Skip to main content

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara


(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)
 
    Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.
    Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.
    Sebut saja persoalan yang baru-baru ini hangat: kebijakan yang mengharuskan kita membayar sejumlah dua ratus rupiah untuk kantung plastik. Seorang netizen menulis pendapatnya panjang lebar dan direspons dengan panjang lebar pula oleh pengguna media sosial lainnya. Ia bukan bermimpi menjadi penulis, tetapi ia ingin didengar. Atau contoh lain, tentang pemilihan gubernur DKI Jakarta. Mereka yang bukan hanya warga DKI, mendadak merasa berhak bersuara dan ingin didengar, lalu muncul suara-suara tentang siapa saja yang bertarung di ajang politik tersebut melalui tulisan.
    Ada banyak media yang bisa digunakan untuk bersuara, tapi media sosial cukuplah dibilang ampuh dan seseorang tidak perlu susah-susah mencari media lain agar suaranya tepat sasaran dan menangkup banyak pembaca. Saking banyaknya orang ingin bersuara, tidak dipungkiri terjadi penimbunan gagasan. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan suara yang ingin mendapat respons berkumpul di satu medan, sehingga perhatian akan sesuatu yang penting dalam membuat tulisan yang baik pun kadang terabaikan. Diakui atau tidak, itulah kenyataannya.
    Tulisan yang baik, bagi editor, atau minimal penulis, yang biasa menerbitkan karya secara rutin dengan bekal ilmu memadai, adalah tulisan yang beres; baik dari segi isi maupun penyajian. Kita bayangkan saja, tulisan berisi gagasan super boleh jadi bakal diabaikan selamanya hanya karena disajikan dengan cara buruk. Saya sebut saja: dengan memakai tanda baca asal-asalan, sekalipun semua ejaan sudah tepat. Maka, yang 'super' tadi pun berubah menjadi 'bukan apa-apa'. Sungguh disayangkan jika sampai itu terjadi.
    Alangkah banyak para pemilik "suara"--seperti yang disebut di atas--yang bahkan tidak melihat tanda baca sebagai senjata mematikan. Bagaimana tanda baca bisa disebut senjata mematikan adalah ketika tanda baca itu salah tempat, ia akan mengubah seluruh pola, niat, tujuan, maksud, motif, atau apa pun sebutannya bagi sang pelontar opini. Ya, senjata itu bisa salah target dan penembaknyalah yang akan sial.
    Tanda koma yang tidak pada tempatnya, misalnya, mengubah makna satu kalimat. Bagaimana jika penulis melakukan kesalahan itu di banyak kalimat pamungkas? Boleh jadi, tujuan opini tidak akan dapat tercapai, untuk tidak disebut membuang-buang waktu bagi pembaca. Dan tentu saja efek buruk akan ditelan penulis karena ia dianggap tidak becus mengungkap pendapatnya dengan baik. Tanda baca lain selain tanda koma juga tak kalah penting, tetapi sayangnya hal ini sering kali dianggap sepele dan angin lalu.
    "Buat apa memusingkan tanda baca, selama huruf dan ejaannya tepat?" Itulah satu komentar seorang teman.
    Ketika suatu hari saya menulis status Facebook tentang tanda baca salah alamat ini, menyoroti penggunaan tanda seru dalam fungsinya di kalimat perintah atau kalimat seruan, tidak sedikit yang memprotes habis-habisan, bahkan ada yang menertawakan. Ketika ditunjukkan 'bukti-bukti' yang sah bahwa pendapat tentang tanda seru adalah begini-begitu, orang yang terbiasa mengimani tanda baca bukan perkara penting, tetap tidak menerima masukan yang konon sepele ini.
    Dalam status yang sama pula, seorang editor buku dari salah satu penerbit besar di Jakarta, Ibu Linda Razad, turut berkomentar. Beliau mendukung pendapat saya tentang pentingnya pemahaman akan penggunaan tanda baca, yang secara tidak langsung juga 'menampik' pendapat para pemrotes sebelumnya.
    Lepas dari anggapan sepelenya fungsi tanda baca di tulisan, yang mungkin tidak sengaja mengendap di mindset kebanyakan kita, hendaknya sejak kini perlu kita pahami bahwa pemakaian tanda baca secara tepat sama dengan berperan membangun budaya baca yang sehat. Dengan memahami setiap kalimat dan tanda baca secara tepat, seorang penulis akan dapat menyajikan gagasan-gagasan secara rapi dan tidak mungkin terjadi salah persepsi di kepala pembaca. [ ]

    Gempol, 15 Maret 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.