Skip to main content

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan.

Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

>>Menyiapkan Cerpen untuk Dikirim ke Media:

1. Tulis cerpen sesuai ketentuan masing-masing media.
2. Kertas A4, kecuali Banjarmasin Post (ada di tabel yang bisa diunduh di bawah, lihat keterangan).
3. Semua cerpen di tabel ditulis dengan spasi 1,5 (kecuali yang diberi keterangan lain).
4. Tulis nama pengarang di bawah judul cerpen.
5. Biodata singkat, jelas, padat setelah cerpen. Tidak perlu panjang-panjang. Kurang lebih 50-80 kata saja cukup.
6. Di bawah biodata, cantumkan nomor ponsel dan nomor rekening bank untuk honor. Bila belum punya, bisa memakai nomor rekening bank orang tua atau saudara terdekat, asal meminta izin dulu. Beberapa media tidak memberi kabar saat mengirim honor. Tahu-tahu rekening sudah bertambah saldo. Meminta izin pemilik rekening (bila kita tidak punya nomor rekening bank sendiri) bertujuan agar pengiriman honor tanpa kabar tersebut jadi mudah ditelusuri.
7. Simpan file cerpen dalam format "rtf" (secara umum), namun ada juga media tertentu yang syarat pengiriman cukup dalam format "doc" (biasanya ini untuk media-media online).



>>Mengirim E-mail ke Media:

1. Cerpen dilampirkan, bukan di-copy-paste ke badan email.
2. Lampirkan scan kartu identitas.
2. Subject e-mail: "CERPEN - JUDUL CERPEN". Misal: "CERPEN - SEPOTONG HATI"
3. Buat surat pengantar di badan e-mail. Contoh:

Kepada Yth
Redaktur Cerpen Solopos
Di Tempat

Dengan Hormat,

Bersama surat pengantar ini, saya Ken Hanggara mengirimkan cerpen 'SEPOTONG HATI' untuk diterbitkan di Solopos. Cerpen ini berkisah tentang seorang kekasih yang ditinggal mati pacarnya, sehingga ia sedih dan ingin pergi sejauh mungkin dari kota tempat tinggalnya.

Cerpen karya asli dan belum dipublikasikan dalam bentuk apa pun. Semoga redaktur berkenan membaca dan memuat cerpen ini. Namun demikian, mohon infonya bila cerpen saya belum bisa diterbitkan.

Terima kasih.

 Salam,

((Tulis nama pena/nama lengkap))
((Tulis nomor HP))
((Tulis nomor rekening bank))
((Alamat sesuai KTP))


>>Setelah Kirim, Ngapain?

Saya pribadi memberlakukan aturan ini untuk diri sendiri:
1. Setiap cerpen yang saya kirim ke koran lokal saya biarkan selama 6-7 bulan, walau tidak kunjung dimuat. Setelah melewati waktu tersebut, cerpen tersebut saya tarik dengan menulis surat penarikan naskah ke media tersebut. Ini demi tidak terjadi pemuatan ganda.

2. Setiap cerpen yang saya kirim ke koran nasional, saya biarkan selama setahun lebih, walau tidak kunjung dimuat. Setelah melewati waktu tersebut, cerpen itu saya tarik dengan surat penarikan naskah ke media yang bersangkutan. Ini demi tidak terjadi pemuatan ganda.

3. Beberapa penulis yang memukul rata setiap media dengan menetapkan masa tunggu selama 2-3 bulan. Setelah melewati masa itu dan tidak dimuat, biasanya cerpennya mereka tarik. Saya pribadi tidak. Sebaiknya menulis sajalah cerpen baru untuk dikirim ke media lain, daripada menarik cerpen lama yang belum dimuat dari media pertama. Itu akan mempesulit kita. Siapa tahu cerpen yang lama menunggu ini tiba-tiba dimuat media pertama setelah kita kirim ke media kedua (yang ternyata memuatnya juga)? Pemuatan ganda wajar saja selama penulis tidak bermaksud demikian, tapi sebaiknya kita upayakan untuk tidak terjadi.

4. Beberapa media ada yang tidak langsung memuat cerpen yang pertama kita kirim ke sana. Ada yang redakturnya perlu mempelajari pola dan gaya penulisan cerpenis baru. Serbu satu media dengan beberapa cerpen. Dalam sebulan, boleh mengirim 3-4 cerpen (misal) ke salah satu media.

5. Rajin memantau grup FB "Sastra Minggu" dan "Sastra Koran Majalah" untuk tahu dimuat tidaknya cerpen kita. Gabung ke grup ini. Anggotanya ribuan. Tiap akhir pekan (hari Jumat, Sabtu, Minggu) ada laporan pemuatan karya di media massa oleh kawan-kawan penulis dari berbagai daerah. Ini berguna bagi yang mengirim karya ke koran lokal di luar daerah. Biasanya dimulai dari postingan salah satu admin grup (lengkap dengan tanggal), dan laporan pemuatan disambung teman-teman lain di komentar postingan tersebut. Dengan rajin memantau, kita bisa kenalan dengan rekan penulis dari daerah lain. Ini berguna ketika kita butuh bukti terbit koran luar daerah yang memuat cerpen kita. Kita bisa berkorespondensi dengan teman penulis dari luar daerah untuk meminta bantuan mengirimi atau memfotokan halaman cerpennya buat kita. Siapa tahu kita mau mengkliping cerpen yang dimuat tersebut.

6. Sudah sering kirim tapi belum juga dimuat? Terus mencoba sampai goal. Ditolak sekali dua kali itu wajar. Saya pernah mengirim cerpen sampai nyaris seratus judul ke salah satu media nasional, baru akhirnya lolos. Beberapa media ada yang sengaja menunggu kiriman beberapa cerpen kita, baru akhirnya diloloskan. Ini agar redaktur bisa mempelajari gaya bahasa kita yang konsisten dan demi terhindar dari usaha plagiasi. Jadi, jangan putus asa.

Selamat Berjuang!
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Download contoh surat pengantar cerpen:
http://safelinku.net/CtRH


Download kumpulan e-mail media massa se-Indonesia yang menerima kiriman cerpen (Update terbaru per 28 Juni 2019) :
http://safelinku.net/G7N8vB1C

NB: Bila keterangan honor dalam tabel yang sudah kamu download ada yang kurang sesuai, bisa hubungi saya untuk segera di-update. Terima kasih.

Most Favourable:

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc...

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak be...

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.   ...

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.