Skip to main content

[Cerpen]: "Bus Menuju Peradaban" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 27 Agustus 2017) 

    Seandainya semua bus di dunia hilang, apakah mungkin Mariana masih pergi dari sini? Aku tidak dapat membayangkan sepelik apa urusan mereka yang senang mencari masalah, tetapi enggan menghadapi dan lebih memilih lari, jika semua bus di dunia ini hilang?
    Seandainya itu terjadi, aku tentu senang. Ketika bus-bus tersebut mendadak lenyap, mereka yang akan lari dari tanggung jawabnya akan berpikir ulang, "Kiranya aku dapat mencuri mobil!"
    Barangkali kesialan macam itu tidak terjadi di tempat lain, tapi aku tahu, di dusun ini, kekayaan adalah hal mustahil, kecuali seseorang membawa ilmu sihir di tubuhnya. Sayangnya, orang-orang terlalu beriman untuk tidak tahan terhadap godaan yang tidak terlalu berpengaruh dalam hidup mereka. Sebuah mobil, misalnya, tidak akan memiliki arti di sini, di suatu dusun yang bahkan untuk mengayuh sepeda pun tidak semulus yang kita bayangkan.
    Orang-orang tidak bermobil. Orang-orang berjalan kaki. Begitupun para pengecut yang telah merampas sebagian besar hal baik di kehidupanku. Mereka tentu juga harus berjalan. Berkilo-kilo jauhnya jarak ditempuh. Sekalipun jalan yang dilalui berupa aspal dengan lubang-lubang di sana-sini, dan bukan sepenuhnya hutan rimba, akan amat sulit.
    Dari rumahku, jika ingin mencapai jalan aspal, yang kadang-kadang dapat disebut jalan raya, meski sangat sepi, seseorang harus lebih dulu menempuh medan berlumpur, dan baru setelah itu dapat mencegat bus yang lewat dua puluh empat jam sekali.
    Mariana, tentu saja, telah menumpang bus itu. Khayalan betapa semua bus di dunia ini mendadak menghilang mungkin tidak terlalu berguna, sebab toh dia juga sudah tidak ada. Tapi, aku malah senang mengkhayalkan itu detik ini, ketika kusadari kemungkinan segala yang telah dicuri dariku mustahil kembali.
    "Kita tertinggal sehari di belakang. Kalau nanti bus berikut datang, Mariana sampai di pinggir kota. Pada saat itu, kemungkinan kalian bisa ketemu jadi sangat kecil, bahkan hilang sama sekali," prediksi Mudakir, sahabatku yang sejak awal sering mengingatkan, namun selalu kubantah.
    Mudakir memang tidak suka dengan caraku mengenal Mariana. Aku dan si wanita itu dekat dengan cara yang kurang wajar, dan meski tidak ada kejadian-kejadian mesum di antara kami, Mudakir mengira wanita itu tidak tepat untukku.
    Aku tahu ada banyak wanita yang tertarik menjadi istriku sejak kudapatkan suatu warisan besar berupa beberapa hektar lahan. Dusun-dusun di sekitaran hutan diisi orang -orang yang masih berkaitan erat; sebagian bahkan masih sangat kental hubungan darah mereka. Beberapa lainnya kenal sejak brojol dari rahim ibu masing-masing. Jadi, siapa tidak tahu betapa pemuda pengangguran ini, yang tidak pernah berhasil dalam perkara asmara, mendadak diincar banyak wanita?
    Aku sangat mengerti tentang cara memilih perempuan, sekalipun selalu gagal jika sedang jatuh cinta. Aku tahu beberapa perempuan lebih menyukai apa yang seorang laki -laki miliki ketimbang si laki-laki itu sendiri. Dan aku tidak ingin calon istriku tertarik padaku justru karena harta warisan yang kudapat.
    Karena terlalu lama membujang dan tidak sabar membangun kehidupan percintaan, aku pergi ke kota dengan menumpang bus suatu hari. Di pinggiran kota, terminal penuh orang-orang dari berbagai arah dan dengan membawa banyak tujuan. Dari terminal itu, aku kembali pergi, menjauh dari kampung halamanku hingga tiba ke kota berikutnya. Demikianlah, aku terus berpindah bus selama beberapa hari tersebut, hingga sampai ke suatu tempat yang menurutku lumayan bagus.
    Kukatakan pada kondektur bus, "Sebaiknya saya turun di sini."
    "Sebaiknya Anda turun di sini?" tanyanya keheranan.
    "Ya, memang saya tidak pernah tahu tempat macam apa ini, tetapi saya kira saya akan mendapat sesuatu yang bagus di sini."
    Begitulah, hari-hari yang aneh pun berakhir dengan pertemuanku bersama seorang wanita bernama Mariana, di rumah makan dekat sebuah pom bensin. Mariana tidak ada teman makan. Kami berkenalan dan duduk berdua sampai hampir dua jam. Sampai tak terasa betapa makanan dan minuman kami telah lama tandas.
    Perkenalan ini pun kubawa ke dusunku yang terpencil, dan segera menjaring ragam reaksi. Orang-orang terdekat sebagian besar setuju aku menikahi Mariana, meski wanita itu tidak lagi punya keluarga, karena suatu tragedi besar menimpa mereka.
    Beginilah cerita yang kami dengar dari Mariana tentang bagaimana dia kehilangan keluarganya:
    "Pada suatu malam saya tidur, dan ketika masih dalam keadaan lelah, ada laki-laki masuk kamar dan meminta saya pergi dengannya. Saya tahu itu paman saya, yang tidak dianggap waras, sehingga saya kira itulah sebabnya kenapa mereka membiarkan kami berdua pergi. Di ruang tengah, masih saya ingat, ketika itu sangat berisik. Orang-orang datang dan membawa clurit, serta menuduh-nuduh bapak saya anjing busuk yang layak disembelih."
    Ketika akhirnya orang-orang memang menyembelih bapaknya, Mariana tahu tidak ada lagi yang tersisa baginya di situ. Ibunya juga tidak berdaya dan mati dengan cara yang sama. Bersama pamannya, Mariana hijrah ke dusun lain, dan mendapat perlakuan kasar, hingga dia diangkat anak oleh sosok asing yang pada hari-hari belakangan kerap kali disebutnya sebagai 'papaku'. Tentu saja, kini papa Mariana telah tiada, dan lelaki itu meninggalkan sejumlah warisan untuknya. Sayangnya, kehidupan baik yang Mariana dapatkan setelah tragedi besar menghabisi seluruh keluarga kandungnya, tidak lantas membuatnya segera mendapat jodoh.
    Karena sikap baik Mariana, orang-orang terdekatku menyukainya, dan tidak peduli pada sejarah kelam yang wanita itu pikul. Beberapa orang menolak adanya Mariana. Di sekelilingku, orang-orang ini seakan bekerja kepada pihak tertentu yang memang lahir ke muka bumi untuk membenci anjing-anjing busuk serupa bapak kandung wanita itu.
    Yang paling membuatku sedih, salah satu sahabat dekatku, yakni Mudakir, juga ikut di barisan kedua. Ia menolak Mariana dengan tegas, karena menurutnya, di sini tak harus dilahirkan penerus anjing-anjing busuk yang dahulu memang patut ditumpas oleh seorang jendral.
    Namun, tentu saja, aku tetap teguh menyanding Mariana di sisinya. Toh keluarga besarku hanya sedikit yang tidak setuju, dan itu pun mereka tidak terlalu berani untuk mengungkap ketidaksukaannya. Jadi, aku sekadar tahu saja siapa dari anggota keluarga besarku yang membenci wanitaku, sementara mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
    Kukatakan pada mereka, "Jikapun memang sejarah seorang perempuan seburuk itu di mata kalian, bukankah dia punya masa depan yang panjang, yang tentu saja sangat mungkin lain dari apa yang orang tuanya lalui?"
    Sejak itu orang-orang sepenuhnya mendukungku. Mariana pun tampak bahagia dan tidak sabar untuk segera kunikahi. Maka, setelah sebelumnya ditampung oleh seorang bibiku yang baik, wanita itu segera pindah ke kamarku, setelah resmi menjadi istriku. Kami nikmati beberapa malam bersama, sampai akhirnya suatu malam, wanita yang menjadi belahan jiwaku itu, hilang entah ke mana.
    Tidak ada yang dapat kami pikirkan tentang Mariana, kecuali tentang watak palsu yang selama ini dia coba perankan. Nyatanya, uang hasil penjualan warisan, yang telah kumaksudkan untuk membangun bisnis baru di pinggiran kota demi menjauhi orang- orang yang tidak suka pada istri baruku ini, hilang. Mau tak mau orang berpikir wanita itu yang mencuri.
    Aku masih tidak percaya sampai kutemukan sebuah surat, tepat sehari setelah dia pergi. Surat itu diletakkan persis di bawah bantal. Seandainya aku tidak meraih bantal itu untuk memeluknya karena penuhnya isi kepalaku, mungkin pengetahuan tentang dia yang mengkhianati dan memperalatku sejak awal terlambat kusadari. Mariana dengan terang mengakui dia rela datang jauh-jauh ke sini, lantas bersedia menikah denganku, adalah karena harta warisan yang kudapat.
    "Tentunya, cerita tentang anjing yang disembelih antek jendral itu, semuanya bull shit!" tutupnya di surat bernada sinis dan penuh kepuasan total itu. Aku hanya berbaring kaku selama dua jam, hingga setelahnya baru aku dapat menuturkan kebenaran tentang Mariana kepada semua orang.
    Pada saat itu, tentu, Mariana sudah berada jauh di depan. Belasan jam lagi bus akan melintasi kawasan ini. Karena tak mungkin menunggu terlalu lama, selagi menanti bus berikutnya lewat, orang-orang menemaniku berjalan, menjemput Mariana yang tak pernah benar-benar mencintaiku.
    Sepanjang perjalanan itu, aku terus saja memikirkan tentang Mariana yang dengan tega melukai hatiku demi uang. Aku juga tidak henti membayangkan seandainya semua bus di dunia ini hilang. Tentu, jika keadaan itu benar-benar terjadi, Mariana akan sukar meninggalkan dusun ini tanpa segera tertangkap.
    Lagi pula, jika benar bus-bus tersebut hilang, aku sendiri tidak mungkin pergi dari sini demi menghindari wanita-wanita kampungan yang mendadak tergila-gila oleh harta warisan. Apakah semua wanita begitu? Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu pasti saat ini adalah: aku kembali miskin, Mariana meninggalkanku jauh di depan, dan wanita-wanita dusun berubah pikiran tentang apakah sebaiknya mereka menjadi istriku atau tidak. Oh, betapa aku ingin tidur selamanya, sebab keinginan itu jauh lebih masuk akal ketimbang berharap semua bus di muka bumi ini lenyap! [ ]
   
    Gempol, 20 Agustus 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Penerbit Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.