Skip to main content

[Cerpen]: "Rahasia yang Terkubur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di nyimpang pada 21 September 2019)
 
Tante Mei memaksa menembus hutan di belakang rumah dengan kami temani, dan membangun tenda dan hidup di sana dengan hasrat mencari suaminya yang tiba-tiba tak ada kabar. Om Han, paman kami, tidak senang mabuk dan tidak pernah terlihat keluar dengan wanita lain.
 
Kepada Tante, kukatakan, "Banyak hal yang dahulu terdengar mustahil, akan selalu mungkin terjadi."
 
Tentu saja bukan cuma aku yang mengatakan itu. Beberapa orang di keluarga kami setuju dengan pendapatku dan mengira Om Han memang pergi karena bosan, dan bukan hilang dimangsa sesuatu di hutan itu.

Tante Mei perempuan menarik. Ia masih cantik walau sudah menginjak usia kelima puluh. Aku tahu, jika dulu lahir dan hidup semasa dengannya, barangkali Om Han jadi saingan terberatku. Aku membayangkan itu karena tanteku dulu terkenal sebagai bunga desa.

Om Han petualang sejati. Mendaki entah berapa banyak gunung, dan tentu, sekadar hutan di belakang rumah, bukan sesuatu yang serius yang dapat membuat dia terbunuh. Dahulu kami mengenal Om Han ketika dia datang begitu saja dan mengetuk pintu kami karena kehabisan air. Saat itu seluruh keluarga mendatangi pondok yang Kakek bangun sebagai tempat peristirahatan, dan di sana kami merayakan hari ulang tahun pernikahan Kakek dan Nenek. Aku tidak bisa mengingat seluruh detail, karena aku masih sangat kecil saat itu.

Di pikiranku saat itu aku mengira Om Han sejenis pahlawan super yang menyamar. Dia betul-betul tampak mengesankan seperti superhero yang akrab di kepala: Superman. Tubuhnya yang terbentuk dengan baik dan bagaimana caranya membawa diri di tengah kumpulan orang asing, di tengah keluarga besar kami maksudku, membuatku tahu dia orang baik yang dapat melindungi siapa pun di sekitarnya.
 
Kedatangan Om Han di hari yang tak disengaja itu disusul oleh kedatangan berikut oleh undangan-undangan yang Tante Mei kirim ke alamatnya. Ya, Om Han datang pada kami tidak sekadar meminta air, tetapi juga memberikan semacam persahabatan, yang oleh Kakek dianggap sebagai cara bersopan santun yang bagus. Kakek suka padanya, begitu pula Nenek, dan tidak ada saudara-saudara Tante Mei yang menolak keberadaan Om Han di antara kami.
 
Tante Mei anak bungsu. Dia satu-satunya yang tidak pernah berpacaran, sehingga kedekatan dengan Om Han dianggap suatu kejutan yang menyenangkan. Begitu mereka menikah, yang kupikirkan adalah, aku dapat belajar sesuatu dari lelaki itu.
 
Tapi, Om Han tidak seperti yang tadinya kubayangkan. Dia memang baik dan tidak ada yang menyangkalnya. Semua orang tahu. Kakek dan nenekku bahkan bangga punya menantu sepertinya, tetapi aku tahu ada yang tidak beres pada diri Om Han ketika suatu hari dia mengajakku pergi ke tempat yang aneh.
 
Om Han bilang, "Jangan cerita tantemu, ya. Dan jangan cerita ke siapa pun. Nanti Om ajari karate dan angkat besi."
 
Aku mengangguk saja dan menunggunya di mobil, dan pulangnya, Om Han benar- benar menepati janji. Itu terjadi berulang kali; dia membawaku ke suatu tempat, dengan alasan ingin mengajakku, keponakan termudanya, pergi ke wahana permainan, tapi aku tidak menikmati permainan apa pun selain menunggu dengan cemas di bangku belakang mobil. Orang-orang serumah tidak ada yang curiga.
 
Sebagai bocah, aku tidak bicara banyak soal ini, tetapi kurasa menyimpan apa yang kutahu ataupun tidak terkait kepergian-kepergianku bersama Om Han, kurasa jauh lebih baik ketimbang membuatku mendapat masalah. Lagi pula, aku tetap mendapatkan yang kubutuhkan dari Om Han, yakni pelatihan agar menjadi remaja kuat dan tangguh. Itu bermanfaat buatku, sehingga apa yang Om Han lakukan selain pelatihan fisik itu terasa tidak penting lagi.
 
Aku anggap kebohongan Om Han pada Tante Mei dan seluruh keluarga kami soal wahana permainan yang tak pernah kami datangi, hanya satu lubang yang menandakan bahwa orang sebaik Om Han, tidak pernah benar-benar baik seperti yang selalu orang pikirkan.
 
Begitulah. Hingga aku remaja, Om Han kukenal sebagai pribadi yang menyimpan suatu rahasia, yang bahkan aku sendiri tidak sepenuhnya tahu tentang apa sajakah itu. Tanpa mengajakku, orang bertanya-tanya: pergi ke mana Han itu. Tentu saja, ini karena setelah bertahun-tahun menikah, Tante Mei tidak kunjung hamil.
 
Pernah Tante Mei meminta pada mamaku agar membiarkannya mengangkatku jadi anaknya. Mama tidak masalah dengan permintaan tersebut, tetapi mengira bahwa lelaki kecil di keluarga mereka, yakni aku, adalah milik semua orang.
 
"Dia anakku, tetapi kamu juga memilikinya, Mei," kata Mama waktu itu.
 
Aku diam-diam menguping dan merasa iba pada Tante Mei. Seandainya dia bisa punya anak. Jika itu terjadi, Om Han tidak akan membongkar identitas dirinya padaku secara tak langsung, bahwa dia sebenarnya punya rahasia. Mungkin saja begitu.
 
Kurasa Tuhan sengaja membuatnya demikian. Bahwa Tante Mei tidak dapat hamil, lalu kemudian aku sebagai bocah terkecil di keluarga kami, menjadi amat dekat dengan Om Han, adalah karena alasan tertentu. Aku belum tahu alasan itu, tapi jelas sekali bahwa semuanya berpangkal dari siapa yang Om Han kunjungi ketika dia membawaku bersamanya.
 
Sebenarnya, suatu kali aku pernah memohon keluar dan turun bersamanya, karena ingin tahu siapa teman Om Han ini. Tetapi, dia bilang, "Orang ini bukan orang baik-baik, Nak. Dan kamu tidak harus mengenalnya. Oke?"
 
Setelah tubuhku agak tinggi dan dapat disebut remaja, aku tidak pernah memaksa turun, tetapi diam-diam kuintip apa yang ada di balik pintu dan jendela tempat tersebut. Sayangnya, aku tidak menemukan apa-apa.
 
Waktu berlalu dan Om Han lama-lama memutuskan bahwa kami tidak perlu lagi pergi berdua. Ia sendiri jarang bepergian seorang diri, dan lebih banyak mengajak Tante Mei pergi makan. Aku sudah bisa mengurus diri dan sudah mulai berpacaran. Aku juga perlahan melupakan apa yang terjadi antara aku dan Om Han, yang masih misterius dan belum kupahami.
 
Aku memahami itu suatu hari, secara tidak sengaja, setelah Tante Mei memintaku menjemput Om Han yang pergi ke rumah seorang teman. Aku tidak menemukannya di sana, dan Tante Mei tampak sangat sedih dan kecewa.
 
Saat Om Han pulang, agak terbata-bata dia jelaskan, "Aku ke terapis itu, karena kurasa pikiranku jadi kacau belakangan ini."
 
Sejak itu, aku tahu sesuatu yang belum kutahu tentang Om Han. Dia dipecat, lalu agak depresi dan sering berhalusinasi. Pemecatan itu terjadi sebulan lalu, yakni saat aku dan omku memutuskan tak lagi bepergian berdua. Entah mengapa aku yakin, pemecatan ini berhubungan dengan rahasia yang Om Han simpan dengan aku sebagai senjatanya.
 
Tante Mei cuma bilang, "Kita punya tabungan dan bisa buka usaha apa pun."
 
Pada saat ini terjadi, Kakek dan Nenek telah lama tiada. Yah, seandainya keduanya masih ada, yang Tante Mei hadapi tidak akan seberat ini. Kedua orangtuaku sudah ada rumah baru, tetapi aku masih tinggal bersama Tante Mei dan Om Han di sini. Mereka mengadopsi anak beberapa tahun lalu, yang umurnya tak terpaut jauh dariku sehingga kami lumayan akrab. Bersama anak itu, aku terkadang mengira ada saatnya bicara soal rahasia lama Om Han.
 
Setelah Om Han memastikan dirinya benar-benar dipecat, pikiran membongkar ini ke anak angkat mereka sempat menggangguku, tapi akhirnya kuputuskan kusimpan saja ini seorang diri.
 
Suatu malam, Om Han pergi diam-diam dan segera kubuntuti dia. Tempat yang dituju sama seperti yang dulu kami tuju. Om Han berpelukan dengan perempuan, yang seumuran Tante Mei, yang tampak jelas lebih dari sekadar teman.
 
Seharusnya aku tahu. Seharusnya, tidak seterlambat itu aku tahu, bahwa Om Han mempunyai rahasia yang mampu melukai tanteku. Malam itu, kupikir, semua ini harus berhenti.
 
***
 
Om Han dinyatakan hilang sehari setelah pergi diam-diam ke tempat istri pertama dia. Aku tahu itu, karena dia membuat pengakuan dengan bercururan air mata. Anaknya ada empat dan mereka kini seumuranku, tetapi tidak pernah Om Han urus.
 
"Kita sama-sama tahu, kamu lebih beruntung dari empat anak kandungku," katanya dengan mata tampak buram.
 
Kurasa, itulah satu-satunya kalimat terakhir Om Han.
 
Yang berikutnya terjadi: Tante Mei memaksa menembus hutan di belakang rumah, dengan kami temani, dan membangun tenda lantas hidup di sana dengan hasrat mencari suaminya yang tiba-tiba tidak ada kabar.
 
Berhari-hari, berminggu-minggu, sembari dibantu polisi, Om Han tak pernah kami temukan di bagian hutan mana pun. Pencarian diperluas ke area yang membuatku harus menahan diri agar tidak tersedak. Orang-orang tak pernah tahu, dan tak akan tahu dalam waktu dekat, bahwa sosok yang mereka cari selama ini, tidak pernah benar-benar pergi meninggalkan rumah, setelah pulang bersamaku dan memintaku bersumpah agar, sekali lagi, tidak berkata apa pun pada Tante Mei.
 
"Ya, tidak akan ada yang berkata soal itu, Om," sahutku, yang segera yakin tentang apa yang kemudian seharusnya kulakukan. Karena itu, dalam waktu dekat, orang tidak pernah tahu di mana sosok itu kini berada. Entah bertahun-tahun mendatang. Tapi, saat itu, jasad Om Han telah menjadi tulang belulang, terkubur di bawah kamarku, yang aku tahu tidak akan dibongkar selama aku masih hidup. [ ]

Gempol, 2013-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya: Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri