Skip to main content

[Cerpen]: "Sisa Cinta" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 Februari 2019)

    Seorang pria berdoa kepada Tuhan supaya dia tidak lagi memiliki cinta di hatinya. Jika saja masih ada sisa-sisa cinta di seluruh bagian hatinya, biarlah itu berubah menjadi kebencian atau sekalian dihapus dan tak perlu menjadi apa-apa. Pria itu lalu memikirkan bentuk cintanya yang tiba-tiba menjadi segenggam debu; ia akan tertiup ke sana kemari dan tidak lama lagi hilang tanpa bekas. Debu-debu itu tentu tak benar-benar hilang dari semesta, melainkan akan menyisa sebagai butiran yang tiada punya arti, karena terpisah dari asalnya dan kini sendiri begitu saja. Sebutir debu, menurutnya, sama saja dengan bukan apa-apa.
    Tapi, mungkin saja, sisa-sisa cinta itu berubah menjadi kebencian. Bagaimana jika Tuhan mengabulkan permintaan yang satu itu? Anggap saja bentuk cinta yang tersisa itu kini serupa setangkai mawar. Sesuatu yang terlihat indah, namun ia dapat melukai setiap orang dengan duri. Pria itu senang membayangkan cinta yang dulu dia miliki menjadi luka bagi setiap orang tanpa tebang pilih.

    "Sebagaimana dulu orang-orang kerap melukaiku, kini cintaku tidak lagi menjadi cinta. Biarlah ia menjadi duri yang membalas perbuatan dunia kepadaku."
    Demikianlah. Malam berlalu dengan bayangan tentang debu dan setangkai mawar. Lalu, pria itu bangkit dan memandangi situasi kamarnya yang begitu kacau. Kegelapan di mana-mana; pojok ruangan, lantai, seprei, rak buku, asbak, sandal jepit, dan bahkan dirinya juga terliputi kegelapan yang sepertinya bakal bisa abadi. Mungkin besok lusa dia akan pergi ke sebuah tempat dan membeli entah apa saja untuk mengubah kegelapan di sini.
    Tapi, tempat ini juga sangat bau. Tak ada kesadaran sedikit pun tentang bau-bauan dari berbagai sumber sampai saat dia kelar melangitkan doa untuk sisa-sisa cintanya. Dengan ketekunan yang tak terasa selama beberapa bulan terakhir, pria itu menelusuri bagian kamarnya inci demi inci dan menemukan sampah-sampah alami dari tubuh dan juga wadah snack, roti lapis, soda, dan entah apa saja, dan kadang-kadang sesuatu yang ditinggalkan oleh para wanita tuna susila yang sengaja dia bawa ke kamar untuk sekadar menghibur tubuhnya. Seluruh hal tak berguna dan sumber penyakit itu dia kumpulkan ke sebuah karung yang kira-kira sejam kemudian terlihat teronggok di tempat sampah di luar gedung sana.
    Karena kurang berolahraga, pria itu merasa aktivitas baru saja menguras energinya secara berlebihan. Dia mencari sesuatu di kulkas untuk dimakan, tetapi tak menemukan apa-apa selain setengah loyang pizza yang mungkin sudah tidak layak makan. Entah tak ada yang tahu berapa lama kulkas ini tidak lagi berfungsi. Saking asyiknya dia bersama hidup yang tanpa arah, sampai-sampai perkara sepele seperti kulkas saja dia tak mampu mengingatnya. Pria itu tertawa dan berkata pada dirinya sendiri bahwa sebaiknya malam ini dia pergi makan ke luar.
    Dalam perjalanan ke sebuah kafe, dia memikirkan lagi soal debu dan duri mawar. Andai saja sisa-sisa cinta itu menjadi duri, mungkin tak lama lagi orang-orang di setiap tempat yang dia kunjungi bakal membencinya, bahkan menaruh dendam padanya. Jika itu terjadi, dia bisa saja mati terbunuh. Bukan tak mungkin hal itulah yang menjadi akhir dari hidupnya, sebab kadang-kadang tempat-tempat terburuk di kota inilah yang senang dia sambangi. Teman-teman lama yang dapat membantu melupakan masalah-masalah. Teman-teman lama dengan perkara yang juga masih sama bodohnya dengan masa lalu. Sembari membuka pintu kafe yang akhirnya dia capai hanya dalam dua blok saja, pria itu bersumpah tak akan kembali pada teman-teman lamanya.
    Dia juga bersumpah tidak akan kembali pada tempat-tempat yang dulu pernah atau sering dia datangi. Saat menatap name tag si pelayan perempuan yang begitu manis di depan hidungnya, pria itu mendadak mendapat sebuah gagasan dan melontarkannya ke hadapan si pelayan begitu saja, "Apakah menurutmu tinggal di sebuah hutan adalah cara yang tepat untuk melupakan segala keburukan di masa lalu?"
    Tentu pelayan itu kebingungan dan memutuskan untuk diam, dan langsung undur diri setelah mencatat apa saja yang pria itu pesan. Pria itu tidak sakit hati. Jika saja dulu hal seperti ini terjadi, dia akan mengutuk dalam hatinya bahwa si pelayan itu sebaiknya mati saja dan bahwa alangkah bagusnya jika kematian itu terjadi dengan cara yang amat sangat buruk, seperti jadi korban perampokan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Ya, memang begitulah yang dulu selalu terjadi; si pria akan tersinggung jika diabaikan oleh wanita cantik mana pun, tak peduli dia kenal atau tidak. Ini terjadi setelah di masa lalu seorang perempuan terang-terangan meninggalkannya demi menikah dengan lelaki lain yang kaya raya. Sungguh persoalan yang begitu biasa. Sebuah klise di dunia yang cukup biadab bagi si pria. Tapi, detik ini, malam ini, semua terasa lain. Dia tetap duduk tenang saat si pelayan mengantar pesanannya. Dengan santai, pria itu kemudian berkata, "Cara terbaik untuk itu memang tinggal di sebuah hutan."
    "Oh, ya?" sahut pelayan itu dengan tersenyum.
    Begitulah.
    Sebuah doa, rasanya, terjawab begitu saja oleh Tuhan. Luka demi luka karena soal percintaan, sembuh hanya dalam semalam. Pria itu merasa cintanya bukan menjadi duri tajam, melainkan debu-debu yang beterbangan. Kegagalan cinta, krisis kepercayaan diri, keterasingan dari segala bentuk pergaulan, dapat teratasi begitu saja dengan sebuah cara yang tak pernah dia pikirkan: pergi ke hutan dan tak kembali.
    Pria itu tak pernah tahu bagaimana akhir hidupnya, tetapi dia begitu yakin hari ini sebuah keputusan harus diambil. Dan dia telah mengambilnya. Kamar itu tidak sempat dia bereskan seperti niatnya semalam. Dia tinggalkan begitu saja hal-hal yang tak terlalu penting, dan hanya membawa pakaian serta peralatan yang dapat membuatnya terbantu saat hidup di hutan. Dia bakar seluruh dokumen yang menyatakan eksistensinya di kota dan negaranya ini sebagai manusia modern. Dia tinggalkan semuanya di belakang tanpa sesal sedikit pun.
    "Tak ada waktu untuk menyesal," pikirnya.
    Debu-debu di jalanan beterbangan tertiup angin. Siang terasa sangat terik, namun si pria tidak merasa harus mengubah keputusannya. [ ]

    Gempol, 27 Desember 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri