu memutuskan pulang ke Bandung, mencari kerja di sana.
“Mungkin kalau ada kesempatan, kita bertemu lagi. Berkumpul lagi seperti dulu…”
Kudengar kata-kata terakhir darinya. Maka tinggallah aku sendiri, menjalani masa pelatihan selama sebulan penuh. Aku senang karena diterima bekerja, namun sedih memikirkan dua sahabatku itu. Mengapa hanya aku yang diterima?
***
Semangatku meroket demi tujuan itu—membeli “alat ajaib”. Tapi tabunganku terus berkurang, untuk keperluan sehari-hari. Maka aku berjuang mati-matian selama satu bulan masa pelatihan itu—dan merelakan malam tahun baru di Monas. Sejak awal menginjak Jakarta, aku ingin sekali ke Monas, tapi belum sempat. Selama ini aku hanya melihatnya langsung dari kejauhan, tak pernah menyentuhnya sama sekali. Tak apa meski hanya sekali saja, aku ingin memeluk Monas, memeluk monumen hebat itu. Namun, saat teman-teman berangkat ke sana merayakan malam tahun baru. Aku seorang diri belajar buku pelatihan, mempersiapkan diri untuk tes-tes berikutnya. Mungkin, ada saatnya aku memelukmu, Monas….
Jadilah seperti ini. Aku bangun subuh-subuh, saat teman-teman baru menuju ke peraduan karena semalam syuting. Selesai sholat aku langsung bersiap berangkat ke Jakarta Barat, ke tempat training. Aku harus berangkat pagi-pagi jika tak ingin terlambat, karena rumah kontrakan kami berada di daerah Jakarta Selatan. Lumayan jauh—harus tiga kali oper kendaraan umum. Dinginnya udara pagi menyiksa lidahku yang sariawan. Gerimis atau hujan membuat perjalanan ini semakin sulit. Berdesak-desakan di dalam metromini yang jumlahnya tak terlalu banyak, sementara penumpangnya selalu membeludak—penuh sampai tak ada lagi celah untuk berdiri, berjalan di dalamnya pun sulit—adalah sarapan pagi untukku. Kemacetan yang tidak wajar dari daerah Pondok Indah sampai perempatan Slipi tujuanku, adalah kopi hangatku. Sementara pusing dan mual sesampai di tempat tujuan sekitar pukul tujuh pagi, adalah akibat berani berpetualang di ibukota tanpa sesuap nasi. Setelah seharian kujalani tes dengan baik, maka sore itu juga aku harus menyiapkan diri dengan horor berikutnya. Perjalanan pulang tak kalah sulit. Aku kembali berdesak-desakan di dalam metromini. Itulah mengapa tubuh kurusku ini selalu hangat meski hujan turun. Kemacetan saat pulang lebih parah. Hampir tengah malam aku baru sampai di rumah kontrakan. Kubersihkan diri, dan berusaha tidur dengan suara berisik teman-temanku. Tubuhku pun sudah terbiasa dengan nyamuk dan hawa dingin di tempat kami. Kabar baiknya adalah, besoknya semua itu terulang kembali—selama satu bulan. Tapi tak kurasakan semua itu. Tak apa aku berhenti dulu di dunia seni peran—salah satu mimpiku—demi membeli sebuah alat ajaib, demi menerbitkan sebuah buku, meski hanya kumpulan puisi sederhana. Aku hanya seorang anak kos dengan penghasilan tak menentu, yang sehari-hari tidur dengan nyamuk, beralaskan kasur setebal satu setengah inci, serta kedinginan oleh bau kolam ikan sehabis hujan. Tiap detik aku berdoa agar mimpi itu menjadi nyata. Itulah yang membuatku bersemangat. Bulan itu, bulan Desember. Bulan yang memiliki arti tersendiri di hatiku.
***
Aku bekerja dengan sangat baik, sampai-sampai seorang kepala cabang yang terkenal dingin dan tak banyak bicara itu, menjadi akrab denganku. Namun semua rasanya begitu cepat. Aku hanya bertahan selama beberapa bulan. Orangtuaku di Surabaya memberi kabar bahwa Kakekku meninggal dunia. Kakek yang dulu selalu mengajariku menggambar kuda, memakai arloji, serta mengikat bendera itu—kini telah tiada. Perih hatiku, dan semakin berat rasanya saat kubaca surat dari kantor pusat, yang isinya mengatakan bahwa besok lusa, aku harus berangkat ke Kalimantan—mutasi selama dua tahun, dan hanya boleh pulang setahun sekali saat lebaran. Aku harus memilih, antara keluarga atau pekerjaan. Tiap sholat, aku berdoa, minta petunjuk. Akhirnya kuputuskan untuk pulang. Kutinggalkan surat itu di kamarku. Biar diambil nyamuk. Biar diambil dingin dan bau kolam ikan lele itu.
Kubuka tabunganku. Setelah kupakai untuk berbagai keperluan, kuhitung kembali. Ternyata belum cukup untuk membeli sebuah alat ajaib yang selama ini kudambakan. Tapi aku tak melepas mimpi dan semangatku. Terlalu lama mereka kupegang, hingga tak sanggup kubiarkan pergi begitu saja. Kubuka lembaran puisiku. Aku takkan berhenti! Kuciumi bau rumah kontrakan kami—tempat sempit yang memberi banyak pelajaran untukku: perjuangan, semangat, dan keteguhan hati. Di pojok sana, koper-koper kami tergeletak menyedihkan. Baju-baju kami berantakan, dilipat sekenanya, karena kami tak punya setrika. Puntung rokok berkeliaran, di ruang tamu sekaligus ruang mengobrol bagi kami, meski aku dan kebanyakan dari kami bukan perokok. Temanku Sang Pelukis itu memang perokok berat. Kupandangi teman-temanku yang terlelap—kelelahan karena semalam “bekerja”. Matahari terasa hangat, sinarnya bersembunyi, mengintip malu di antara handuk dan pakaian kami yang digantung di depan rumah. Sesekali terdengar suara pemilik rumah sedang bercanda dengan ibu-ibu tetangga kami. Nyanyian pedagang sayur terkadang turut serta, menghiasi pagi yang sunyi di tempat itu.
***
Alvin sudah pindah ke Jakarta Pusat. Kini ia bekerja di showroom mobil. Sementara Dira, bekerja di sebuah rumah makan di Bandung. Aku yang keras kepala, Dira yang polos, serta Alvin yang cerewet—satu perpaduan unik yang membuat kami semakin akrab. Kami—digarisbawahi—adalah sebuah persahabatan.
“Nanti kita syuting lagi, ya. Setelah pulang kampung ini, kita berjuang lagi. Meski sulit, meski hanya figuran setengah dialog. Kita adakan lomba persahabatan. Siapa yang lebih dulu menerbitkan buku, dia yang menang, dan harus memberikan bukunya secara gratis untuk yang kalah. Punya Rangga judulnya ‘Gitar Bang Arman’, kalau Alvin judulnya ‘Penyihir Negeri Bunga Merah’. Kalau punyaku judulnya apa, ya? Oh, ya! Punyaku judulnya ‘Ada Monster Di Rumahku’! Pasti best seller!”
Begitu Dira berkata, dengan suara khasnya yang mirip suara Patrick di film kartun “Spongebob Squarepants”. Kami bertiga tertawa bersama. Monas dan suara kecipak ikan lele di luar sana menjadi saksi. Ikan-ikan itu menggelepar. Ekornya yang besar membuat air kotor itu terciprat, membasahi sepatu Dira yang dijemur di atasnya.

-SELESAI-

NB :
Cerpen ini diangkat dari kisah nyata. Tempat kejadian sesuai dengan aslinya. Namun nama beberapa tokoh di dalamnya sengaja disamarkan untuk menjaga privasi.

Comments

  1. Ceritanya menggugah! Menarik sekali Mas Ken perjuangan yang luar biasa! Usaha keras itu tidak kan pernah mengingkari ;) Keep spirit!

    ReplyDelete
  2. Sip. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri