Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Giman senang
bermain. Kebiasaannya yang sudah dihafal orang adalah senang melompat. Giman
senang melompat-lompat seperti kodok. Tidak cuma meniru kodok, dia kadang
melompat-lompat meniru monyet. Giman juga senang melompat-lompat meniru
binatang lain, seperti kangguru, yang dia lihat di televisi. Tetapi yang paling
Giman suka, dia meniru gaya lompatan kodok.
Suatu hari, di sekolah, Giman yang duduk di kelas
dua diolok teman-teman karena tidak mau diajak main petak umpet. Giman malah
main lompat kodok.
"Nanti kamu lama-lama bisa jadi kodok, lho!"
kata Budi, temannya.
Tapi Giman cuek. Dia tetap melompat kodok, sambil
sesekali mulutnya monyong, mengeluarkan suara yang mirip kodok; kung,
kung, kung! Terus dia bersuara dan melompat, membuat teman-temannya tertawa
geli.
Kebiasaan ini mulanya dianggap biasa oleh Sriyati,
ibunya. Tapi Sriyati lama-lama cemas. Kalau disuruh mandi, Giman malah lompat
kodok. Kalau disuruh main, Giman tidak mau, kecuali main lompat kodok. Dan
kalau disuruh ngaji, Giman sering disetrap, sebab Wak Kaji bilang: baca
Qur'an tidak boleh sambil jongkok, itu kurang ajar!
Sampai tibalah Sriyati di puncak kecemasan. Siang
itu suaminya pulang. Anaknya di dapur main lompat kodok. Sebagai kuli bangunan,
pekerjaan yang Sugiyono—begitu orang memanggil nama bapak Giman—pikul tentu
berat. Sepanjang jalan pulang ia mengomel sebab sejak pagi belum makan. Maka,
sesampai rumah dan melihat Giman makin lama makin bebal, Sugiyono naik pitam.
Piringnya kesenggol pantat Giman yang gembul sampai isinya tumpah berceceran.
"Kamu ini anak siapa, Man? Tiap hari main
kodok-kodokan aja!" umpatnya seraya meraih bokong Giman, lalu
menepuknya keras-keras, berkali-kali. Giman yang keseruan main, kaget lalu
menangis. Sriyati menghambur dan menarik anaknya.
"Sudah, Pak! Sudah! Dia anak kita! Jangan
dikasari gitu!"
Sugiyono diam. Pembelaan Sriyati pada anaknya kali
ini, entah yang ke berapa. Dia tak ingat. Barangkali saking banyaknya. Sejak
Giman senang main lompat kodok, Sugiyono sudah tahu anak itu bakal susah diajak
main permainan lain. Dan sejak itu pula ia sering bertengkar dengan Sriyati.
Tidak jadi makan, Sugiyono keluar rumah. Tangis
Giman makin keras. Anak kecil itu mengira bapaknya pergi karena bertengkar
dengan ibunya. Giman tak tahu bapaknya begitu benci lompat kodok. Giman tak
tahu, dialah akibat kemarahan itu.
Malamnya, Sugiyono pulang membawa tali. Sriyati
keheranan, sebab daun pintu belakang rumah mereka sudah dibetulkan, jadi tidak
perlu lagi tali.
"Buat ngikat bocah gemblung itu!"
kata Sugiyono spontan. Sriyati tak percaya Giman bakal dapat hukuman itu;
diikat di pohon nangka sampai pagi. Lebih-lebih, dia tak percaya suaminya
bilang anak mereka sudah sinting.
Giman yang sedang main lompat-lompatan di kamar,
melihat bapaknya masuk. Ia hendak mengajak bapaknya main karena bosan tidak ada
teman bermain seharian. Tapi Giman menangis ketika sang bapak menyeretnya
keluar, sambil berteriak-teriak, "Duh Gusti, salah apa aku? Salah
apa?!" Ibunya cuma bisa menyahut, "Nyebut, Pak, nyebut!"
Tapi Sriyati tak berdaya. Dia tidak bisa membela
anaknya dari hukuman Sugiyono.
Dan Giman cuma bisa meronta-ronta.
Tangan dan kaki bocah itu diikat di pohon nangka
belakang rumah. Ia menangis sejadi-jadinya sebab tidak bisa main lompat kodok
sepanjang malam, atau mungkin selamanya? Giman tidak mau itu terjadi. Giman
hanya mau main lompat-lompatan.
Warga berdatangan, sementara Giman menjerit-jerit.
Suaranya bukan seperti kodok lagi. Kali ini seperti monyet. Walaupun suka main
lompat kodok, seperti yang sudah diketahui, Giman juga senang main
lompat-lompatan jenis apa pun, kecuali lompat karet, sebab itu mainan anak
perempuan.
Sugiyono menarik Sriyati ke dalam. Wanita itu
menggeleng, tapi Sugiyono kuat. Cengkeraman tangannya membuat tubuh Sriysati
terseret. Malam larut. Mereka harus tidur.
Melihat itu, warga kampung mafhum. Siapa yang mau
punya anak seperti Giman? Kalaupun punya, pasti berbuat sama, kecuali yang
melahirkan, sebab tak mau disalahkan akibat kejadian entah apa di masa lalu,
yang misalnya membawa karma di masa kini. Orang kampung masih percaya itu.
Sriyati makin tak berdaya.
Besoknya, Giman masuk angin dan tidak bisa pergi
ke sekolah. Tapi Giman tidak peduli urusan sekolah. Dia lebih menyesal tidak
bisa bermain lompat-lompatan.
"Kalau Giman sembuh, main kodok-kodokan lagi
boleh, Mak?" tanyanya kepada Sriyati, yang hanya dijawab dengan anggukan
pelan. Giman belum sadar, bahwa hukuman semalam akibat dia senang main
lompat-lompatan. Dan Giman juga belum sadar kalau bapaknya benci kodok.
Di hari-hari berikutnya, Sugiyono mengancam
Sriyati, yang dianggapnya tidak bisa memberi pendidikan yang benar kepada anak
mereka, hingga menjadikan Giman mirip anak kodok, atau kadang anak monyet, dan
bahkan anak kangguru, bukan anak manusia. Sugiyono kesal atas kenyataan itu.
Jadi, dia mengancam Sriyati:
"Kalau sekali lagi kulihat Giman main
lompat-lompatan, biar kusembelih saja, lalu dagingnya kujual ke rumah makan
yang sedia daging kodok itu!"
Sriyati tercekat, tapi dia tidak bisa membantah.
Dia tahu watak Sugiyono. Dia tahu, kalau suaminya bilang A, maka yang
dijalankan bukan B. Kalau suaminya bilang 'ya', tidak sekali-kali mengubahnya
menjadi 'tidak'.
Sejak itu, kecemasan Sriyati berubah jadi
ketakutan. Kalau lapor polisi, suamiku minta cerai. Kalau lapor warga,
suamiku dibakar, pikirnya. Serba salah. Bertindak ini, salah. Bertindak
itu, salah. Sriyati tak tahu cara mengatasi suaminya, selain mengikuti jalan
cerita. Sebab, tidak ada yang bisa mengubah pendirian Giman. Sriyati sadar.
Kalau dilarang, Giman ngamuk.
Sriyati mencari jalan agar selama Sugiyono ada di
rumah, Giman tidak main lompat kodok, atau setidaknya: suaminya tidak tahu
kalau Giman main lompat kodok. Akhirnya, ditemukan satu cara yang bisa mengelabui
Sugiyono, yaitu: ketika lelaki itu datang, Giman harus main di kandang kambing.
Di sana dia bisa bebas lompat-lompatan, sebab Sugiyono tidak akan tahu. Sriyati
tinggal bilang pada suaminya bahwa Giman sudah tidur. Tapi, setelah dilakukan,
dan karena Sugiyono pulang terlalu malam, Giman jadi kelelahan. Dia tidak
sempat cuci kaki sebelum naik kasur sebab ngantuk. Kasur itu jadi bau
kambing.
Sriyati kesal. Padahal belum sebulan dia belikan
kasur itu buat anaknya. Sekarang malah dikotori. Tapi, salah dia sendiri juga,
kenapa Giman disuruh main di kandang kambing?
Sriyati lantas sadar. Bukankah suaminya begitu
membenci lompat kodok kesukaan Giman? Katanya, kalau anak itu main lompat
kodok, bakal disembelih seperti kodok. Tapi, kalau Giman jadi monyet? Apa bisa
monyet disembelih?
Maka, siang itu Sriyati membiarkan Giman main
sepuasnya, tapi dengan membujuk anak itu, bahwa hari ini kodok sedang sakit
jadi belum bisa main lompat kodok dulu.
"Kapan Giman main lompat kodok?"
"Kalau kodoknya sudah sembuh."
"Berarti Giman tidak bisa main?"
"Bisa, Nak. 'Kan masih ada monyet?"
Lalu berubahlah tingkah Giman jadi seperti monyet.
Dia melompat meniru gaya monyet berebut betina. Kakinya menghentak-hentak.
Lantai kayu rumah bergoyang. Sriyati mengintip anaknya dari dapur. Ia puas. Kalau
seperti ini, tidak mungkin suamiku menyembelih Giman. Dia 'kan sudah jadi
monyet. Pasti dia tidak akan marah.
Tapi di luar dugaan, Sugitono justru marah. Giman
yang sedang asyik main lompat monyet, oleh karena badannya gemuk, dan oleh
karena sejak tadi tidak mau berhenti, lama-lama lantai kayu mereka jebol.
Sugiyono yang baru datang, jatuh terjungkal ke sana. Kepalanya benjol. Dia
melompat dan langsung menghajar Giman habis-habisan.
"Sudah kubilang jangan main lompat kodok! Apa
kamu gak dengar ancamanku? Anak ini bakal kusembelih juga!"
"Tidak bisa, Pak! Itu 'kan kalau Giman main
lompat kodok?! Sekarang dia main lompat monyet. Masa Bapak gak tahu cara
monyet melompat?"
Sugiyono terpaku. Setelah diamati, dan
diingat-ingat pula bagaimana tadi Giman melompat, benar juga. Dia tidak sedang
mirip kodok. Bahkan tadi Giman sempat menjerit-jerit seperti monyet kelaparan.
Dengan hati dongkol, Sugiyono mendorong anaknya,
yang kemudian ditangkap Sriyati dengan pelukan haru. Air mata membasahi anak
beranak itu.
Sriyati tahu, kalau bukan karena Giman anak
kandungnya, dia tidak bisa merawat bocah dengan kelainan seperti itu. Kelainan
yang kadang terlihat bagai kutukan.
Tapi Sriyati juga sadar, barangkali Sugiyono tahu
tapi tidak mau bicara. Barangkali dilema, atau terpaksa? Dua kemungkinan itu
sama-sama sial.
Sementara, andai tidak mandul, Sugiyono bisa
berbuat lebih. Dia tahu kalau Sriyati pernah tidur dengan lelaki yang bukan
suaminya. Tapi dia ingin punya anak, hingga terpaksa mendapatnya walaupun anak
itu mirip kodok. [ ]
Pasuruan, 16-17 Oktober 2014
karya sastra yang bagus. kenapa tidak dipublikasi dan share ke www.radar-indo.com?
ReplyDeleteTerima kasih. Batas halaman dan emailnya?
Delete