Tulisan ini beda dari artikel-artikelku sebelumnya. Tapi,
tanpa mengurangi rasa seriusku, biarlah kusuguhkan cerita model
baru untuk kalian. Sebelumnya kuingatkan,
tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Cuma berbagi cerita dan pengalaman
saja. Siapa tahu cocok mengisi waktu luang sambil melamun dan mengingat-ingat
cerita ini di kala sepi. Hehe.
Oke, tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja, ya!
Cerita ini bermula saat aku masih SD, tepatnya kelas
empat. Ada seorang tetangga meninggal. Tak ada yang aneh sih. Semua
wajar saja, sampai warga kampung resah gara-gara ada gosip bahwa tetangga yang
meninggal itu kini menjadi hantu pocong!
Wah, wah, pas nulis kalimat ini saja bulu tengkukku
merinding disko! Hihihi. Tapi bukan berarti sesumbar. Selayaknya kita tak perlu
takut kepada apa pun selain Allah SWT, tuhan pencipta alam beserta isinya.
Betul, gak?
Ehm, lanjut ke cerita.
Begini, ketika gosip itu mulai beredar, dari mulut ke
mulut ramai terdengar bahwa sudah banyak orang kampungku yang disambangi si
Pocong. Betapa kami, anak-anak kecil ketika itu, jadi takut main selepas isya.
Padahal sebelum itu kami sering keluar rumah, main petak umpet, main apa saja
sampai jam sembilan atau kadang sepuluh malam.
Nah, gosip ini makin lama makin parah juga. Kami
sekeluarga mengira itu imajinasi. Eh, lebih tepatnya ayahku sih yang berpikir
begitu. Ayah memang tak kenal takut kepada hantu-hantu. Tapi karena aku masih
kecil, ya percaya saja kalau tetangga kami itu benar-benar jadi pocong.
Kalian pasti ingat, sekitar tahun 1999-2000an pernah ada
sinetron pocong Mimin (lupa judulnya. Yang tayang di Indosiar itu, lho)—di
situ ada Mandra yang berperan sebagai tukang gali kubur dan lupa melepas tali pocong si Mimin. Akibatnya, jadilah Mimin itu pocong.
Eh, gara-gara pengaruh sinetron gak jelas itu, banyak juga orang kampung
yang terhasut, percaya kalau tetangga kami jadi pocong betulan karena talinya
lupa dilepas.
Dari cerita-cerita para sesepuh sih, katanya memang
begitu: Kalau tali pocong gak dilepas, si mayat gentayangan. Itu entah benar atau tidak. Tapi sekali
lagi, karena cerita-cerita "kunjungan si Pocong" makin santer
terdengar, tak ayal, tiap malam aku membungkus tubuhku sempurna dengan selimut.
Namanya juga anak kecil, wkwkwk.
Pada umumnya Pocong itu menampakkan diri dengan lebih
dulu mengetuk pintu. Tok, tok, tok, tiga kali biasanya, dan sesudah
penghuni rumah keluar... Ciluuukbaa! Pingsanlah si korban berkat
kejahilan hantu Pocong. Aku bahkan tak sempat berpikir, bagaimana hantu itu
mengetuk pintu rumah, padahal 'kan tangannya dibungkus? Hmm, gak kebayang
kalau ada tombol bel bertuliskan "tekan di sini". Mungkin si Pocong
bakal menggerutu karena batal mengerjai. Hehe. Pocong 'kan kukunya
panjang-panjang (kata orang).
Nah, oleh karena kejadian demi kejadian tak henti
terjadi, menyeruaklah kabar baru, bahwa kemungkinan kedatangan hantu Pocong di
kampung kami itu diikuti oleh sosok lain yang mulai hilang ditelan zaman. Sosok
itulah yang selanjutnya menghantui malam-malam kami. Sosok itulah yang
dibawa-bawa oleh orang-orang sepantaran kakek-nenekku. Sosok itulah lampor*.
Kalian pernah dengar nama lampor, tidak? Sudah
dapat dipastikan: tidak. Kalaupun pernah, pasti jarang dari kalian yang tahu.
Sekadar informasi, lampor (bukan Mak Lampir, apalagi lemper) adalah
hantu berpenampilan mirip pocong. Tapi lampor punya keistimewaan. Apa
itu? Nanti, sabar dulu, ya. Tengkukku lagi-lagi berdisko ria nih, hahah.
Sebelum bahas keistimewaan lampor, lebih dulu
kuberi tahu sejarahnya. Keberadaan lampor sendiri sering jadi polemik.
Ada yang bilang ia cuma dongeng buatan orang dulu. Ada pula yang bilang ia
makhluk yang memang ada. Kata kakekku sih, zaman keemasan lampor adalah
ketika belum banyak jalan beraspal di kota kami, atau katakanlah di masa
pedudukan Belanda. Ketika itu pepohonan belum banyak ditebang, pembangunan
belum merata, tak ada listrik, dan kampung-kampung masih menyerupai hutan.
"Lampor manggone nang peteng-peteng," kata beliau—yang
artinya: lampor tinggalnya di tempat-tempat gelap. Maka, ketika
pohon-pohon ditumbangkan, dibangun rumah-rumah, pasar baru, jalan, masjid, dan
perkampungan makin banyak, otomatis eksistensi lampor tinggal sejarah,
hanyut dilamun petugas PLN dan makelar tanah. Hehe.
Ada beberapa versi mengenai bentuk atau penampilan hantu lampor.
Ada yang bilang ia menyerupai burung dengan baju putih berkibar-kibar. Ada pula
yang bilang ia persis pocong, memakai kain kafan tapi tangannya bisa bergerak
bebas (tidak terbungkus). Dan ada pula yang mendeskripsikannya mirip alien
(mata besar-besar, tubuh kerempeng, kulit bersisik). Karena aku pribadi sering
baca komik luar angkasa, maka versi yang paling membuatku takut bukan yang
mirip alien atau burung, tapi yang menyerupai pocong.
Kabar ini belum tentu benar, tapi anehnya orang langsung
percaya bahwa pocong pengetuk pintu itu berduet dengan hantu legendaris yang
lama tak menampakkan diri ini! Lampor telah kembali, begitu kalimat itu
berdengung di benak para warga. He's back, kata orang Hollywood.
Ketakutan atas hadirnya lampor tentu lebih dari sekadar diketuk pintu
oleh pocong. Inilah keistimewaan lampor. Selain bisa terbang, ternyata
dia juga hantu yang hobi membunuh! Waduh...
Kalian tahu, jika di film-film horor sering kita lihat
sang hantu selalu bisa menghabisi para korban dengan banyak cara, maka lampor
cukup dengan satu cara saja. Dan cara itu terbilang unik. Mau tahu? Mau
tahu? Lampor membunuh korbannya dengan cara membungkusnya dengan kain
kafan! Bila seseorang terlanjur dibungkus, maka sangat sulit melepas kain itu
karena lengket tanpa diketahui sebabnya. Wuiih, ngeri gak tuh!
Fakta lain tentang lampor adalah bentuk pantatnya.
Bukan, bukan seksi kok (jangan mikir aneh-aneh!). Pantat lampor berbentuk
lancip. Itulah titik lemahnya, atau yang sesepuh ketika itu bilang pengapesan-nya.
Konon, setiap beraksi lampor membungkus korban dengan kain kafan dengan
syarat: sang korban harus tidur di atas dipan atau kursi. Apabila seseorang
tidur di lantai, ia tak akan bisa dijangkau oleh lampor, sebab bentuk
pantat lancip itu tidak memungkinkannya untuk jongkok. Berarti seumur-umur si lampor
gak pernah masuk WC, ya? Hihi.
Maka ketakutan yang merebak di kampung lumayan bisa
diredam dengan adanya tips ini: tidurlah di lantai, maka kau akan selamat.
Lucunya, sebagian orang percaya dan benar-benar tidur di lantai, lho!
Aku juga sempat berpikir sama, tapi karena dimarahi Ayah, gak sehat
katanya, atau kadang bilang: "Sama dongeng kok takut!", tiap malam
aku sering menggigil di atas kasur. Ckckck.
Sebagai anak kecil yang suka berimajinasi—apalagi teror lampor
ini sudah menular ke banyak kampung, bahkan katanya sampai lintas kabupaten—aku
merasa lega ketika ada tips lain agar selamat dari ancaman lampor. Apa
itu? Ternyata sebelum membungkus dengan kain kafan, hantu ini lebih dulu
mengukur tinggi badan kita. Tujuannya biar tahu seberapa panjang dia butuh
memotong gulungan kafan yang dibawanya untuk si korban. Baru kali ini 'kan, ada
hantu mirip penjahit?
Lha terus, apa yang harus si korban lakukan? Cukup dengan
melipat kedua kaki, otomatis lampor akan bingung. Kok bisa? Karena
ternyata logika hantu ini bermasalah. Jadi, ketika dia sadar bahwa kain yang
dipotong terlalu panjang, potongan kafan itu akan dibuangnya, lalu dia mengukur
lagi korbannya untuk kedua kali. Dan jika kita meluruskan kaki kita lagi, maka
sang lampor akan mengalami kebingungan untuk yang kedua kali. Dia akan
buang potongan kain itu, mengukur tinggi badan kita lagi agar pas dengan ukuran
terakhir yang dilihatnya, lalu memotong kafan lagi untuk yang ketiga kali.
Nah lho! Padahal 'kan kalau kaki kita lurus lagi,
dia bisa ambil kain yang pertama dia potong tadi? 'Kan panjangnya sama? Malah
potong lagi yang baru. Hahay. Kena deh lampor dikerjain! Nah,
dengan terus menerus kita lipat dan luruskan kaki seperti itu, lama-lama
gulungan kain si lampor akan habis dan dia pun pulang dengan tangan
hampa.
Tapi tips baru ini agak bermasalah juga kalau
dipikir-pikir sih. Masa iya kita harus begadang demi memastikan membuat lampor
itu menangis bombay? Iya kalau dia datang, kita bisa teriak senang: sukurin,
sukurin, week! Tapi kalau dia gak datang? Emangnya kita robot kagak
tidur?!
Di tengah kebimbangan hatiku itu, kudengar cerita lain.
Ternyata sekitar tahun 70-an, di daerah yang tak jauh dari kotaku, juga
pernah muncul teror lampor. Ketika itu ibuku masih SMP. Seorang kerabat
yang tinggal di desa tempat lampor itu berdinas, punya kabar
mengejutkan, bahkan orang-orang sana sampai gempar. Malam itu seorang pria
tidur di amben teras rumahnya. Tiba-tiba seekor lampor membungkusnya.
Untung ada hansip yang memergoki. Tepat setelah korban terbungkus kafan, saksi
mata itu mengejar si lampor yang ternyata tidak bisa segera terbang
gara-gara kakinya pincang (waduh, ada-ada saja, ya? Lampor kok pincang.
Haha!). Diancamlah sang lampor, ditanya bagaimana cara membuka bungkusan
kafannya (sekali lagi kubilang, kalau sudah dibungkus lampor, akan sulit
dilepas sebab kainnya akan lengket di kulit korban).
"Hayo, ojok miber (jangan terbang)! Tak
pentung koen!" hansip itu memekik gagah. Dengan ketakutan, lampor
pincang itu pun mengaku bahwa untuk membuka kain kafan, cukup disiram
dengan air leri saja (air bekas mencuci beras). Ternyata ada juga ya
hantu yang takut diancam? Hehe. Akhirnya pria yang nyaris mati dibunuh lampor
itu pun selamat berkat tak terlambat disiram dengan air leri.
Dengan adanya cerita ini, anak-anak kecil sepertiku jadi
sedikit tenang. Kok bisa? Ya iyalah. 'Kan kalau nanti ada lampor yang
usil membungkus kami, kami bisa minta tolong orang dewasa untuk gantian begadang?
Hehe. Jadi kalau harus tidur di dipan dan tidak bisa menarik-ulur kedua kaki,
paling tidak kami masih bisa selamat berkat siraman air leri di saat
mereka memergoki lampor itu beraksi. Benar-benar konyol. Ckck.
Tapi tunggu dulu. Belum cukup di situ mitos lampor ini
membuat sebagian orang dewasa berpikir tidak logis seperti anak kecil. Satu
lagi hal konyol yang sampai sekarang masih kuingat adalah solusi terakhir
ketika tak ada lagi cara untuk selamat dari lampor, yakni menggantung
beberapa potong es lilin warna merah di teras rumah. Kalian tahu es lilin? Yang
dibungkus plastik kecil itu, lho. Ah, masa sih gak tahu? Tahulah.
Sekadar info, teror lampor di kampungku terjadi
2-3 bulan lamanya. Dan selama itu berlangsung, pelan-pelan gosip tentang hantu
pocong door to door sudah tak lagi terdengar. Tak tahu kenapa. Mungkin
karena lampor legendaris dan tertanam di benak para tetua. Ketika lampor
itu naik daun, maka semua orang memikirkannya, membuat lupa lain urusan.
Sebab baru kali itu telinga kami—para anak kecil dan
remaja ketika itu—kemasukan cerita-cerita
ganjil tentang hantu yang belum pernah ada, aneh, seram, dan cacat hukum.
Seorang teman berpendapat: kalau ada hantu jahat, lampor-lah
yang terbaik. Walau kurang cerdas, lampor termasuk hantu
berkepribadian ganda. Selain kurang ajar, ia juga sopan. Carilah olehmu, mana
ada hantu yang membunuh sekaligus mengurus si mayat, hingga meringankan beban
keluarga korban tanpa harus membeli kain kafan? Kurasa ada yang kacau di
kepala temanku itu.
Nah, teman-teman, begitulah ceritaku tentang lampor.
Apa yang kutulis ini adalah apa yang kutahu. Kalau ada yang pernah atau bahkan
tahu lampor dalam versi lain, tak apa berbagi juga. Siapa tahu jaman
sekarang lampor jadi lebih maju, misal bajunya ganti baju drakula gitu.
Wkwk.
Sekali lagi tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Cuma
ingin berbagi keseruan masa kecil saja. Kenapa kusebut seru? Karena saat itu
aku benar-benar mengira lampor ada. Tapi, setelah dewasa, barulah aku
sadar kalau di muka bumi ini adanya cuma lemper. Tahu lemper, 'kan? Makanan
dari ketan yang diisi abon itu, lho (kadang ada juga sih yang
diisi suwiran daging ayam, tergantung selera, hihi).
Seperti biasa, kalau nulis apa-apa aku ingin menyisipkan
pesan. Biar ada manfaatnya (semoga). Dari keseluruhan pembahasan soal lampor
ini, pesan yang bisa kita petik adalah: janganlah percaya pada mitos apa
pun, karena pada dasarnya mitos itu dibuat agar kita belajar.
Dalam hal ini, mitos lampor membuat kita belajar
sabar. Kok sabar? Ya iyalah sabar. 'Kan dia gak marah kalau kita kerjai,
malah rela mengukur dan memotong kafan sampai berkali-kali, padahal ukurannya
sama. Mitos ini juga membuat kita belajar, bahwa kematian ada di tangan
Tuhan. Manusia tak bisa mengontrolnya.
Sekian terima kasih. Bagi yang suka cerita hantu
Indonesia, insya Allah kutulis lagi (dari pengalamanku pribadi). Kalian
tunggu saja. See you next time. Bye-bye.
(*) Ilustrasi lampor oleh penulis:
Wah, terus posting cerita hantu ya Mas, aku suka :)
ReplyDeletebtw yang sinetron itu si pocong namanya Mumun, aku tahu kok soalnya itu juga pas jamannya aku kecil. Kalo Mimin itu nama kembarannya si Mumun yang masih hidup
Postingan ini paling jarang dikunjungi, karena mungkin jarang nulis hantu. Hehe. Melihat komen mbak jadi pengen nulis hantu lagi. :)
DeleteKalau soal mimin, iya saya lupa :D Waktu ada sinetron itu saya masih Sd.