Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Di Kota Aneh Tempat Sebagian Ingatanmu Hilang" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Aku tidak tahu di mana aku sekarang, tetapi kepalaku pusing dan mendadak terbit pikiran bahwa aku harus segera mencari makan. Di sekitarku tidak ada orang dan kukira ini sudah lewat tengah malam. Aku tahu-tahu terbangun di teras sebuah toko boneka, di waktu sesepi ini.     Apa yang terjadi?     Perutku memang lapar, jadi gagasan mencari makan tidak sepenuhnya muncul oleh rasa pusing. Aku melangkah sambil mengingat sesuatu. Mungkin ada yang berbuat jahat padaku, tetapi aku tidak tahu apa alasan seseorang berbuat begitu?     Aku betul-betul tidak ingat, dan usaha mengembalikan ingatan malah membuatku makin pusing. Aku mengumpat dan terus berjalan dengan tenaga yang aku rasa sebentar lagi bakalan habis. Di suatu pertigaan, aku berhenti dan memandang ke seberang. Ada bangunan besar, sebuah hotel terbengkalai yang kukira sudah puluhan tahun kosong.     "Hotel ini puluhan tahun tidak difungsikan," kataku begitu

[Cerpen]: "Dibantu Hujan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Setelah mencoba beberapa kali hingga lantai kamarnya penuh bergumpal-gumpal sampah kertas, seorang pengarang yang tidak disebutkan namanya keluar kamar. Di luar langit begitu pekat dan tentu hujan kemungkinan besar akan turun.     "Seandainya dalam setiap tetes air ini muncul kata-kata," batin si pengarang tanpa nama itu.     Dia tidak sedang bercanda dengan diri sendiri, atau dia tidak suka bercanda dengan hidupnya yang merana. Sebagai pengarang, ia tidak terlalu dikenal dan alangkah banyak karya yang dibuat dengan susah payah, ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Maka, di satu saat ketika otaknya memikirkan hal ini, yakni bahwa dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata, ia tidak sedang membuat lelucon.     Entah berapa tahun sudah pengarang yang tidak disebutkan namanya ini tidak lagi bergairah terhadap lelucon, sebab baginya, hidup menderita dengan uang pas-pasan dan banyak utang, sudah lebih dar

[Cerpen]: "Tujuh Anjing Penjaga" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Anjing-anjing Bu Meli hilang pagi itu. Sepertinya mereka pergi karena bosan tidak diberi makan enak. Sebenarnya bukan cuma karena makanan yang diberi selalu basi dan tidak enak saja, melainkan juga tidak pernah membuat kenyang.     Anjing-anjing malang itu hanya diberi wewenang menggonggong di waktu tertentu dan menggeram di waktu tertentu pula, yakni saat malam hari ketika orang sudah pada tidur, dan bukan pada saat jam makan.     "Itu tugas mereka!" ketus Bu Meli saat seorang tetangga menyayangkan hilangnya anjing-anjing itu.     Tetangga ini bilang, kalau saja Bu Meli agak perhatian kepada anjing-anjingnya, misal memberi beberapa menu tambahan agar lebih setia, mungkin tidak akan ada cerita kehilangan.     Para penjaga gerbang rumah dari ancaman maling dan rampok itu barangkali jenuh dan kesal, tetapi tidak tega mencabik-cabik ratu yang seksi sebagai ganti makanan basi. Mereka lebih memilih pergi. Sayangn

[Cerpen]: "Mayat Masa Lalu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas edisi Minggu, 5 Agustus 2018)       Seonggok mayat dirubung lalat di halamanku, persis di bawah pohon nangka. Jauh sebelum itu terjadi, berpuluh tahun lalu, pohon itu tempatku main petak umpet. Setelah agak dewasa, aku jadikan pohon itu sebagai tempat nongkrong bersama teman-temanku sesama pengangguran. Sesudah menikah, pohon itu tidak lagi kuperhatikan.     Aku tinggal di rumah peninggalan orangtuaku sejak bayi. Jadi hafal tiap sudutnya. Ketika seonggok mayat ditemukan di bawah pohon nangka tersebut, aku pikir seseorang sengaja membuat masalah.     Mayat itu tukang kebunku. Kardi namanya, yang mengaku bernama Sapono saat awal kami kenal kira-kira tujuh tahun silam. Lalu, kuketahui dia pernah menipu seseorang di suatu dusun di kaki gunung, dengan KTP palsu bernama Markoni, dan menyaru jadi guru SD. Dia mencabuli dua perempuan dan kabur membawa beberapa ekor sapi, dan mengganti nama menjadi Kardi.

[Cerpen]: "Maria dan Toko Baju" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tempo edisi akhir pekan, 4-5 Agustus 2018)     Saya perhatikan perempuan itu tidak pernah absen kemari setiap sore, selepas para buruh kelar memeras tenaga di pabrik, atau persis saat bus penuh sesak oleh siapa pun yang baru pulang kerja. Bersama seorang teman atau sering sendirian, ia membunyikan lonceng pintu depan—tanda pelanggan datang—dan memilih beberapa helai baju untuk dibawa pulang.     Namanya Maria, buruh pemintal benang di suatu pabrik di distrik ini. Saya tidak mengenalnya, hanya tahu dari pegawai yang lama-lama akrab dengannya. Di toko saya, ia sering beli gaun atau baju atau cuma selendang entah untuk apa. Memang benar, tidak setiap sore ia belanja, tapi banyak yang sudah ia beli dari sini. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan dengan datang ke sini? Maksud saya, untuk apa semua sandang itu? Maria sendiri, saya perhatikan, tidak begitu sering gonta-ganti pakaian. Bajunya, ya itu-itu saja.