Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Menelusuri Identitas Diana" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apakabar Indonesia edisi 10/XII 22 Juli - 4 Agustus 2017)       Pagi hari itu terasa lain. Aku bangun dan merasa dadaku sesak. Aku tahu selama ini tidak pernah mengalami gangguan pernapasan. Aku bangkit dari tempat tidur dan mulai berpikir tentang Diana, perempuan yang kusukai diam-diam, tetapi belum kukenal sama sekali.     Diana mendekam di kepalaku sebulan terakhir, dan kurasa bayang wajahnya sukar hilang dari sana hingga kami benar-benar saling mengenal dan dapat kuungkap perasaan cintaku kepadanya.     Barangkali memang ini terdengar aneh; aku jatuh cinta pada perempuan yang tidak kukenal, bahkan tidak kutahu sama sekali riwayat hidupnya. Aku juga tidak tahu apakah Diana putri dari keluarga baik-baik, ataukah keluarganya termasuk keluarga tidak beres. Tak ada informasi apa pun tentang Diana, selain namanya, yang kudapat secara rahasia dari seorang tetangga.     Ini terjadi sebulan terakhir. Aku mencintai seorang gadis yang melintas di jalanan depan aparteme

[Cerpen]: "Operasi Balas Dendam" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Jumat, 21 Juli 2017)       Aku lupa kapan pernah melihat perempuan itu. Ia duduk di sisi tempat tidurku dan memberiku air. Ia bilang, aku harus minum agar tidak mati, dan kalau aku mati, ia tidak bisa menuntut balas. Aku tidak tahu kalau ia menyimpan dendam padaku, bahkan aku tak ingat pernah membuat suatu kesalahan sehingga ia pantas menuntut balas.     "Aku tidak pernah melukaimu atau membuat gara-gara. Aku tidak pernah berdosa kepadamu," kataku.     Ia tertawa dan menyuruhku minum. Selesai minum, tubuhku jadi semakin remuk. Aku tidak tahu kenapa bisa ada di tempat asing ini. Kamar yang pengap dan temboknya penuh noktah cokelat. Bau bangkai tikus merebak dari kolong tempat tidur. Barangkali ini tempat yang si perempuan siapkan untuk menuntut dendam yang tidak kutahu apa. Kubayangkan di luar kamar terdapat berbagai macam alat siksaan yang bisa membuatku cacat. Atau jangan-jangan, ia akan membunuhku?     "Kamu memang tidak pernah s

[Cerpen]: "Perjalanan Pulang Paling Aneh" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, Minggu, 16 Juli 2017)       Malam itu hujan deras. Aku terjebak di halte dekat kantor, yang tidak terlalu ramai di atas jam sepuluh malam. Sudah beberapa hari ini bos marah besar karena baru tertipu orang kepercayaannya. Para pegawai bawahan sepertiku yang akhirnya kena imbasnya. Demi apa pun, masalah-masalah harus dibereskan, dan tindakan ini pun mengorbankan waktu setiap orang.     Harusnya aku tahu. Membawa motor adalah hal utama sejak bos menambah daftar kerjaan yang harus kuselesaikan dalam sehari. Setumpuk berkas berisi data-data tahun lalu harus kuteliti ulang di tengah upaya mengambil tindakan hukum atas penipuan oleh orang kepercayaannya tadi. Aku tidak pernah bekerja sampai lupa waktu seperti kali ini. Aku bahkan tidak ingat jam berapa terakhir kali menyeduh kopi di pantry .

[Cerpen]: "Minggat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Juli 2017)       Aku memutuskan menumpang kendaraan orang saja, ketimbang jalan kaki sekian kilo jauhnya. Aku jelas tidak akan sanggup. Lagi pula aku juga baru melahirkan, meski bayi yang seharusnya tumbuh itu malah mati sia-sia. Jadi, dalam kondisi nyaris putus asa, aku pergi dengan membawa sedikit barang dan secara sadar meninggalkan suamiku yang kasar. Dengan seseorang memberiku tumpangan, tidak lagi kehidupanku seburuk yang sudah-sudah.     "Aku harus segera keluar dari area sini, sebelum suamiku tahu dan akhirnya diriku kembali dibawa pulang," kataku ke seorang sopir truk yang kucegat.     Sopir truk itu kelihatannya berbudi luhur. Dia berkacamata dan bertampang seperti tidak pada tempatnya. Maksudku, sejauh yang aku tahu, sopir truk biasanya adalah para lelaki hidung belang yang senang melihat wanita cantik atau setidaknya senang dengan pikiran kotor mereka tentang wanita. Dan entah bagaimana aku tahu sopir berkacamata in

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Angkasa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 9 Juli 2017)       1/     Sejak kecil saya bercita-cita pergi ke angkasa. Tapi banyak orang mengira saya gila dan menyuruh saya ke dokter; siapa tahu otak saya rusak atau mungkin di tempurung kepala saya tidak ada otak sama sekali. Kecuali astronot, kata mereka, tidak ada yang bisa ke angkasa!     Saya tahu saya bisa ke angkasa, walau bukan astronot dan belum pernah ke sana, kata saya. Suatu hari nanti, lihatlah, saya ke sana seperti Bapak saya.     Bukannya mendukung, mereka malah tertawa. Padahal mereka tahu Bapak saya di angkasa. Beberapa hari setelah itu, saya ditaruh di kandang babi. Baunya tidak enak dan saya berak di sana, juga kencing dan makan di sana. Semua saya lakukan di sana setelah saya ditangkap dan dipukuli ramai-ramai. Saya dipasung karena melukai siapa pun yang meledek saya.     Akhir-akhir itu sebilah pisau tidak lepas dari tangan. Sembari memandang angkasa, saya genggam pisau itu erat-erat dan menjilatnya. Dalam setiap jilatan,

[Cerpen]: "Sampai Tua dan Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Lombok Post edisi Minggu, 4 Juni 2017)       Setiap malam aku selalu berjalan berkeliling rumah mewah peninggalan almarhum suamiku. Biasanya satu malam kuhabiskan menelusuri ruang tertentu dalam rumah, tapi aturan itu tidak selalu berlaku. Kadang-kadang aku hanya suka berjalan saja dari ruang satu ke ruang berikut, tanpa memikirkan apa-apa, sampai azan subuh terdengar.     Rumah ini memang sangat besar. Setiap ruangnya bahkan dapat menampung lebih dari lima puluh orang, jika memang dibutuhkan. Hanya saja, sejak kami menikah, sebab aku tidak bisa mengandung bayi, rumah ini tetap sepi. Beberapa pembantu memang ikut tinggal di sini, tapi mereka tidak dapat meramaikan rumah.     Suatu ketika, sebelum meninggal, suamiku mengeluh, "Betapa sia-sianya rumah ini. Kita tidak bisa memenuhi ruang-ruangnya dengan banyak orang, kecuali tamu-tamuku yang kadangkala datang sekadar untuk keperluan bisnis."     Aku sendiri tahu aku tumbuh dari keluarga tak berpunya. Beberapa ker

[Cerpen]: "Hotel Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 4 Juni 2017)       Ada yang tidak beres di kepala resepsionis yang memberiku kunci kamar nomor 21. Ia tidak ramah dan tidak sepenuhnya mengerti yang kukatakan, dan hanya mengangguk sekenanya saat kubilang, "Teman saya tadi datang."     Tentu kujelaskan identitas temanku tersebut, beserta segala ciri, yang kutahu sangat mudah dihafal oleh siapa pun yang tidak temanku kenal. Temanku itu memang unik; dia seniman yang senang menyebut coretan-coretan tak berarti sebagai barang berharga dan suatu hari nanti dapat digunakan untuk membeli dunia. Ia juga senang bicara dan pamer bahwa karyanya sering dipamerkan secara eksklusif di tempat-tempat terkenal, di dalam maupun luar negeri. Intinya, tidak ada yang harusnya merasa kesulitan mengenali orang macam temanku.     Bagaimana dapat kusebut beres? Bahkan, untuk mengenali seniman seunik itu saja, seorang resepsionis tidak mampu? Ia cuma menggeleng dan mengangkat sebelah tangan tanda tidak tah