Judul buku: Nyai Gowok
Penulis: Budi Sardjono
Kategori: Novel dewasa
Penerbit : Diva Press
ISBN : 978-602-255-601-5
Terbit : Mei 2014
Tebal : 332 halaman
Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh, sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.
Gowok, begitulah istilah atau sebutan bagi seorang guru yang mengajarkan akan hal ini. Gowok adalah perempuan yang berusia matang, dan yang memiliki pekerjaan khusus: membimbing bocah lelaki yang beranjak dewasa untuk masuk ke alam kelelaki-lakian, mengenal seks dan segala bentuk hubungan antar suami-istri.
Irawan dan Kang Bogang, yang jelas tahu soal urusan "pria dewasa" itu, membisiki Bagus Sasongko dengan cerita-cerita porno yang membuat bocah polos itu penasaran; mulai dari bagaimana seorang gowok bernama Nyai Lindri--perempuan cantik keturunan Cina yang tinggal di suatu dusun--dalam mengajari "muridnya", bagaimana lelaki bersikap di dalam kamar, sampai bagaimana hewan-hewan melangsungkan keturunan mereka. Segala hal itu--yang tentu belum cukup pantas didengar oleh Bagus yang belum sunat--membuat resah hati anak itu.
Hingga tibalah saat Bagus Sasongko dikhitan. Ia akan menjadi lelaki dewasa, begitu pikirnya. Maka nanti, setelah luka sunat itu sembuh, ia akan dibawa ke rumah Nyai Lindri untuk nyantrik, alias belajar soal seks dan seluk beluk tubuh wanita. Tujuannya sederhana: agar kelak ketika dewasa dan sudah menikah, dapat membuat istrinya senang lahir dan batin.
Dalam tradisi masyarakat Jawa tempo dulu, keberadaan gowok mungkin pernah ada. Sejauh yang penulis tahu, di daerah penulis sendiri (Jawa Timur), tradisi ini tidak ada. Atau barangkali sudah punah? Entahlah. Namun, yang di novel ini gambarkan, tradisi ini ada di sebuah desa bernama Randu Pitu, desa yang letaknya di Jawa Tengah, di era tahun 50-an.
Mungkin tradisi gowok pernah ada. Hanya penulis saja yang belum tahu karena seiring perkembangan zaman, hal yang semacam itu "kembali" dianggap tabu. Tentu disebut "kembali", sebab penulis yakin, dahulu, sebelum tradisi ini masuk ke Indonesia dari Tiongkok sana, masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tata krama. Hal-hal mengenai seks dan urusan kelamin adalah suatu hal yang tabu untuk dibicarakan, atau dalam istilah Jawanya disebut "saru", tidak pantas.
Lalu bagaimana mulanya tradisi gowok bisa masuk ke Nusantara? Entahlah. Wanita bernama Goo Wook Niang-lah yang konon memulai tradisi ini, sebuah tradisi yang telah ada di kerajaan Tiongkok, untuk membimbing para pangeran atau calon raja yang kelak menjadi pemimpin dan diharapkan keperkasaannya terlatih sejak dini. Nah, karena lidah orang Jawa sulit melafalkan nama "Goo Wook", maka meluncur saja sebutan yang lebih mudah untuk diingat, yakni "gowok".
Dalam novel ini bahkan sempat disinggung tentang penolakan masyarakat Jawa akan keberadaan seorang gowok yang dianggap--barangkali--merusak moral generasi muda. Namun, entah bagaimana pro dan kontra itu berlangsung, yang jelas ada cukup banyak pemuda yang "dititipkan" di rumah gowok setelah mereka dikhitan.
Bagus Sasongko, setelah mendengar cerita-cerita porno, juga setelah tahu ia sudah tidak bisa lagi mandi di sungai bersama teman-teman seperti masa kecilnya dulu; laki-laki campur perempuan, merasa amat gugup, apalagi setelah bertemu Nyai Lindri yang memang sangat cantik. Tidak hanya Nyai Lindri saja, di rumah itu ada seorang pembantu bernama Martinah, yang kelak juga ikut "mengajari" Bagus di dalam kamar.
Dari segi alur dan konflik, novel ini tertata apik. Bagus Sasongko dikisahkan sebagai anak wedana, atau pejabat desa yang biasa dipanggil Ndoro Dono. Setelah melalui hari-hari pertama, ia belajar dengan cepat akibat cerita-cerita Kang Bogang yang bermulut trocoh (jorok). Sementara, di sisi lain, Nyai Lindri sebagai gowok, menurut aturan nenek moyangnya, tidak boleh sekali pun jatuh cinta pada anak didiknya. Ini yang menarik, atau malah ganjil; membuat kita seolah melihat kedua tokoh ini bagaikan ibu dan anak, namun terkadang tampak seperti sepasang kekasih. Sebagai gowok, wanita itu tidak rela dilabeli "najis" layaknya pelacur. Ya, seorang gowok menilai pekerjaan yang mereka lakoni ini mulia (dan masyarakat di sekitarnya pun menganggap mereka mulia), sebab melalui tirakat dan berbagai ritual suci terlebih dulu, untuk memimbing seorang murid agar menjadi lelananging jagad, atau lelaki sejati yang tidak sekadar mengumbar nafsu syahwat, tetapi juga bertanggung jawab kepada keluarganya kelak. Seorang gowok akan gagal jika suatu saat ia hamil dengan anak didiknya sendiri.
Adalah Lurah Juwiring yang jadi masalah di cerita ini. Ia begitu menyukai dan menginginkan Nyai Lindri. Namun, karena tidak bisa dibeli dengan uang dan perhiasan, penolakan-penolakan keras Nyai Lindri lakukan, hingga lurah cabul itu kesal dan memakai guna-guna. Nanti di akhir cerita kita tahu bagaimana keteguhan hati seorang gowok, yang memang hanya berniat membimbing bocah menuju dunia kedewasaan, yang tidak sudi menyamakan diri dengan pelacur.
Mungkin karena ini novel dewasa, dalam banyak bagian ada kalimat-kalimat yang terdengar "saru", walau dalam batas yang sedikit bisa ditoleransi. Membaca novel ini, kadang membuat kita tertawa atau malah penulis merasa bertanya-tanya: "Apa betul dulu di Jawa pernah ada tradisi macam ini?" Karena jujur saja, penulis pun kaget. Alasannya tidak perlu saya tuturkan di bahasan ini.
Setidaknya dalam novel ini ada satu pesan yang bisa kita tangkap. Lepas dari soal seks dan sekitarnya, juga lepas dari tradisi "gowok" ini sendiri, yakni bahwa keteguhan hati membuat kita bertahan menjadi apa yang kita harapkan. Bahkan keteguhan pun tidak hanya dibutuhkan oleh seorang gowok. Bukankah setiap pekerjaan atau profesi, atau malah hobi dan impian sekalipun, tidak bisa hidup tanpa keteguhan dan konsistensi?
Penulis tidak menyarankan Anda membaca novel ini kalau hanya untuk sekadar menanggapi "respon nakal" di benak Anda. Tapi Anda bisa membacanya jika Anda tidak terlalu yakin dengan "kenyataan" yang diangkat Budi Sardjono menjadi sebuah novel ini, hingga ingin sekadar tahu dan mencari tahu sejarahnya. Betapa tak terbayangkan; bagaimana mungkin hal tabu semacam itu pernah ada dan hidup di tengah masyarakat Jawa yang tahu tata krama dan menjaga nilai moral serta sopan santun?
Comments
Post a Comment