Dulu tak terlintas sedikit pun di benak saya,
untuk menulis sebuah buku antologi puisi tunggal. Awalnya, saya menulis
puisi-puisi sederhana itu hanya sebagai cara untuk merekam satu jalan cerita
yang saya rasakan, imajinasikan, atau lihat. Saya sendiri tak ingat puisi
pertama yang 'berhasil' saya tulis seperti apa. Itu terjadi kurang lebih
sekitar lima tahun lalu,
akhir Desember 2007, saat saya masih duduk di bangku SMA. Entah dari mana kemampuan mengolah imajinasi dan pengalaman menjadi sebuah puisi. Yang saya tahu, saya mulai menulis puisi ketika sedang jatuh cinta. Begitulah hidup. Ada tahap-tahap yang serupa dengan anak tangga. Tak mungkin seseorang mampu berdiri di atas sebuah gedung tanpa mendaki terlebih dulu satu persatu anak tangga. Semua butuh proses. Sejak itulah saya mulai belajar.
akhir Desember 2007, saat saya masih duduk di bangku SMA. Entah dari mana kemampuan mengolah imajinasi dan pengalaman menjadi sebuah puisi. Yang saya tahu, saya mulai menulis puisi ketika sedang jatuh cinta. Begitulah hidup. Ada tahap-tahap yang serupa dengan anak tangga. Tak mungkin seseorang mampu berdiri di atas sebuah gedung tanpa mendaki terlebih dulu satu persatu anak tangga. Semua butuh proses. Sejak itulah saya mulai belajar.
Singkat cerita, dari banyaknya puisi yang saya
hasilkan, tak ada satu pun yang menggoda hati ini untuk mengirimnya ke media.
Jadi, puisi-puisi itu hanya mendekam di dalam memori handphone atau lembaran
kertas bekas buku tulis tak terpakai--karena seumur-umur saya tak pernah
mempunyai komputer di rumah.
Beberapa sahabat di kelas yang mengetahui hobi
baru saya, mulai mendukung. Salah satunya, yang paling dekat dengan saya,
sampai membagi beberapa lembar kertas berwarna dengan gambar bunga dan ikan.
Baunya pun wangi. Agar jika saya ingin sesuatu yang romantis, dapat menulis
puisi di sana lalu mengirimkannya pada gadis berkerudung yang saya sukai itu.
Sahabat saya yang juga berkerudung ini tahu betul cara untuk membuat segala
sesuatunya menjadi penuh makna. Sayangnya, tak pernah sekali pun kertas itu
saya sentuh karena bingung bagaimana menyerahkan puisi itu nanti. Jadilah
kertas itu saya simpan di kamar, di antara tumpukan buku pelajaran. Sampai
sekarang kertas ini masih ada, terselip di antara buku catatan rumus Fisika,
naskah drama "Andhe-Andhe Lumut" yang pernah saya mainkan di depan
kelas, serta album kenangan masa SMP dan SMA. Hanya saja baunya tak seharum
dulu.
Lulus SMA, saya tak lagi menulis. Saya merantau,
jauh dari keluarga dan inspirasi yang menemani saya selama ini. Berhentilah
jemari ini mengukir puisi. Sampai suatu waktu saya mengenal seorang sahabat.
Dari situlah saya pun menyadari soal hobi membaca dan menulis yang juga dia miliki.
Sejak saat itu saya bertekad untuk 'benar-benar' menghasilkan sebuah buku.
Saya pun banting tulang demi membeli sebuah
laptop. Selama laptop belum terbeli, saya salin beberapa judul puisi yang
'tersisa di kepala'---di sebuah komputer usang di warnet. Puisi-puisi lama yang
dulu saya tulis, hilang. Entah berapa judul. Penyebabnya adalah handphone butut
saya dipinjam seorang teman. Dia pamit ke luar kota namun tak pernah kembali.
Satu persatu masalah yang datang tak menghapus
mimpi saya. Namun saat itu yang terpikir adalah saya ingin menulis sebuah novel
tentang kehidupan seorang pengamen jalanan. Tak ada bayangan tentang antologi
puisi. Padahal selama ini hanya puisi yang saya hasilkan meski barisan kata
yang tertuang amatlah sederhana. Tak pernah sekali pun saya menulis sebuah
cerita. Lalu bagaimana?
***
Waktu perlahan mengantar sebuah perubahan dalam
diri saya. Entah bagaimana awalnya hati saya tergerak untuk mencari info
perlombaan di internet. Ini terjadi sekitar Mei 2012. Akhirnya saya masuk dunia
pena. Tulisan pertama saya untuk lomba adalah sebuah artikel berjudul
"Internet di Indonesia serta Perannya Dalam Setiap Segi Kehidupan".
Ini artikel pertama saya. Sayangnya artikel yang ditulis dengan susah payah ini
gagal. Saya pun mulai melatih imajinasi dengan menulis cerpen. Cerpen pertama
saya yang berjudul "Gadis Berkerudung", juga gagal di perlombaan. Tak
patah semangat, saya terus berusaha agar cerpen yang saya tulis punya ciri
khas. Novel tentang pengamen yang saya rencanakan sendiri, untuk sementara saya
lupakan. Karena saat itu saya mulai fokus di cerpen dan puisi.
Ketiadaan fasilitas tak membuat saya putus asa.
Jika ada kesempatan, saya pergi ke warnet untuk mengetik. Namun ide lebih
sering datang semau-maunya, tak peduli kepala yang dipijaknya sedang berada
dalam situasi apa pun atau sedang mengerjakan hal lain. Berangkat dari situ,
saya mulai menuangkan ide dadakan ini ke sosial media Facebook. Mengapa saya
memilih Facebook? Selain saya tak selalu membawa bolpoin dan kertas, saya pikir
alangkah lebih baik jika sekaligus memposting ide 'tiba-tiba' tadi ke grup
"Forum Aishiteru Menulis (FAM) Indonesia". Di sana saya bisa belajar
dari komentar-komentar yang diberikan oleh sahabat-sahabat FAM. Tulisan saya
pun 'tersimpan' dengan aman, dan sewaktu-waktu jika kembali ke warnet bisa saya
salin kembali ke dalam flashdisk. Karena menulis di handphone cukup beresiko.
Terlebih handphone saya ini butut. Kadang tanpa aba-aba langsung mematikan diri
sendiri dan hilanglah tulisan acak-acakan saya tadi.
Nah, oleh karena handphone saya kemampuan jumlah
karakternya terbatas, maka saya hanya bisa menuangkan imajinasi tadi dalam
cuplikan singkat. Contohnya, yang satu ini. Saya tak tahu tulisan ini jenis
apa. Saya berpikir mungkin suatu saat berguna untuk buku ketiga yang sedang
saya tulis.
-----
SALAH ARTI
Aku berdiri di depan sebuah pintu. Baru kali ini
kaki menginjak lantai bening dan berembun. Kujelajah seluruh sudut daun kayu
nan angkuh itu. Dari ujung kanan sampai kiri, atas sampai bawah--kutangkap satu
karya seni bercorak bunga dan binatang. Semakin lama, rasanya mataku berpendar,
namun tak henti menelusuri garis-garis kuat berkelok, spontan, misterius, dan
menyimpan maksud Sang Seni dalam-dalam. Tak semua mampu menggali.
Bau cat yang baru kering menggoda dengan hentakan
di sekujur rongga nafas, mengabarkan satu kecerobohan. Belaian angin yang agak
terhambat pada beberapa bagian punggung dan leherku mengisyaratkan sesuatu. Tak
ada siapa pun. Hanya aku, angin, dan pintu itu. Pikirku bangkit, menelaah makna
aroma, lekuk, serta tiupan 'tak adil'.
Sekarang aku paham. Kadang manusia berusaha
menentukan skenario hidupnya sendiri, tanpa mengerti bahwa seringkali harapan
akan mimpi dan keinginan itu bersahabat dengan kenyataan indah--yang kebanyakan
disalahartikan sebagai sebuah kutukan.
-----
Ada beberapa tulisan sejenis yang kini sudah
tersimpan dengan baik. Sesekali jika ide sedang berlari ke arah yang berbeda,
saya coba memposting puisi. Puisi pertama yang saya posting ke dinding grup
FAM, sekitar bulan Juni atau Juli 2012, yang berjudul "Mozaik",
hilang dan belum sempat saya salin. Dari situlah kemudian saya tak lupa segera
menyalin tulisan dadakan tadi ke atas buku catatan.
***
Akhir Agustus 2012, Allah memberi saya kesempatan
mengunjungi sebuah tempat. Sebelumnya saya tak pernah ke sana. Suasana indah
yang disuguhkan tempat ini membuat saya melamun tentang mimpi. Kala itu saya
berkata dalam hati, "Kapan aku benar-benar menulis sebuah buku? Ah, aku
ingin sebelum tahun 2012 berakhir, buku pertamaku selesai!"
Maka saya segera membuka rancangan mimpi untuk
buku pertama. Saya putuskan untuk kembali menekuni novel. Untuk mewujudkannya,
saya harus mengumpulkan data terlebih dulu agar hasilnya sesuai dengan harapan.
Sayangnya, sampai menginjak pertengahan Oktober 2012 saya masih belum menulis
apa pun di lembar pertama novel itu.
Suatu pagi, hampir memasuki waktu Subuh, saya
teringat kembali akan tempat indah yang memesona hati dan pikiran itu. Dua
bulan telah berlalu sejak kunjungan saya ke sana, tapi masih saya ingat
pemandangan memukau yang menyambut mata ini. Tak buang waktu, saya tulis semua
yang tersimpan rapi dalam kepala ke dalam sebuah puisi. Saya gambarkan secara
detail dengan majas-majas yang sama sekali tak saya tahu namanya. Maklum, saya
minim teori. Selama ini hanya menulis apa adanya sesuai apa yang saya rasakan.
Usai Subuh, Ayah meminta saya untuk mengantar
beliau ke Malang. Mengendarai motor di pagi yang dingin memaksa saya untuk
menarik gas dengan sangat kencang. Kebetulan jalanan masih cukup sepi. Saya pun
membayangkan tentang buku karya solo yang 'masih dalam bentuk rencana'.
Tiba-tiba sesuatu datang dari arah samping. Entah siapa sosok yang melayang
mengikuti saya itu. Tanpa basa-basi dia membisikkan sesuatu ke dalam telinga
saya,"Matahari terbit!"
Seketika saya terhenyak. Belum sempat menanyakan
maksudnya, sosok tersebut hilang tanpa jejak. Ayah yang sedari tadi mencoba
mengajak saya berbicara, berhasil menyadarkan saya dari lamunan.
"Hati-hati! Jalanan di sekitar sini banyak
yang berlubang!"
Ayah memang hafal dengan jalanan ini. Tapi aku
masih bertanya-tanya, siapa sosok asing tadi? Lalu 'matahari terbit'?
"Ah, aku tahu!"
Sepanjang perjalanan saya langsung menyusun arah
mimpi. Begitu pun saat pulang. Pagi itu saya teguhkan niat untuk menulis sesuatu.
Dan demi membayar niat ini, saya berjuang memeras otak agar imajinasi patuh.
Tanggal 18 Oktober adalah waktu di mana saya mulai melukis lembar-lembar awal
novel pertama saya. Untuk menyegarkan isi kepala ketika penat datang, saya
istirahat sembari belajar menulis cerpen. Satu judul, dua judul cerpen selesai
saya tulis, saya beralih mengirim puisi 'dadakan' ke grup FAM. Begitu
seterusnya.
Ya, untuk mengatasi kejenuhan, saya menulis
beberapa jenis tulisan secara bergantian--dengan tema yang bermacam-macam.
Kadang jika mata saya lelah, saya 'istirahat' selama satu hari. Biasanya dalam
satu hari, saya luangkan waktu selama total dua atau tiga jam untuk menulis.
Sebuah langkah baru yang tersusun ini, membuat saya menguras tenaga. Karena
selain mengurangi waktu tidur saya dan untuk buku solo yang saya impikan, saya
juga menulis untuk beberapa lomba.
***
Dalam waktu kurang lebih satu bulan, buku puisi
saya selesai. Beberapa hari kemudian, tanggal 26 November, menyusul buku kedua.
Alhamdulillah, berkat ridho serta inspirasi yang tiada henti diberikan oleh
Allah SWT, juga doa dan dukungan keluarga dan para sahabat, saya berhasil
mengumpulkan semangat yang sempat tercecer hingga merampungkan sayap-sayap itu
meski salah satunya belum berwujud sebuah buku.
Saya punya cerita menarik dari kejadian ini.
Sebelum buku puisi ini selesai ditulis, saya sudah punya bayangan dalam kepala,
bagaimana cover itu nantinya. Saya punya konsep, tapi tak dapat menuangkannya
ke dalam sebuah gambar. Iseng-iseng, saya coba mengajak teman semasa SMA
mengobrol, namanya Oki.
"Kau pasti pernah menginjakkan kaki di
undakan batu Pantai Sanur. Keindahan itu membuatku takjub padaNya. Baru kali
itu aku melihat matahari terbit, Ki!"
"Tentu! Dulu aku ikut saat sekolah kita
mengadakan acara perpisahan. Bukankah baru-baru ini kau pergi ke sana?"
"Terbayang riak-riak airnya, bening memikat
mata. Lalu, ada seseorang duduk di undakan itu. Bentuknya serupa siluet di pagi
hari. Dialah aku."
"Ya. Aku menangkap apa yang kau maksud!"
Tak disangka, dia menawarkan bantuan. Senyumnya
menumbuhkan taman bunga di hatiku. Dua atau tiga hari kemudian, gambar di atas
kertas dikirim ke saya. Hasilnya? Sangat memuaskan. Selama ini saya tak tahu
kalau dia hobi menggambar. Setahu saya dia punya minat dan bakat di bidang
lain. Ah, terima kasih, Kawan!
Masalah baru pun muncul. Saya tak mengerti
bagaimana "memindahkan gambar" kertas itu ke dalam komputer? Bukan
perkara mudah karena jujur saya gaptek. Oki juga tak mahir mengutak-atik Corel
atau Photoshop. Saya coba sendiri tak pernah berhasil. Akhirnya, satu lagi
sahabat yang saya kenal di dunia pena datang membantu. Namanya Intan dan sudah
saya anggap seperti adik saya sendiri. Alhamdulillah, cover itu selesai tak
lama setelah saya merampungkan buku ini. Hasilnya? Sangat indah!
Bulatan jejak itu pun kian jelas saat cahaya indah
di garis langit menyihir ribuan mata. Pesona timur yang menculikku selama
beberapa detik ketika berdiri di undakan batu Pantai Sanur, serta bisikan saat
mengendarai motor di suatu pagi yang dingin, memacu semangat untuk melahirkan
anak pertama ini. Kuberi dia nama, "Dermaga Batu".
...
Kubelah desahan pasir basah pembungkus dermaga batu
Timur, perlahan mengukir pola abstrak kian
memukau
Gubuk kayu yang bertengger anggun di tepian
Sejuk menyambut tamu dengan riak kecil di bawah
Benderang membentuk panggung alami negeri dongeng
Di sana malaikat bertaburan melukis langit
Pesona pergantian hari tak ayal membuat merinding
Raga bergetar, takjub menatap haluan sang
bumi
(17 Okt '12)
SELESAI
Special thanks to:
Allah SWT, Ibu, Ayah, Alm.Kakek-Nenek, kedua
kakakku, sahabat di rantau (Alvin, Dira, dan pasukan pejuang mimpi), sahabat
semasa SMA (Oki, Ika, Indah, Fendra, Roziq, Nizam, Rio, Bayu), adikku Rrahmania
Zzahra, Bunda Aliya Nurlela, Ayahanda Muhammad Subhan, Pak Refdinal Muzan, Mas
Satria Nova, Si Tiga Pena (DP Anggi & Rahmat Herdiansyah), Ma'arifa
Akasyah, Haryani Syakieb, Mawar Rovita Sari, Bang Denni Meilizon, Novita Suci,
seluruh keluarga besar FAM, ruang kelas, Monas, matahari terbit, dan semua yang
telah mampir dalam hidupku. Terima kasih. Kalian adalah penular inspirasi dan
semangat untukku. ^_^
Ken Hanggara, FAM801M-Sby
Follow twitter: @kenzohang
Comments
Post a Comment