Skip to main content

Andai Anakku Ingin Jadi Presiden


    Melihat baku hantam di sosial media terkait pilpres 2019 yang seakan tiada henti bahkan setelah pencoblosan usai, membuat saya terpikir sebuah solusi untuk masa depan yang cerah bagi anak cucu kita kelak. Saya tidak bicara soal janji-janji capres. Saya juga tidak bicara isu sensitif semacam kebangkitan komunis atau khilafah. Terlalu berat.
    Saya cuma memikirkan diri kita kalau kelak punya anak, lalu bayi-bayi yang kita hasilkan itu tumbuh menjadi orang-orang yang membuat masa depan netizen di negeri ini terjebak (lagi) dalam baku hantam yang sungguh tak perlu hanya demi urusan pilpres; tidakkah itu mengerikan?
    Sebagai manusia, kita ingin memproduksi keturunan-keturunan berkualitas dan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, agama. Kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi orang yang lebih baik ketimbang kita. Maka dari itulah, pikiran saya yang melompat jauh ke beberapa tahun ke depan berbunyi begini: pada tahun itu, saya menikah dengan orang yang saya sukai, lalu jika saya memiliki anak, saya akan bertekad mengarahkan agar mereka tidak sekali-kali menggaungkan cita-cita menjadi presiden.
    Ya, saya tidak bakal merestui mereka jikalau mereka bercita-cita menjadi presiden. Bahkan, saya akan membelokkan keinginan mereka sedini mungkin jika saja sedari usia yang terlalu lugu sudah berkoar-koar, "Ayah, akutu pengen jadi pleciden!"
    Saya akan katakan, "Lebih baik kamu jadi penulis, Nak. Walau hidupmu kerapkali dilanda derita, kamu tidak akan semenderita itu juga jika dipertemukan nasib berada di kursi seorang presiden!"
    Apa salahnya menjadi presiden? Itu keren dan bagus! Harusnya kamu bangga jika anak-anakmu kelak ada yang jadi presiden dan memimpin bangsa ke arah yang lebih baik!
    Oke, itu tidak salah. Buat saya yang generasi 90-an, cita-cita jadi presiden sempat amat populer di ruang-ruang kelas, dan jujur saja, dulu, saya pikir itu juga amat keren. Menjadi presiden? Tidak semua orang bisa dan tidak semudah itu, Delgado. Tapi, justru di situlah letak pahitnya.
    Menjadi presiden tidak semudah menjadi orang-orang hebat di bidang-bidang lain. Tolong jangan protes dulu. Semua cita-cita tidak ada yang mudah. Segala profesi butuh pengorbanan yang tak sedikit dan sering kali harus berdarah-darah terlebih dulu untuk bisa mencapainya. Andai kamu punya cita-cita paling aneh di lubuk hati terdalammu dan enggan diungkap ke hadapan orang-orang (karena saking absurdnya dan mungkin cukup membuatmu malu jika itu terbongkar saat ini), itu tetap tidak mudah diraih. Tetap ada pengorbanan dan perjuangan yang berat dan memakan waktu.
    Hanya saja, untuk menjadi presiden, jalan yang kita tempuh jelas jauh lebih terjal, lebih brutal, lebih sadis, lebih ganas, dan penuh jebakan Batman. Coba lihat sekeliling. Apa jadi presiden benar-benar sesuatu yang bisa kamu inginkan? Andai kamu memiliki kemampuan dan sanggup menjalankan tugas mengelola suatu negara, dengan berkaca dari Pilpres 2019 yang pelik dan kocak, apa kamu masih mau kalau ada yang datang dan menawarimu mencalonkan diri menjadi presiden?
    "Anda mau menjadi presiden, Tuan?"
    Kalau saya, sudah pasti saya jawab: Tidak!
    Saya tak akan mengatur kelak anak-anak saya harus jadi apa; saya akan bebaskan mereka memilih, tapi kalau pilihannya ingin jadi presiden, saya mungkin tidak tinggal diam. Mereka boleh pilih menjadi dokter bedah atau atlet bulutangkis. Mereka boleh jadi pelawak atau penerbit buku atau penyanyi. Mereka boleh menjadi apa saja semau mereka, selama bisa mereka pertanggungjawabkan dan sudi menelan risiko-risiko atas pilihan mereka, tapi jangan untuk menjadi presiden.
    Sudah tugas-tugas presiden itu berat, beban moralnya juga luar biasa dahsyat, jika kinerjanya membuat orang-orang tertentu terganggu, risikonya nyawa dan keselamatan keluarga. Sungguh bukan perkara main-main. Itu kalau memang anak kita berhasil jadi presiden. Itu kalau benar-benar mereka disukai dan dipilih rakyat untuk jadi pemimpin. Lah, kalau enggak?
    Menjadi presiden butuh proses. Kamu tidak hanya harus siap program dan segala janji manis untuk meyakinkan rakyat. Kamu juga tidak hanya harus membangun citra positif dari potret keseharian dan rekam jejakmu, walau kadang juga harus maksa dikit biar kelihatan bagus. Kamu juga harus berwawasan luas, kuat modal, jaringan pergaulan tanpa batas, dan, tentu, kuat mental.
    Perkara mental, sungguh sesuatu yang benar-benar dibutuhkan jika ingin menjadi presiden. Bayangkan kelak anakmu yang terjebak di situasi ini; dia harus punya mental jagoan. Bahkan untuk nyapres saja, kamu harus siap difitnah sana-sini, dituduh berbuat hal-hal yang belum tentu diperbuat, dicaci-maki orang-orang yang ogah mendukung, dicap pengkhianat bangsa, dituding komunis, divonis sebagai orang yang nggak ngerti agama, diledek dengan berbagai meme biadab, dan lain sebagainya. Coba bayangkan.
    Apakah pikiran saya tentang membelokkan keinginan anak-anak saya kelak jikalau mereka bilang ingin jadi presiden bisa disebut sebagai kesesatan nyata? Boleh jadi, iya, saya sesat. Apa saya patut dianggap sebagai ayah yang tidak baik bagi anak-anak dan sudah seharusnyalah saya dibuang ke planet seberang? Boleh jadi, iya, saya patut untuk dibuang ke planet antah berantah.
    Saya tahu tidak seharusnya saya (jika kelak jadi orang tua) memaksakan apa yang saya mau untuk dijalani anak-anak saya. Namun, sungguh cita-cita menjadi presiden itu berat. Biarlah mereka, anak-anak yang lucu itu jikalau nanti kita sudah nikah (semoga dengan orang yang kita sukai) dan punya anak, terus bahagia dari kecil hingga dewasa dan tidak perlu menjadi sebab utama dalam keriuhan baku hantam dengan judul yang itu-itu saja: Cebong vs Kampret.
    Mau sampai kapan, Delgado?!
    Biarlah anak-anak kita diarahkan ke bidang-bidang yang aman untuk kelangsungan masa depannya. Cita-cita jadi presiden baru akan (kembali) terdengar keren barangkali saat orang-orang (termasuk kita) semakin cerdas dan waras dalam berdemokrasi dan tak ada lagi pejabat-pejabat yang menghalalkan segala macam cara demi berkuasa, seperti memakai hoaxes untuk menjegal lawan atau mengadu domba rakyat dan lain-lain cara yang kita tahu pada hari-hari ini segala jenis cara yang sebetulnya tidak baik itulah yang menghidupi iklim demokrasi kita.
Namun, adakah utopia yang seperti itu akan terjadi? [ ]

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri