Sumber gambar: pinimg.com |
(Dimuat di basabasi.co, 19 November 2015)
Dunia literasi menuntut
pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak
bisa selalu kreatif, ya?
Melihat deretan buku di rak
toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk
(segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya
menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik!
Mari tanya Tere Liye, kenapa
para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran
menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas
akan selalu berkembang.
Setelah membaca novel-novel
Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama
beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan
didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal,
yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat lucu? Ups….
Boleh jadi Tere Liye bisa
berpiknik di banyak “lokasi” sekaligus dalam sehari. Ini bukan lelucon. Lihat
saja semua novelnya. Hampir tiap genre dijajal, tho?
Negeri Para Bedebah
dan Negeri di Ujung Tanduk, misal. Dwilogi yang agak berat. Ada Thomas
yang gigih dan Tuan Shinpei yang penuh misteri. Mengambil tema action, politik,
ekonomi, teori konspirasi. Kalau dibaca sambil main Angry Bird, pasti tidak pas
sejodoh teh panas dan pisang goreng.
Lalu coba bandingkan dengan Daun
yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin; sebuah novel yang pas buat dedek-dedek gemes. Lain lagi dengan Rembulan
Tenggelam di Wajahmu, yang cocok buat mereka yang suram butuh pencerahan.
Dan, ketika kita membuka serial Bumi, deg! Sontak kita dikelebatkan
jadi manusia super!
Luar biasa jelajah piknik Tere
Liye!
Saya sering mendengar banyak
penulis berkata: saya pengen jadi penulis dengan genre anu. Ya, ya,
ya, itu tak salah, monggo, semua bebas memilih jalannya. Lagian, bila
di toko buku cuma ada satu genre, niscaya bakal sepi, paling banter
hanya diisi pengunjung yang menggilai genre tersebut. Maka dari itu
memang dibutuhkan keragaman genre untuk meramaikan industri perbukuan
agar semua pembaca dapat jatah adil sesuai minat.
Belum lagi kuatnya kenyataan
bahwa pasar buku selalu berubah dari waktu ke waktu, berdinamika,
bermusim-musiman. Habis boom genre K-Pop, geser ke genre
J-Pop, lalu berubah ke genre horor, lantas ganti genre
komedi, dan seterusnya, dan sebagainya. Sebuah dinamika hukum pasar yang
niscaya meresahkan bagi sebagian fanatikan genre, tetapi biasa saja
bagi sebagian lainnya yang bisa keluar masuk ke berbagai genre
sekaligus, kayak Tere Liye.
Itulah sebabnya bagi Tere Liye
soal genre adalah soal kecil belaka. Soal icik-icik! Dan plis
jangan nyinyir, ya, beliau menulis banyak genre pasti bukan karena
“lapar” atau butuh banyak anggaran untuk memuaskan hobi pikniknya. Lha wong buku-bukunya laris semua, kok. Tere Liye sudah jadi Raja
Midas; genre apa pun yang ditulisnya selalu jadi emas, dibeli banyak
orang. Mana ada Raja yang lapar, tho?
Mau menulis kisah cinta melow
di Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, atau nguri-nguri
jagat politik di dwilogi Negeri Para Bedebah, ya jadi emas. Bahkan,
yang belakangan bikin wow, beliau menjajal genre yang tak
terbayangkan akan digarapnya suatu hari, yakni fantasi, lha ya sukses
juga.
Dalam novel Bumi dan Bulan,
misal, Tere Liye kembali memperlihatkan kelasnya sebagai pengarang “segala
warna” yang digdaya. Mudah membuktikannya: memukau dari segi ide cerita,
pengolahan konflik yang gelegar, deskripsi imajinasi yang kuat, serta penokohan
yang berkarakter. Padahal genre ini jelas jauh nian dari citra Tere
Liye yang terpaten di kepala pembacanya selama ini sebagai “pengarang spesialis
kehidupan”.
Sebagian besar novel Tere Liye
sudah saya baca. Selepas membaca Bulan, saya merenungkan nasib penulis
yang hanya berdiri di atas satu kaki genre (ya termasuk saya). Saya
melamun: alangkah bahagianya jadi Tere Liye yang sukses dengan buku “segala
warna” itu. Kok dia bisa gitu, ya? Kok kami tidak, ya?
Ujungnya, saya menyimpulkan
bahwa inilah berkah piknik! Tere Liye yang rajin piknik terlesatkan oleh
berkahnya sebagai penulis yang berani menerobos zona amannya, jeli membaca
situasi, lentur beradaptasi, dan buahnya adalah kokoh bertahan dalam “bisnis
buku” yang tak terhindarkan akan selalu dinaungi oleh musim-musim “segala
warna” itu.
Memang betul bahwa tidak
lantas semua karya Tere Liye yang “segala warna” itu mulus-mulus saja. Dalam
bahasa ahli hikmah, “Kesempurnaan hanya milik Allah.” Ada beberapa spot
dalam buku-bukunya yang saya pikir menjadi cela bagi Tere Liye.
Bulan, misal, lemah
dalam menarasikan detail jarak rumah salah satu tokoh dengan sekolah (hal. 48),
yang ditulis berbeda dengan Bumi (hal. 76-77). Lalu kerancuan
keterangan waktu di adegan pertempuran melawan tikus raksasa; di satu narasi
berbunyi: “Malam itu…” dan seterusnya (hal. 341), padahal waktu
aslinya di sisi lain dituliskan pukul 8-9 pagi (seperti dijelaskan di halaman
343). Kemudian, tak seperti Bumi yang membawa kita ke dunia Klan
Bulan, novel Bulan fokus ke perjalanan Raib dan kawan-kawan yang
dihadang makhluk-makhluk di alam Klan Matahari. Saya terganggu dengan deskripsi
yang kurang sahih ini.
Namun demikian, Bulan
tetap saya sebut karya bagus karena punya kekuatan istimewa; saya menyebutnya
novel cinematic sci-fi, karena dikemas bagai paduan scene demi
scene film, dengan watak sains. Plus beberapa informasi berharga
seputar alam raya yang barangkali kita belum tahu.
Sekali lagi, saya kuatkan
terkaan bahwa kegemaran beliau piknik telah menghadiahkan kemampuan menulis
“segala warna” itu. Saya bahkan pernah mendengar langsung dari Pak Edi AH Iyubenu, bahwa Tere Liye pernah berkata kepada beliau, betapa persoalan
mendasar para penulis muda adalah keterbatasan sudut pandang. Benar juga, ya!
Keterbatasan sudut pandang akibat kurang piknik, kurang bergaul, kurang
tertawa.
Bukankah jika kita demennya
diam saja di pojokan, menjadi manusia kamar yang kurang piknik, fakir
pengetahuan tentang ramainya warna-warni jalanan, kurang tahu luasnya dunia,
(kayak saya, hiiks!) hanya akan muter-muter menuliskan sesuatu yang
itu-itu saja, segitu-gitu saja? Yang genre-nya itu-itu saja, gayanya
gitu-gitu saja, kreativitasnya begitu saja, yang kalaupun mujur suatu hari
diterbitkan juga setelah berdarah-darah, laporan penjualannya segitu-segitu
saja. Hiiks!
Inspitating bangets.. Kek saya ini, berkutat dengan kantor, rumah, kantor, rumah, gak pernah piknik. Tulisan ini menyadarkan saya, bahwa tak selamanya penulis itu adalah seorang penyepi, penyendiri yang selalu dianggap pertapa. hehe. bacaan yang bermanfaat, Thanks. :D
ReplyDeleteTere Liye punya ciri khas kepenulisan (mendayu-dayu) dan menurutku penulis yang mungkin hampir semua bukunya best seller dan beberpa kali cetak ulang. Bahkan cetakan pertama salah satu buku yang pernah saya baca dari sebuah berita penerbitan, pesanan konsumen melebihi kuota cetakan pertama.
ReplyDeleteSering banget dapat job seminar. HIks..hiks... :) kalau penulis produktive indo menurutku Asma Nadia yang lain yang juga best seller Andrea Hirata, Habibburahman, Agnes Davonar, Dee yang juga cukup terkenal di sastra Internasional. Kalau dibaca setiap buku dari mereka berbeda dan memiliki gaya tersendiri. Hmmm menulis, menulis dan menulis :)