Skip to main content

[Cerpen]: "Kabur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di biem.co, 7 Oktober 2019)

Suatu hari aku kabur dari rumahku yang penuh dengan binatang. Aku tidak mampu tinggal lebih lama, meski sebenarnya dulunya rumah tersebut adalah milik ibuku. Tapi, ibuku mati di suatu subuh yang dingin. Kata orang, sebenarnya ibuku mati jauh sebelum itu dan tentunya saat kutemukan, tubuhnya sudah benar-benar beku. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu sama sekali kalau ibuku mati sejak dua hari sebelum ditemukan adalah karena beberapa binatang mulai masuk dan menghuni rumah kami.

Beberapa binatang itu tidak seperti binatang umumnya yang bisa ditemukan di jalanan. Mereka cukup berbeda dan mempunyai otak serupa otak manusia, sebab ada yang bisa bermain gitar, ada juga yang bisa menyetir mobil, dan bahkan beberapa dari mereka bisa menghajarku setengah mati.

Aku tak berani melawan para binatang yang tahu-tahu menguasai rumah ibuku itu. Bukan hanya karena jumlah mereka lebih banyak dan tenaga mereka lebih besar dariku, melainkan juga karena ayahlah yang membawa mereka kemari.

Ayahku bukan pawang binatang, tetapi mengerti bahasa binatang dan bisa dengan cepat memenuhi rumah kami dengan para binatang yang bau. Aroma seluruh ruangan di rumah pun berubah memualkan, kecuali satu-satunya tempat yang tidak akan pernah bisa mereka masuki, yakni kamarku.

Kamarku memang jadi tempat terbaik sebelum kamar Ibu. Hanya saja, kamar Ibu tidak lagi senyaman dulu setelah lebih dari tujuh ekor binatang diundang masuk kemari oleh Ayah, yang mengancam akan menghajarku sampai mati jika aku menentang semua tamu yang kubenci itu. Ibu sendiri sebenarnya benci mereka, tetapi dia tak berdaya lantaran sakit keras.

Nah, suatu ketika aku tidak boleh bertemu ibuku. Dia dibawa ke rumah sakit gara-gara sakitnya kambuh. Ibuku dibawa oleh seekor binatang ke rumah sakit, padahal aku tahu kalau si binatang itu agak bodoh dan suka bermabuk-mabukan. Jadi, aku terus saja berdoa agar ibuku selamat sampai tujuan dan supaya binatang itu saja yang musnah dari muka bumi ini.

Tentu, doaku yang kusampaikan dengan buru-buru dan penuh rasa curiga pada-Nya tidak dikabulkan. Ibuku memang tidak kenapa-napa, tetapi binatang itu bisa kembali ke rumah kami dengan selamat, dan dia hanya berkata, “Sudah kuserahkan semua urusan ke Pak Dokter!”

“Baguslah!” jawab ayahku singkat.

Sejak itu aku tidak ketemu Ibu. Sejak itu, katanya, Ibu tetap berada di rumah sakit dan tidak bisa dijenguk untuk beberapa lama. Aku tidak tahu betapa sebetulnya Ibu tak pernah benar-benar dirawat di sana, sebab si binatang itu membawanya kembali ke sini gara-gara tidak membawa uang untuk berobat. Rumah sakit menolak Ibu dan akhirnya si binatang menidurkan ibuku di dapur yang jarang terpakai.

Para binatang itu, beserta ayahku tentunya, makan dari makanan yang mereka pesan di luar, jadi dapur tidaklah terpakai dan Ibu tetap di sana sampai meninggal dan baru kutemukan pada suatu subuh yang dingin dua hari kemudian. Pengantar makanan yang biasa mengantarkan pesanan Ayah suka mengumpat-umpat tiap pergi dari halaman rumah; aku bisa melihat orang itu dari jendela kamarku di lantai dua.

Sesudah itu selalu ada yang mengetuk pintuku untuk memberiku makan, yang tidak lain adalah salah satu binatang yang kemudian kukenali sebagai Nina. Pada saat yang sama, aku tetap berpikir bahwa ibuku sedang dirawat di rumah sakit, padahal sebenarnya dia meregang nyawa di dapur.

Begitu tahu ibuku mati dan betapa semua itu terjadi gara-gara ketololan Ayah dan binatang teman-temannya yang menguasai rumah ibuku secara tidak sopan, aku marah dan kabur ke mana saja yang dapat kupikirkan. Aku kabur dua hari setelah berdiam diri di depan Pak Polisi yang menjelaskan semua dan mencoba membuatku tenang dengan kabar bahwa Ayah bisa saja terancam kena hukuman gara-gara berbuat lalai. Sayangnya, aku tetap tidak tenang dan tidak bisa tinggal di rumah ini sendirian. Jadi, akhirnya aku pun benar-benar pergi.

Pada saat kabur itu aku pikir tidak ada yang tahu usahaku, tetapi Nina diam-diam mengikutiku di belakang, dan baru kusadari keberadaan perempuan itu setelah aku tiba di tempat yang cukup jauh. Di stasiun kereta itu, malam sudah sangat larut dan aku pun kaget karena binatang itu tahu-tahu menerkamku dari belakang dan memintaku untuk tutup mulut.

“Aku tidak mau kena perkara. Aku tidak salah, tapi mungkin saja teman-temanku yang sial itu menuduhku berbuat apa-apa pada ibumu,” katanya dengan berbisik.

Lantas, si Nina menoleh ke sana kemari, dan melanjutkan setelah suasana agak aman buatnya, “Sebenarnya aku tahu ibumu sudah mati dari sejak ditolak pihak rumah sakit itu, tetapi ayahmu terus-terusan mabuk dan memukul kepalaku tepat di sini biar aku diam saja dan cukup melayani semua orang di rumah. Benar-benar gila!”

Aku tidak percaya pada Nina dan tetap saja bagiku dia sama dengan binatang- binatang yang dibawa pulang ke rumah. Tetapi, dia terus-terusan berbisik ke telingaku dan akhirnya aku kesal dan menyebutkan secara terang-terangan padanya, bahwa selama ini aku menganggap mereka tak ubahnya binatang.

“Tega benar kamu, ya,” tukas Nina dengan tampang sedih.

Kemudian kusampaikan alasanku bahwa mereka memang hidupnya bagai binatang saja, dan bahkan lebih menyedihkan, sebab tidak punya kegiatan dan tidak memberikan manfaat pada lingkungan sekitar. 

Nina malah menangis dan kemudian memelukku, lalu minta maaf kepadaku.

“Orang-orang boleh menyebutmu bodoh dan sinting,” bisiknya dengan terisak-isak, “tapi aku tidak. Aku melihatmu sebagai anak yang istimewa.”

Sesudah itu, tidak tahu apa saja yang dikatakan oleh Nina, karena aku cukup capek dan ingin segera tidur. Kami pun mencari tempat yang hangat untuk tidur dan berbaring di sana tanpa berbicara. Tetapi, suara anjing di kejauhan dan klakson motor dan mobil di jalanan yang tidak jauh dari stasiun itu membuatku tidak tenang. Akhirnya aku berdiri dan berjalan ke ruang tunggu stasiun yang cukup sepi.

Tubuhku basah kuyup gara-gara hujan barusan. Nina terus membuntutiku sambil bernyanyi lagu-lagu aneh dengan suara yang pelan. Kuperiksa loket yang kosong. Kuperiksa juga toko-toko makanan di sekitar situ; semua tutup. Lalu aku berdiri di dekat garis yang ada di dekat rel. Aku berdiri saja dan berharap ada kereta berhenti dan aku bisa segera naik.

“Kamu tidak punya tiket. Untuk naik kereta, kamu harus beli tiket,” kata Nina yang tidak juga berhenti membuntutiku. Tetapi, menurutnya, tempat ini tidak bisa kami pakai untuk kabur. Sebab ini stasiun lama yang sudah tidak difungsikan. Jadi, percuma saja di sini menunggu kereta. Tidak ada tiket apa pun. Tidak juga ada kereta yang berhenti.

“Jadi, percuma saja,” katanya lagi, setelah aku tetap berdiri dan tidak menoleh.

Maka, tidak berapa lama, kami pun hengkang dari stasiun itu dan berjalan lagi, tapi kali ini menyisiri rel dan terus saja berjalan ke arah barat. Kami berjalan dan berjalan ke arah sana, yang kuyakin akan sampai ke sebuah rumah yang tidak jauh dari rel kereta, sebuah rumah yang dihuni oleh nenekku yang baik hati dan penyayang binatang.

“Memangnya kamu tahu di mana nenekmu itu tinggal?” tanya Nina.

“Aku tidak tahu, tetapi aku ingat rumah Nenek ada di dekat rel kereta api.”

“Aku ada kenalan, guru ngaji, yang baik dan pernah jatuh cinta padaku tapi kutolak. Mungkin kita bisa ke sana. Tidak jauh dari sini, kok,” balas Nina dengan santai.

Aku menolak usulnya dan kalau memang dia maunya begitu, sebaiknya pergi saja ke sana sendirian. Lagi pula aku tidak ingin membawanya ke rumah nenekku.

Kujelaskan pada Nina, “Kalau kamu ingin ikut, silakan saja. Aku bisa memberikan dirimu pada nenekku agar dididik dengan benar dan tidak jadi binatang jahat seperti apa yang teman-temanmu alami. Aku bisa membujuk Nenek agar dia mau mengambilmu sebagai teman dekatnya. Tapi, kalau kamu mau pergi ke tempat lain, silakan saja!”

Setelah itu Nina tidak lagi berbicara. Kami terus berjalan sampai subuh dan tentu saja kami kelelahan dan akhirnya ketiduran di tepi rel, di semak belukar yang membuat tubuhku gatal-gatal sewaktu bangun. Pada saat itu aku benar-benar sendirian. Tidak ada Nina di dekatku. Dan aku pun meneruskan perjalananku ke rumah Nenek yang tak tahu seberapa jauh lagi. Perutku lapar, tetapi aku terus berjalan sambil menangis karena ingat wajah ibuku. [ ]

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri