Skip to main content

[Cerpen]: "Bidadari Tersesat" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Solopos, Minggu, 6 Desember 2015)

    Rambut gadis itu panjang, lebat, dan hitam. Jatuh menjuntai, menutup punggung yang ramping. Sesekali berkibar ke kiri kanan, namun tak liar, sekadar bergoyang pelan seakan mengundangku melihat lebih lama. Pada saat itu, seandainya kau berada di sini, duduk bersisian denganku, kau akan menghirup aroma kesturi yang magis dan ganjil, seakan datang dari surga, membelai wajahmu manja dan membuaimu sampai tak sadar gelap merayap di sekitar mejamu. Dan, tentu saja, kau bangun saat malam menempel bulan di langit. Alangkah dingin saat itu, tapi tak seorang pun membangunkanmu!

    Soal penilaian itu—maksudku, punggung yang ramping itu—terbit dari pandangan kira-kira satu menit yang lalu, sebelum ia di bawah pohon kelapa berdiri kaku menatap barat. Ia memang sempat menoleh utara, seolah mencari kawan; barangkali ia membikin janji, entahlah. Tetapi, karena kawan yang dinanti tak jua tiba (mungkin saja, 'kan?), ia putus asa dan memutuskan menatap barat, menatap sunset, seorang diri.

    Ketika itu, ketika ia belum beralih dari pencariannya entah kepada apa atau siapa di utara, tubuh kirinya kurabai lewat mata. Udara antara kami kaku dan menjalin jembatan gaib sehingga mataku merambat untuk tiba di sana, di balik baju tipisnya. Aku bukan pria nakal, namun tubuh datar dan gepeng serupa papan itu, entah kenapa, menarik perhatian.
    Untuk ukuran seorang gadis, ia menarik bukan dari segi sensualitas, tapi dari gerak lakunya yang misterius. Ia canggung, namun pasrah. Ia kaku, namun tak berdaya. Tidak bisa tidak, kualihkan mataku ke sana, ke sepasang mata hitam beku. Seperti menyimpan ketakutan. Seperti memendam dendam. Apa saja itu, aku tak tahu. Karena belum sempat menggali lebih jauh, ia memutar ke barat. Berdiri dengan tangan kiri menyangga batang kelapa.

    Hingga sunset berakhir dan ia pulang, tak seinci pun tempat ini kutinggalkan.
*

    Aku sudah mendengar cerita soal bidadari yang sering tersesat di pantai, pada masa-masa tertentu mendekati tanggal suatu tragedi. Biasanya orang di kawasan pantai itu tidak sekali-kali keluar rumah. Mereka mendekam di kamar, tak peduli senja yang dilukis Tuhan tampak begitu indah, jauh lebih indah dari senjanya Seno Gumira Ajidarma yang dipotong sebesar kartu pos dan dikirim buat pacarnya.

    Entah tragedi apa itu, aku sendiri tak ambil pusing. Aku tak tahu karena aku datang dari negeri yang sangat jauh. Tak ada kaitan apa pun antara aku dan tragedi itu dan juga tentu saja: si gadis berambut panjang. Dan, hei, percayakah kau, di zaman secanggih ini, saat orang bisa mengamati rumahnya sendiri dari jarak ribuan kilometer pada saat yang sama, mendadak datang perempuan dengan sayap di balik punggungnya, lalu mengajak dirimu terbang ke khayangan?

    Hal konyol macam apa itu?

    Tapi, betapa pun hal sekonyol itu hilang otomatis dari kepalaku (aku tak biarkan diriku terpesona pada hal-hal tak pasti seperti anak kecil menggilai superhero di buku komik), toh kubayangkan juga perempuan itu, yang rambutnya hitam, lebat, dan panjang itu, yang tubuhnya kurus gepeng seperti papan, sebagai bidadari yang tersesat di pantai.

    Benarkah ia bidadari? Mungkin saja. Di utara sana, mungkin, ia mencari penunjuk arah buat pulang atau pergi ke tujuan asal, sesuatu yang diletakkan Tuhan di atas bukit atau barangkali disangkutkan ke salah satu gumpalan awan. Sesuatu yang pada intinya tidak membuat ia nyasar. Dan, ketika menyadari tidak ada petunjuk itu, ia tampak sedih dan memandang sunset tanpa menikmati—sesuai dugaan awalku dulu—hingga kembali ke peraduan dan melanjutkan pencarian arah esok harinya.

    Di mana ia tidur? Aku tak tahu. Tapi yang pasti ia bukan menginap di sebuah hotel di luar kota. Itu terlalu jauh karena aku tak pernah melihatnya membentang sayap dan ia selalu berjalan ke mana-mana. Yang pasti ia tidur di bangunan di dekat-dekat pantai ini saja. Atau tidur di bawah lapak di pasar ikan. Atau boleh jadi—ini yang kutakutkan—ia tidur di rumah seorang lelaki hidung belang yang sedia memberinya tempat menginap gratis selama tersesat. Bukankah bidadari tidak kenal uang?

    Kau boleh saja meledekku dan bilang aku sinting. Hampir tiap sore kusempatkan kemari setelah menemui beberapa narasumber untuk bahan penelitian. Tak peduli meski suatu senja tak seorang pun di pantai; hanya ia, perempuan misterius itu, orang yang mungkin bidadari tersesat itu, berdiri di bawah pohon kelapa.

    Ia cantik, namun tidak seksi. Setahuku, di beberapa buku dongeng, bidadari hampir selalu cantik dan seksi. Namun demikian, tidak menggugurkan kemungkinan lain pula bahwa perempuan—yang kemungkinan bidadari tersesat itu—menyembunyikan sayap indahnya gara-gara takut tertangkap basah para ilmuwan gila. Kau tahulah, di dunia ini, selalu saja lahir manusia-manusia serakah. Pada saatnya kelak, barangkali, bila bidadari itu nekat membentang sayap secara sembarangan, orang-orang akan menangkapnya dan membunuhnya, lalu menjadikannya bahan riset di suatu laboratorium sehingga ia tidak akan pulang, selamanya.

    Ya, aku yakin itu alasan dia tidak membentang sayap dan justru menyembunyikan dua benda 'mahal'-nya di balik rambut panjang lebatnya. Sebab itulah kenapa ia selalu jalan kaki ke mana-mana.

    Setiap sunset berakhir dan gelap mulai merayap, aku terbiasa melatih diri agar bila nanti kesempatan menyapa bidadari itu dari dekat tiba, aku tidak gugup. Aku melakukannya dengan menjajal beberapa kalimat yang sopan untuk berkenalan, yang tentu saja tidak menyinggung secara langsung soal jati dirinya. Aku cukup meyakinkan di depan cermin.

    Sayangnya, ini yang jadi soal: aku tidak pernah sadar kapan ia berlalu dari bawah pohon, sehingga ketika seluruh pantai petang, tinggallah diriku yang bertanya-tanya dan merasa bodoh. Aku akan duduk lama-lama di mejaku, ditemani debur ombak beberapa puluh meter di depanku, disirami embusan angin malam yang terasa sangat menusuk. Kira-kira dua jam kemudian baru aku pulang.

    Jelas sudah. Kalau bukan pengaruh surgawi dan mukjizat yang Tuhan selipkan di tubuh abadinya, perempuan itu tidak akan bisa menghipnotisku sedemikian rupa hingga aku terpesona sampai sekelilingku adalah hampa. Aku seakan robot mainan yang mati kehabisan baterai dan tak sadar ke mana ia pulang. Dan, ketika ia tiada, otakku seperti sulit memikirkan hal lain selain dirinya. Artinya, memang benar dialah bidadari yang orang-orang kawasan sini maksud. Hanya saja, kenapa dan bagaimana ia tersesat, aku tak tahu.

    "Wah, sebaiknya Mister tidak usah urus hal-hal begitu." Seorang tukang ojek, yang mengantarku dari pantai ke hotel, suatu malam memberi peringatan.

    Aku tanya kenapa, dia enggan menjelaskan. Dia hanya bilang, perempuan itu, yang bila berdiri di tepi pantai membuat para pengunjung segan berlama-lama di sana, serta warga asli tidak berani keluar rumah, adalah sosok yang sangat berbahaya.
*

    Akhirnya suatu sore keberanian itu datang. Aku di belakangnya, ia bersandar ke pohon kelapa dengan tangan yang tak berdaging.

    "Saya lihat kamu sering kemari. Kamu tersesat?"

    Ia menoleh dan tak menjawab. Beberapa jenak, kami diam. Ia tersenyum dan kini berbalik menghadapku. Ya Tuhan, dari dekat, ia sangat-sangat cantik. Sunset masih jauh berakhir, sehingga sisa cahaya hari itu menjelaskan bagaimana seandainya bidadari ini bahagia dan tidak tersesat. Pasti jauh lebih cantik.

    "Dari mana Tuan tahu?"

    "Orang-orang sini." Aku mendeham. Tidak menyangka obrolan ini berlangsung. Di pantai ini, sore ini, seperti biasa, tidak satu pun manusia menampakkan batang hidung. Sejak rumor bidadari tersesat yang berbahaya tersebar, pantai ini mulai sepi wisatawan.

    "Panggil saja Alex," sambungku. "Jangan Tuan, terlalu formal. Kalau kamu?"

    "Nirmala."

    Kami berjabat tangan dan kurasakan separuh diriku membeku, tapi dengan segera kutarik tangan sehingga rasa aneh tadi, rasa beku itu—mungkin terbit karena pengaruh surgawi dari tubuh bidadari—berkurang efeknya. Serasa minum soda dengan es batu di hari kering kerontang.

    "Saya tersesat," ia melanjutkan, tanpa kuminta. "Rumah saya sangat jauh, tapi saya tidak tahu arah."

    "Di mana, kalau boleh saya tahu?"

    "Suatu tempat di tepi sebuah kota tanpa pantai. Tempat itu tidak ditumbuhi pohon, tidak dijatuhi embun, dan jauh dari sunset seperti saat ini. Bahkan, di sana, tidak ada buku kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma."

    Aku terperangah akan jawabannya. Bagaimana ia...?

    Belum sempat kusahut kata-katanya, si bidadari merengkuhku dan memohon aku mengantarnya ke tempat itu. Katanya, barangkali, dengan bantuanku, ia bisa sampai ke tempat yang dituju tanpa harus tersesat lagi. Baiklah, kataku padanya. Maka kami pun pergi meninggalkan pantai, ke tempat yang sesuai dengan deskripsi si bidadari: tanpa pohon, tanpa embun, tanpa sunset, dan tanpa buku kumpulan cerpen penulis Indonesia favoritku.

    Kami terus berjalan dan berjalan. Menuju barat hingga cahaya memudar dan hilang dengan pasti. Berganti gelap dan dingin. Kami terus berjalan dan berjalan. Ia kian rapat mencengkeram sebelah tanganku dan aku tak mungkin mundur. Menerabas air setinggi paha, perut, dada, leher, dan akhirnya hilang sama sekali pandangan apa pun selain air dan air.

    Setelah beberapa lama berjalan dan aku mulai terbiasa bernapas dalam air dan juga berkenalan dengan beberapa ekor ikan dan kura-kura, si bidadari mengajakku duduk di sebuah bangkai perahu. Katanya, ia tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Sebab, mungkin, tanpa diriku, ia tidak akan bisa pulang karena janji pada anaknya tak bisa terpenuhi: janji membawa pulang sang ayah ke rumah.

    "Memangnya siapa ayahnya?"

    "Pelaut dari seberang."

    Aku tidak tahu maksudnya, tetapi ia bilang wajah suaminya mirip diriku. Lalu ia mengajakku masuk dan berkenalan dengan anaknya. Sayang sekali, aku tak bisa dengar suara bocah kecil itu. Sama sekali tidak. Karena yang kulihat hanyalah tulang belulang.

    Sampai detik itu, aku tak yakin apakah benar ia bidadari?

    Gempol, 17-11-15
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel. Karyanya dimuat di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

  1. Wah, suka cerpen ini, meski setelah mendengar peringatan dan mendengar percakapan dengan Nirmala bisa membuatku menebak arah cerita tapi tetap asyik untuk dibaca sampai tuntas.

    ReplyDelete
  2. Belum nangkep, benarkah pergi ke dasar laut?

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri