Skip to main content

[Cerpen]: "Musuh Abadi" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Affandi. Sekadar ilustrasi.
(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 24 Februari 2019)

    Sudah lama aku dendam ke Mudakir. Sejak dulu orang itu selalu membuat hidupku kacau. Mudakir tidak berhenti menghalang-halangi setiap usaha yang kulakukan hanya karena tidak mau diriku terlihat lebih baik dari dirinya.
    Tentu saja, karena persaingan ini dimulai sejak duduk di bangku SD, Mudakir tidak ragu menyebut namaku dalam urutan pertama jika saja seseorang bertanya padanya soal siapa saja kira-kira manusia yang seharusnya mampus saat berhadapan dengannya? Aku tidak heran dia akan menjawab begitu, meski soal kebenciannya padaku tidak pernah ia ungkapkan pada siapa pun dan dalam kesempatan apa pun.
    Mudakir akan selalu membenciku dan ingin kehidupanku hancur separah mungkin, dan itu terlihat dari bagaimana dia melakoni perannya dalam menjegal langkahku. Tidak pernah Mudakir menonjolkan diri dalam insiden-insiden yang membuatku ketiban sial, tetapi pada akhirnya aku selalu saja tahu, entah dari petunjuk apalah atau cerita-cerita si A atau si B tentang dirinya yang mendengar rencana busuk Mudakir padaku. Sayangnya, aku tidak pernah bisa membalas dendam. Aku hanya bisa sakit hati karena tidak pernah ada bukti yang kupegang. Mudakir akan selalu melenggang bebas dan berlagak sok baik di depanku, padahal sebenarnya kami sama-sama tahu kami bermusuhan.

    Pernah suatu ketika Mudakir menelikung perempuan yang kusukai. Bagaimana dia tertangkap basah jelas saja bukan sebuah kesengajaan. Sebenarnya Mudakir sudah ada pacar saat itu. Aku yang sedang berjalan santai di pelataran sebuah mal mendadak kaget dan berhenti melihat pertengkaran dua perempuan dan seorang lelaki yang dikerumuni orang-orang. Ternyata lelaki itu Mudakir. Dan salah satu perempuan tersebut tidak lain adalah perempuan yang kuincar sejak lama. Memang pada akhirnya mereka tak sampai berpacaran (karena kebusukan Mudakir sudah terbongkar), tetapi perempuan itu juga enggan kudekati karena merasa omongan Mudakir tentangku yang dia dengar sangatlah benar dan sesuai fakta.
    Aku tidak dapat menghitung ada berapa kejahatan diam-diam yang telah Mudakir perbuat demi membuat hidupku hancur. Aku juga tak tahu dari mana saja dia mendapat informasi-informasi penting seperti misalnya perempuan yang kuincar sejak lama atau utang-piutang yang terjalin antara aku dan seorang juragan besi tua atau bahkan urusan pribadi yang terjadi antara diriku dan bos yang sebelumnya mempercayaiku. Jika dapat kuhitung dan kucatat dalam sebuah buku, barangkali saja buku tersebut tidaklah cukup menampung seluruh kasus yang membuatku gagal dalam banyak hal, dan tentu saja tak ada yang menyebabkan itu selain si Mudakir biadab.
    Aku memang senang menyebutnya biadab atau kadang-kadang anjing kurap. Tidak ada rasa segan sedikit pun yang tersisa padanya, sehingga jika kami bertemu muka tidak sengaja entah di mana, aku selalu melengos, meski Mudakir tetap saja berlagak seolah ia tidak pernah punya salah apa pun padaku.
    Jika orang-orang tak tahu kebencian Mudakir padaku karena dia selalu diam-diam dalam menjegal langkah-langkah penting dalam hidupku, aku tidak segan menuturkan ke setiap orang bahwa aku sangat membenci si Mudakir.
    Karena itulah teman-teman lain kerap menggodaku jika saja aku bertemu dengan si Mudakir dan aku hanya bisa melangkah pergi dengan hati yang sangat dongkol. Tentu ia pernah kupermalukan dan kubuat sial, tetapi kemenangan tetap berada di tangan anjing kurap itu, karena aku tidak terlalu berbakat membuat orang lain jatuh dalam masalah. Di hidupku, aku lebih dikenal sebagai si pengalah yang selalu diam dan mundur kalau saja terlibat sebuah masalah sepele, dan memutuskan membayar dengan apa pun andai kata terlibat masalah yang cukup berat.
     Menghadapi Mudakir adalah persoalan lain yang membuat kepalaku pusing tidak keruan. Mudakir adalah fenomena yang kuhadapi dengan emosi kurang stabil tapi tidak bisa lebih dari membalas perbuatannya dengan akibat yang lebih ringan. Aku tidak bisa membuatnya celaka hingga cacat, misalnya. Dan tentu saja aku tidak berani jika sampai harus membunuhnya.
    Pikiran menghilangkan nyawa Mudakir tentu sering melintas. Aku bahkan sering juga bermimpi membantai dirinya sampai menjadi beberapa potong, dan dalam kondisi begitu si Mudakir masihlah hidup. Tangan dan kakinya bergerak-gerak dan mengejarku. Bola matanya juga ikut mengejarku. Bahkan alat vitalnya juga ikut-ikutan mengejarku. Itu sungguh sebuah mimpi yang sangat aneh dan kurang ajar.
    "Aku tidak mungkin membunuh Mudakir, dan yang paling memungkinkan buatku hanya terus menerus berdoa supaya suatu hari nanti dia celaka, tapi janganlah buru-buru meninggal," begitulah yang kemudian kupikirkan.
    Aku memang sering mendoakan hal itu, dan setelah sekian tahun perbuatan jahat si Mudakir membuat hidupku tidak pernah sesukses dirinya, setelah sekian tahun doa jahat itu kulangitkan, suatu hari kudengar lelaki itu mengalami kecelakaan.
    "Ada benturan di kepalanya yang membuatnya lumpuh dan tidak bisa berinteraksi, bahkan dengan kucing yang dia sayangi selama ini," tutur seseorang yang juga mengerti tentang kebencianku pada Mudakir.
    Aku tidak tahu apa yang kulakukan begitu mendengar berita itu. Aku cuma duduk saja di rumah dan menyetel televisi tanpa fokus memperhatikan program apa saja yang ditayangkan di sana.
    Aku terus membayangkan si Mudakir menderita dalam kondisi demikian, dan dia bakalan mati seminggu atau sebulan setelah ini. Atau, kubayangkan dia mati empat atau tujuh tahun lagi dalam kondisi demikian.
    Hanya saja, sulit bagiku untuk tertawa atau sekadar merasa lega lantaran bayangan- bayangan kematian musuh abadiku yang terjadi dengan cara seperti itu.
    Apakah seorang yang tidak lagi bisa berbuat apa-apa kemudian mulai menyadari segala dosa yang telah dia perbuat?
    Apakah dia teringat oleh karma buruk dan karma baik?
    Apakah dia bahkan bisa berpikir tentang seluruh kejahatan diam-diam yang selama ini dia lakukan kepada orang tertentu, yakni diriku, temannya sejak SD yang tak pernah benar-benar menjadi teman, yang entah kenapa dibencinya dengan cara paling munafik?
    Karena tidak tahan, malam itu kuputuskan untuk pergi ke rumah sakit dan melihat secara langsung apa yang terjadi pada dirinya. Aku tidak yakin dapat bermotor dengan tenang dan selamat sampai tujuan, karena pikiranku mulai penuh soal Mudakir, jadi aku pun memutuskan berjalan kaki saja.
    Saat itulah tidak sengaja kulihat TKP di mana Mudakir mengalami kecelakaan tadi pagi. Ada garis polisi yang tidak bisa kulewati, yang melingkari suatu spot persis di sisi kanan sebuah warung nasi bebek. Di titik yang sama terdapat banyak sekali bekas darah seseorang yang kuyakin adalah darah musuh bebuyutanku. Sebatang pohon tampak tak sekokoh pohon lain di situ. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana tubuh si Mudakir disambar sebuah minibus ketika hendak membeli nasi bebek ke warung tersebut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang orang-orang pikirkan tentang diriku yang tidak ragu menyebutkan bahwa aku memang sangat membenci Mudakir.
    Memang benar dugaanku; orang-orang yang melihatku di lorong rumah sakit, yang mengenalku dan si Mudakir sebagai teman atau musuh lama, memandangiku seakan tak ada yang aneh di dunia ini selain diriku. Mereka bahkan seakan-akan berharap jika saja aku segera berjingkrak senang begitu melihat Mudakir tergolek lemah tak berdaya.
    Bahkan, ada juga yang menyeletuk dengan kurang ajar, "Kamu bayar berapa orang itu? Sopir minibus itu kamu bayar berapa?"
    Aku benar-benar tidak tahu harus menanggapi mereka dengan cara apa. Aku hanya diam dan terus melangkah ke kamar Mudakir. Pintunya ditutup, tetapi aku bisa melihat dari jendela betapa di dalam sana ada orang tua dan adik-adik Mudakir yang tidak ikut bersalah atas kejahatan-kejahatan yang selama ini Mudakir perbuat kepadaku.
    Aku tidak ingat berapa detik aku sanggup berdiri di situ, karena seingatku aku tahu -tahu sudah ada di rumah dan duduk terbengong-bengong di depan televisi tanpa pernah fokus menonton progam yang sedang tayang malam itu. Aku hanya duduk di sana lalu baru sadar bahwa subuh sudah tiba ketika suara azan terdengar.
    Pada hari yang sama, kudengar juga kalau Mudakir sudah meninggal. Aku seketika teringat pada mimpi anehku, tentang Mudakir yang kucincang-cincang hingga menjadi potongan-potongan kecil, namun tak bisa mati. Sungguh mimpi yang konyol. Di dunia nyata, bahkan kami belum sempat bertempur hingga dia dijemput maut.
    Aku tidak tahu apa aku harus bahagia atau tidak, sebab setelah kematian Mudakir, sikap orang-orang yang tahu kebencianku padanya, yang tidak mendapat bukti apa pun dariku soal kejahatan-kejahatan anjing kurap bernasib sial itu perbuat padaku, berbeda dari yang sudah-sudah. Suatu ketika aku pun menyadari bahwa teman-temanku semakin berkurang dari hari ke hari. Dan tentu saja ini terjadi setelah orang-orang curiga bahwa akulah sebenarnya yang menyebabkan kecelakaan minibus itu. Akulah yang membayar sang sopir. Meski itu tidak terbukti, orang-orang tetap menghukum diriku dengan cara mereka.
    Suatu malam, setelah lelah memikirkan perlakuan setiap orang kepadaku, di sofaku yang menghadap televisi tua milik almarhum Bapak, mendadak saja aku tertawa lantang. Aku terus saja tertawa sambil membayangkan Mudakir sang anjing kurap yang kurang ajar.
    Bahkan setelah kau tidak berdaya dan mati, kau pun masih bisa membuat hidupku hancur, Kir! Benar-benar bangsat kau! [ ]

    Gempol, 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya: Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri