Skip to main content

[Cerpen]: "Lari dari Kematian" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Riau Realita, Minggu, 31 Juli 2016)

    Teman-temanku sudah mati dan aku berziarah ke sebuah sungai. Mereka tidak jadi tulang belulang atau tanah, melainkan bergumpal kotoran dari perut manusia. Semua temanku mati dengan cara dimasak dan dibumbui di meja, dan kami semua ditakdirkan untuk menunggu kematian dengan cara itu.
    Aku kabur dua hari lalu dari kerangkengku. Sekarang tidak ada yang memasakku. Aku mencari belas kasihan kepada anak kecil yang buta. Ia tidak akan memasakku, dan aku bisa menjaganya, lalu dia berkata, "Anjing sepertimu boleh juga."
    Sejak itu kami bersama, dan dia sering mengajakku ke sungai, tempat orang-orang buang hajat. Anak itu sesekali buang hajat di sana, atau menunggu jika ada orang yang berbaik hati memberinya sedekah.

    Kadang-kadang aku harus sembunyi agar tidak ada yang menangkap dan memukul kepalaku. Jika kepalaku dipukul, aku sekarat dan orang lebih mudah membakar kulitku dan membawaku ke tukang jagal khusus.
    Aku suka mengaing-ngaing jika ketakutan, dan melolong jika sedih, dan anak buta itu sepertinya paham. Lama-lama kami tidak terlalu sering ke sungai itu. Aku berharap dapat mendoakan teman-temanku yang sudah jadi kotoran itu dari jauh. Aku cuma bisa berdoa, agar mereka yang jadi kotoran itu, yang kemudian jadi santapan para ikan atau mungkin juga kaum kepiting, dapat bersabar. Barangkali suatu hari nanti kami ketemu di surga.
    Sebagai seekor anjing, aku tidak puas melihat cara anak itu mencari uang. Ia sering kelaparan dan nyaris mati, kalau bukan karena gonggonganku pada tiap pemilik rumah atau warung yang didatangi. Kami berjalan terlalu jauh, bahkan lumayan jauh, dan tidak ada lagi orang yang ingin menjadikanku makanan di kota yang baru ini.
    Aku bebas sebagai anjing, dan sudah lari dari kematianku sebagai santapan orang, tetapi merana sebagai teman si buta. Anak ini masih amat kecil, sebatang kara dan buta, dan tidak ada yang rela menolongnya. Kalau saja ada pengendara mobil berhenti karena ingin menyapanya, mereka langsung pergi gara-gara tahu ada aku di dekat si bocah.
    Suatu ketika bocah itu berkata, "Aku tidak akan meninggalkanmu, Anjing. Karena kamu sudah membantuku. Kalau tidak ada kamu, sudah dari dulu aku mati lapar."
    Ingin kukatakan kepadanya juga bahwa kalau bukan karena mengikutinya, aku pun sudah berakhir sebagai gumpalan tahi manusia di sepanjang sungai yang dahulu sering kami sambangi. Tetapi, aku tidak dapat bicara bahasa manusia, sekalipun paham semua yang ia utarakan. Sebenarnya aku ingin, jika memang lebih baik ia ikut orang lain yang dapat membantunya, agar membiarkanku pergi saja. Aku dapat menjadi anjing liar dan aku bisa mandiri. Tapi, anak itu tidak pernah meninggalkanku.
    Anak itu sering membagi makanan denganku, jika ia dapat rejeki lebih. Aku sendiri merasa tidak enak mengambil makanannya dan memutuskan ke tempat yang agak jauh sendirian, demi mencari makan, ketika si bocah tidur. Aku kembali kepadanya setelah agak kenyang.
    Suatu malam terjadi hujan badai. Tidak ada rumah besar di sekitar. Hanya jalan tol dan hampir semua pohon ditebang oleh manusia. Hamparan padang rumput dan hujan badai melulu membuat anak itu mungkin mati tidak lama lagi. Di bawah jembatan kami berlindung. Si anak menggigil dan tidak kutinggalkan, meski aku bisa memanjat ke atas jembatan penyeberangan itu dengan gampang.
    Kami berdempetan agar tetap hangat, meski tetap menggigil. Dan berdoa supaya Tuhan memberikan kami nyawa yang banyak, agar malam ini tidak mati walau beku. Anak itu terus berdoa doa yang sama. Doa yang agak lumayan kedengarannya. Dia anak kecil dan bisa berdoa begitu rupa. Beri kami nyawa yang banyak. Tidak ada pikiran itu di kepalaku, tetapi si bocah ini dengan lancar mengatakannya. Beri kami nyawa yang banyak. Luar biasa.
    Kami tidak mati besoknya, tapi sangat lapar. Anak itu lemas dan pingsan di bawah jembatan penyeberangan di area tol. Kuseret baju lusuhnya agar orang di mobil-mobil itu tahu bahwa ada bocah pingsan di sini. Kampung terdekat tidak ada manusia, kecuali perempuan gila dengan boneka Barbie yang kepalanya hilang, dan dia tidak berhenti melempari siapa pun dengan batu. Bisa saja kuterkam perempuan itu, tapi jika si bocah mendengar aku membunuh si perempuan sinting, ia akan sedih dan berpikir aku bukan anjing yang baik.
    "Kamu anjing yang baik, dan tidak akan ada yang memakanmu," katanya suatu hari.
    Aku sangat tersentuh oleh kalimat itu. Jadi, aku janji tidak akan melukai manusia, meski dulu teman-temanku mereka santap.
    Akhirnya di jalan tol busuk ini kami terjebak. Aku berhenti di tepi jalan, di rumput yang lumayan empuk dan teduh untuk si anak. Ia pingsan karena kedinginan semalam dan belum makan sejak kemarin pagi. Aku menggogong di depan setiap pintu dan anak itu mengamen dengan suara payah sejak kemarin, tetapi tidak ada yang memberi uang. Tidak ada yang suka orang mengamen membawa-bawa anjing.
    Aku sendiri lapar, tapi tidak berani mencuri makan di kampung yang dekat dengan jembatan ini. Mungkin di atas sana ada kampung, dan ada banyak makanan yang bisa kucuri, tetapi orang bisa saja tidak suka melihat anjing dan langsung memukulku. Aku akan mati sia-sia, dan si bocah juga mati sia-sia karena tidak ada yang tahu dia ada di sini dan butuh pertolongan.
    Aku terus mondar-mandir, sementara mobil-mobil terus berseliweran di jalanan tol. Aku memikirkan kemungkinan apa yang membuat mobil-mobil itu berhenti. Sudah dari tadi kucoba menggonggong dan menari-nari lincah agar mereka berhenti, tapi tidak ada yang mengira aku melakukannya demi seorang bocah malang.
    Aku memikirkan hal-hal lain yang membuatku pusing. Aku memikirkan aku yang mati tertabrak mobil, sehingga nanti si pemilik mobil akan turun dan akhirnya tahu jika ada bocah pingsan di sekitar sini. Aku terus memikirkan itu sampai kira-kira satu jam. Aku anjing yang baik, dan tidak akan ada yang memakanku. Jika aku mati demi bocah malang ini, barangkali seluruh manusia di muka bumi akan lebih menghormati kaumku dan tidak lagi menghidangkan kaumku di atas meja makan dengan berbagai bumbu.
    Lalu aku berlari sekuat tenaga ke tengah jalan tol dan sebuah truk menyambarku sampai gepeng. Truk itu tidak berhenti, begitu juga dengan mobil-mobil di belakangnya, yang terus berjalan melewati tubuhku yang berdarah. Mereka ngebut tanpa henti, siang dan malam, entah berapa lama. Entah berapa hari, sebuah mobil berlampu merah dan biru mendatangi tubuh si bocah yang sudah putih dan bau. Lalu sebuah ambulans datang dan orang-orang membawa tubuhnya, dan menutupinya sampai tidak terlihat wajahnya. Dan pergi begitu saja.
    Mereka tidak menyadari tubuhku yang gepeng ada di situ, jadi aku tetap di situ dan menjadi hantu anjing yang menangis setiap hari. Mereka tidak akan pernah tahu, bahwa dahulu bocah itu pernah bertahan hidup dengan seekor anjing. Anjing itu kini sudah jadi hantu, tetapi si bocah mungkin sudah sampai ke surga. [ ]
   
    Gempol, 19 Juli 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri