(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 9-10 Desember 2017) Saya tidak tahu apakah bus itu milik setan atau malaikat atau kaum bidadari. Yang pasti, saat duduk di bangkunya, saya tidak merasa ada yang aneh. Di kanan kiri, juga depan belakang, para penumpang diam. Mungkin seperti saya, mereka lelah. Sudah dua tahun ini saya berangkat dan pulang kerja naik bus. Karena lelah, tak memperhatikan plat nomor bus (saya hampir tidak pernah melakukannya; lagi pula, pentingkah?). Saya naik begitu saja dan mencari bangku kosong, karena berpikir harus segera sampai super market depan gang rumah. Lily, anak saya, besok ulang tahun. Dan dia minta boneka Barbie plus sekantung cokelat. Satu-satunya suara di bus—yang biasa saya tumpangi—adalah datang dari kenek. Ia berdiri di pintu depan atau belakang, melambai ke para pejalan kaki, meneriakkan arah tujuan bus. Kadang suara kenek beradu nyanyian pengamen. Di bus, saya jarang dengar pengamen bersuara merdu. Biasanya cempreng, ba
Menghibur dengan Sepenuh Hati