Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2018

[Cerpen]: "Permainan Api" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 25 Mei 2018)       Tak ada jalan lain selain menghabisi lelaki itu, jika aku mau selamat. Aku ingin ke rumah dan menemui istriku dan berjanji tidak akan selingkuh lagi. Sekarang semua itu seperti mimpiku semasa kecil: jadi seorang pilot. Aku tidak pernah tahu dan tidak terlalu yakin apakah kelak aku bisa menjadi pilot. Pikiranku, yang ketika itu masih sangat lugu, berkata, "Aku bisa terbang seperti burung dalam khayalanku, tapi belum pernah melihat pilot bekerja."     Di sebuah lemari antik, tubuhku kuselipkan di antara gantungan baju-baju rombeng yang baunya tidak enak. Aku tidak tahu lemari ini milik siapa, serta tidak tahu baju-baju yang mengurungku pernah dipakai siapa saja. Tetapi lelaki itu, sang suami yang sejak awal kuremehkan keberaniannya, berdiri di luar lemari dengan sebilah kapak yang siap menjebol otakku.

[Cerpen]: "Balas Dendam Paling Aneh" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 6 Mei 2018)       Kepala saya pusing, tetapi Maria menyuruh saya berbaring. Kamu jangan bangun, sebab barusan tukang sihir mengoperasi otakmu yang belakangan dikuasai hantu-hantu. Lalu Maria menata selimut di dada saya dan tersenyum manis.     Saya heran kenapa Maria bicara seaneh ini? Dia perempuan paling skeptik yang saya kenal, namun kali itu sosok lain seakan masuk ke badannya dan mengontrol Maria sepenuhnya. Maria tidak berhenti tersenyum sampai saya mencoba bangkit dari tempat tidur. Dia hampiri saya dan dengan jengkel berkata, "Kamu mau otakmu bocor?!"     Maria meraih cermin di sisi tempat tidur dan menyerahkannya kepada saya. Lebih baik kamu bercermin, katanya, lalu meminta saya berjanji untuk tidak kaget, karena dia masih mencintai saya dan berharap dapat menikah bersama saya dan kami punya anak banyak dan hidup bahagia selamanya.     "Maria, kamu tidak seaneh ini? Sejak kapan kamu cinta saya?"

[Cerpen]: "Ajal Kolektor Buku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspress edisi Minggu, 22 April 2018)       Pada suatu hari seorang hartawan yang merasa dirinya akan mati membuka pintu rumahnya untuk semua orang yang menginginkan buku-buku koleksinya. Perpustakaan pribadi yang dibangun secara khusus di satu bagian taman di belakang rumah tersebut sangat luas. Ada beribu buku di sana; dari yang paling berkualitas hingga yang kaum kritikus sebut sebagai barang rombeng, semua ada.     Aku dan Marcel turut ke sana setelah kunjungan terakhir kami ke suatu pantai tak menghasilkan apa pun, karena kami dirampok. Seluruh isi tas beserta dompet dirampas oleh perampok laknat. Terbengong di kantor polisi membuat kami merasa bagai orang goblok, sehingga membaca pengumuman tentang adanya pembagian buku oleh seorang hartawan, kami pun tergerak datang.     Seorang polisi berkata, setelah mendengar kami ingin pergi ke sana, "Ya, pergilah. Nanti buku-buku itu bisa dijual untuk mengganti beberapa hal yang perlu diganti."

[Cerpen]: "Perjaka Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Simalaba Online edisi 21 April 2018)       Sekaya apa pun Han, tidak sekali-kali seorang perempuan ia peristri. Di kepalanya telanjur terpajang tulisan: bukan untuk dibeli. Betapa tidak berpikir sekonyol itu, kalau bukan saking banyaknya telepon masuk semenjak sang bapak, dengan penuh emosi, menempel selebaran bergambar pas foto beserta nomor ponsel Han tadi pagi. Seakan- akan ia dijual. Seakan-akan ia benda mati.     "Saya bukan barang dan saya manusia," katanya penuh ketenangan.     Bapak yang keras kepala tambah muak mendengar. Sedari tadi ponsel di atas meja bergetar dan bergetar, tetapi Han tak sekali pun tergerak. Setidaknya menjawab sepatah dua patah kata. Alasannya, saya tidak kenal. Dan bapaklah yang selalu mengangkat dan mendorong Han agar mau bersuara, sekadar menyahut meski sedikit. Usaha yang sia-sia, karena Han tetaplah Han.     "Mau sampai kapan?" Kali ini Ibu menimpali. Raut kusutnya, makin kusut melihat kegemingan putra semata wayang

[Cerpen]: "Bukan Ayahmu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 22 April 2018)       Aku ke sekolah dengan semangat pagi itu. Uang yang kusimpan di tasku kubekap erat. Uang itu kubawa pagi ini dan kuserahkan pada Doni. Aku tahu ibu Doni sakit. Ia butuh uang untuk membawa ibunya ke ruang operasi. Kemarin aku janji meminjamkan uang untuknya, agar ia tidak usah ke rumah rentenir.     Doni sudah pasti berdiri di terasnya dan menungguku dengan cemas. Ibunya pasti bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Ibu Doni sangat penyabar. Aku mengenal beliau sedekat keponakan dengan bibi kandungnya, padahal kami bukan keluarga. Ia begitu baik, dan dahulu sebelum sakit sering membuatkanku nasi goreng.     Nasi goreng ibunya Doni khas dan enak. Tapi, itu dulu. Sejak dokter bilang beliau mengidap penyakit, pekerjaan-pekerjaan rumah semua diwarisi oleh Doni, yang hanya tinggal berdua dengan ibunya. Tidak ada lagi nasi goreng. Tidak ada ajakan Doni agar aku mampir, sekadar main Play Station atau bicara tentang komik dan film a

[Cerpen]: "Legenda Sumar Mesem" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 8 April 2018)       Mantan pesepakbola itu ditemukan mati gantung diri setelah bertahun-tahun hidup sebatang kara. Tidak ada yang menemaninya di masa tuanya. Kalau pernah mendengar sebuah hikayat, tidak akan heran saat semua bahkan jadi jauh lebih buruk dari itu; tidak ada yang bersimpati padanya, kecuali segelintir tetangga, sehingga hari pemakamannya pun amat sepi. Orang-orang datang hanya karena itu kewajiban yang memuakkan, yang memang harus dilakukan sebagai tetangga, dan sesudah itu, pergi begitu saja. Tidak ada bunga-bunga tanda duka dan segala macam. Doa-doa pun terasa singkat. Begitu kontras dengan betapa tenarnya almarhum semasa hidup.     Ali Sumarlin, demikian nama pesepakbola itu, atau yang pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Sumar Mesem (ya, Sumar Mesem, bukan Semar Mesem ), mulai dikenal gara-gara tendangan pisangnya ke gawang timnas Thailand di tahun yang telah lama lewat. Pada saat itu, saya masih terlalu dini disebut se