Skip to main content

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur.

Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas.

Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item, terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin.

Kalian yang pernah makan biskuit itu, pasti tahu rasanya gimana. Beeuhh... enak banget cuy! Sebenarnya sejak beberapa tahun sebelumnya aku sudah tahu keberadaan biskuit rasa kelapa ini. Kebanyakan pas di hari raya lebaran. Jadi merk ini sudah bukan merk asing buatku. Dan karena anak-anak kecil lebih suka Khong Guan rasa cokelat, waktu itu biskuit kelapa ini lebih sering kuabaikan.

Nah,  pada suatu hari aku coba juga biskuit kelapa ini. Rasanya ternyata enak dan bikin ketagihan. Duh, duh, itulah sebabnya kenapa aku mulai suka biskuit ini, hingga hari itu, ketika Ibu membeli sekaleng biskuit ini, aku yang tahu rasanya langsung menyerbu diam-diam, karena sebetulnya biskuit itu adalah salah satu suguhan buat beberapa hari ke depan, di saat ada sebuah acara keluarga. Jadi aku tidak berani sampai ketahuan Ibu kalau memakannya. Barangkali karena tidak nahan, hari itu juga, terhitung dari pagi sampai sore, kuhabiskan biskuit sekaleng itu. Ya, sekaleng penuh. Kebayang, gak? Kok bisa anak SMP dengan badan sekurus aku menghabiskan sekaleng biskuit? Ya, karena dulu aku sering telat makan, alias jarang makan nasi.

Sebagai  bocah nakal, aku belum tahu akibat tindakan berlebihan semacam ini. Maka, esoknya, di sekolah, aku mulai merasa ada sesuatu yang ganjil. Beberapa kali di kelas saat jam pelajaran perutku terasa panas dan tahu-tahu kentut kecil yang baunya sangat busuk keluar beberapa kali tanpa diketahui teman-teman di sekitarku. Tentu saja kentut itu tidak masalah. Aku malah lega karena bisa kentut. Tapi seiring beranjaknya hari, semakin siang, kentut itu berubah tidak sekadar menjadi angin busuk, tetapi juga pertanda buruk. Aku lalu mikir, "Kok lama-lama perutku tambah mules, ya?"

Dan betul saja, saat jam 12.00, jam pelajaran terakhir yang diisi guru matematika yang sadis bin galak, rasa mulas di perut pun memuncak hingga masuk ke tahap stadium 4: gumpalan kotoran sudah sampai di ujung jalan! Woo, itu rasanya sungguh menyiksa, Mas Bro! Kalian pernah pengen beol pas di kelas? Yang pernah ngalami berarti tidak punya perasaan kalau sampai ketawa membaca ceritaku ini. Kejadian begini ini bagaikan bencana lokal atau sebuah kesusahan hati yang tak kunjung usai.
-Ilustrasi-

Sebenarnya bisa saja aku pamit ke guru itu, bilang bahwa aku mau ke toilet (tanpa perlu bilang kalau  mau BAB). Nyatanya, sang guru lebih sering membuat kami seisi kelas tidak berani izin untuk alasan apa pun. Memang matematika saat itu jadi jam terakhir di kelas, tapi perutku yang melilit tidak kuat kalau harus disuruh menunggu satu jam lagi. Sedangkan guru "disiplin" itu membuatku tambah sebal.

Teman sebangkuku--yang sering kukerjain--kemudian tahu bahwa aku sedang berusaha menahan BAB. Dari tadi teman-teman nakal di sekitarku mencium bau tidak sedap tanpa mereka tahu bahwa itu kentutku. Sekarang, gara-gara teman sebangkuku--yang barangkali mau balas dendam karena sering kujahilin--menyebar berita darurat ini ke semua teman-teman nakal di dua deret bangku sebelah barat, bangku sekitarku. Kurang ajar! Tapi aku tak berdaya ketika teman-teman mulai melihatku dengan tatapan licik, sekaligus geli. Bahwa aku sedang menahan derita, mereka semua pun sudah tahu.

"Coba ambil penghapus," saran seorang teman yang tidak tahan melihatku terus-terusan meringis. Teman-teman lain tampak nyengir tanpa sedikit pun menunjukkan rasa prihatin.

"Buat apa?" tanyaku kesal. Sempat-sempatnya dia bercanda.

"Konon katanya, kalau kita menyimpan sesuatu di kantung celana, sementara kita kebelet beol, maka tahi di ususmu itu akan balik lagi ke atas, tidak jadi keluar!"

Ya, aku pernah dengar mitos semacam itu. Aturan konyol. Mana ada tahi bisa batal keluar gara-gara menyimpan benda berat di kantung celana! Karena tidak ada batu di kelas, maka temanku menyarankan benda berat itu adalah penghapus yang ada di salah satu laci kami.

"Baiknya izin keluar saja. 'Kan terpaksa. Pasti boleh," saran teman lain lebih masuk akal.

Ketika itu keringat sudah membasahi bajuku. Entah bagaimana teman-teman yang duduk di belakangku. Walau mereka tahu aku kebelet BAB, mereka gak bisa koar-koar karena guru kami sangatlah galak. Yah, syukurlah. Ini hukum timbal balik; mereka ketawa sambil menelan kentutku! Rasain!

Tapi sungguh, aku sudah tidak bisa menahan lebih lama. Aku hampir saja berdiri, buat izin ke guru mau ke toilet, eh... orang itu malah masuk ke pembahasan materi baru. Ini tanda bahwa seluruh murid di kelas harus memerhatikan, tidak boleh ada yang memotong, atau tidak boleh ada yang berisik. Aturan yang sungguh kurang tepat. Keluar kelas adalah pelanggaran yang kurang bisa dimaafkan, sebab terlalu banyak anak nakal di tempat ini yang tidak bisa dipercaya! OMG!

Gak tahu jurus apa saja yang kemudian coba kukerahkan guna menahan gempuran tinja di bagian ujung usus sana. Tidak ada yang tahu bagaimana tersiksanya aku, sampai sekarang wajahku berkeringat dingin. Teman di sebelahku duduk tegap menghadap depan, menatap guru galak itu, sambil sesekali ketawa menggigil ketika guru itu menghadap papan tulis. Kurang ajar. Tahu teman susah, eh, dianya malah seneng. Kampret lu, batinku. Dan dia malah makin keras menggigil.

Lima belas menit terakhir kuhabiskan dengan banyak berdoa, agar kotoran itu bisa tertahan sampai bel pulang berbunyi. Tapi sayang dua ribu sayang, doaku kurang manjur! Barangkali karena sudah mengerjai Ibu, ditambah dengan ulah nakalku ke teman sebangku selama ini, aku menelan karma hari itu. Pada akhirnya di ujung usahaku, kotoran itu sempat nyaris membuatku malu di depan teman-teman cewek ketika kami salim di pintu kelas; kebiasaan saat pulang sekolah.

Aku segera berlari ke toilet, disusul beberapa teman lain yang langsung menertawakanku. Di dalam sana, sungguh apes. Semua toilet terisi. Agaknya ada konspirasi yang entah siapa koordinatornya. Hanya satu pintu toilet saja yang terbuka, yakni toilet yang tidak ada airnya.

Aku dengan kalap mengetuk pintu demi pintu sampai akhirnya mengusir seseorang di dalam salah satu bilik. Kemudian di sana, keluarlah benda pusaka hasil pertapaan satu jam terakhir. Tentu saja kejadian ini diketahui para geng nakal. Mereka lalu mengumumkan kejadian ini ke seantero sekolah besoknya, bahwa aku sedang mati-matian menahan BAB di dalam kelas, dan bahwa celanaku baunya tidak enak.

Ah, sungguh memalukan!

Tapi setidaknya dari kejadian ini aku belajar, bahwa segala sesuatu itu harus dibuang pada tempatnya. Sekian tulisan kali ini. Semoga kalian yang sejak tadi ketawa-ketiwi akan mengalami hal yang sama di kemudian hari. Aamiin.

Comments

  1. Ini apa-apan ini? *nggak perlu dibayangin :v

    ReplyDelete
  2. aku sudah baca...

    eh iya,tombol follow blognya dimana ya mas?

    ReplyDelete
  3. hahahahaa..lebih ngenes lagi nahan mules di kendaraan umum + macet *pengalaman pribadi* >_<"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha..derita macam apa itu? :v pasti tidak menyenangkan :v

      Delete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc...

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak be...

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.   ...

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.