Ini kejadian saat tiga orang saudaraku dan keempat
temannya mati dibunuh kelompok berpakaian hitam. Entah apa mulanya sebagian
orang mengira bahwa yang membunuh saudara kami adalah utusan iblis. Maklum,
aneka ilmu gaib sedang jadi trend. Di mana-mana orang ingin belajar
santet, ilmu kebal, dan lain sebagainya. Namun, bagi mereka yang rajin
mendekatkan diri kepada Tuhan yang mahakuasa, informasi atau dugaan seperti ini
tak lantas ditelan mentah-mentah.
'"Baik agamaku maupun agamamu, mengajarkan
manusia untuk selalu berbudi luhur. Berbaiksangkalah. Mungkin pelakunya tak
sengaja, atau jangan-jangan mereka cuma korban," tutur sesepuh desa yang
terkenal alim di antara para tetua.
"Kok bisa mereka disebut korban? Berarti mereka
yang mati tumbal? Sampeyan jangan asal ngomong, Pak!" sahut
Jupri tajam, matanya membara. Seperti halnya aku, Jupri bernasib sama. Dua
saudaranya mati. Hanya saja, caranya tak seberuntung ketiga adikku yang
ditembak tepat di jantung. Mereka mati akibat disembelih. Kepalanya dicerai
dari tubuh, dibuang ke tempat yang jauh.
"Lho, jangan tersinggung. Maksudku gini,
Nak Jupri. Mungkin mereka kambing hitam. Entah siapa yang nyuruh,
intinya mereka cuma suruhan. Dan kita, tak tahu siapa yang nyuruh. Bisa
saja, 'kan? Jadi jangan gegabah. Kita harus berpikir dewasa," sahut
sesepuh itu dalam posisi duduk yang sama, dan dengan raut muka yang tak berubah
tenangnya.
Mendengar itu, ruangan rapat jadi berisik.
Bisik-bisik menggaduh, menambah titik peluh di wajahku. Bermacam pendapat mulai
bersikutan. Dan aku, aku cuma bisa diam, mewanti-wanti agar jangan
sampai terjadi kesalahpahaman.
"Berarti kita mesti memburu mereka. Bila
perlu, kita tekan supaya ngaku siapa bos yang menghendaki kekacauan ini.
Kalau ndak mau, kita siksa dengan siksaan yang paling keras, biar dobol
sekalian!" usul Mulyadi, pemuda paling vokal.
"Kita ancam saja. Jangan pakai siksa. Kalau
mati, gawat. Kita bisa dipenjara. Bapak emak kita kasihan dan dalangnya malah
senang melihat betapa bodohnya kita!" sela Darman tak kalah kencang.
Pertentangan yang lebih kentara mulai terjadi,
ketika kelompok perdukunan dan pecinta ilmu gaib menyanggah dengan mengatakan:
bahwa kerusuhan ini bukanlah bentuk konspirasi, melainkan sekadar cara memenuhi
syarat suatu ilmu. Jadi, upaya apa pun yang tengah diperdebatkan mengenai
pencarian dalang di balik pembunuhan ini, hanyalah sia-sia.
"Dengan bantuan iblis, jin, dan setan, kita
bisa jadi apa yang kita mau. Mau kaya? Bisa! Mau melet anak orang? Bisa!
Mau buat musuh cilaka? Bisa! Bahkan kita bisa kalau hanya sekadar mau
jadi penguasa! Semua bisa! Maka, sungguh bijak kalau bapak-bapak dan adik-adik
pemuda sekalian di sini mau mendengar saran kami untuk mencari tahu biang
masalah lewat sumber terpercaya. Kami punya banyak kenalan, mulai dari dukun
kampungan sampai ahli klenik paling profesional sekalipun, untuk
mengomunikasikan kehendak dan maksud tujuan sampeyan kepada iblis
terlaknat, agar bisa segera diwujudkan!" lontar Sarkun—kepala persatuan
warga pecinta klenik di kampungku—panjang lebar.
"Astaghfirullah! Sampeyan ngajak
nyari solusi atau mau menyesatkan warga? Ini masalah sosial dan nyata,
bukan gaib! Yang kita ingini bukan lewat jalan pintas, sebab yang sampeyan bilang
barusan justru malah membuat kita nyasar! Ketahuilah, Kun, iblis itu
senang menyesatkan manusia! Dan pula, baik iblis, jin, maupun setan, ndak
bisa melebihi kemampuan Tuhan. Sampeyan mau apa-apa, silakan minta
pada-Nya. Sudah pasti bakal dikabulkan, asal permintaan sampeyan ndak aneh-aneh
dan ndak merugikan orang laen!" tentang Salim si guru ngaji.
Tiga kubu pun makin tajam meraut perbedaan. Kubu
satu adalah mereka yang berhati-hati dalam bersikap dan menyukai tindakan
menyelidiki terlebih dulu akar permasalahan. Kubu kedua adalah mereka yang
ingin segera menangkapi pentolan kelompok berpakaian hitam, lalu mendesaknya
agar membeberkan alasan membunuh saudara kami. Sedang kelompok ketiga, adalah
mereka yang percaya bahwa misteri di balik semua ini tak lebih dari perang
gaib, yang hanya akan membuat gila saja bila kami mencoba menghentikannya
dengan logika.
Di depan para pemuda yang gampang berubah
pendirian, argumen terus bergulir, saling baku hantam, tak mau kalah. Sebagian
ada yang mulai terpengaruh. Sebagian lain kukuh bertahan. Aku sendiri sama
sekali tak terpengaruh selain dengan apa yang sejak awal kuyakini, bahwa
saudaraku mati dibunuh dan kini pembunuh itu masih berkeliaran. Tugas kami
adalah bagaimana agar pelakunya segera tertangkap dan mendapat hukuman
setimpal, bukan malah memperdebatkan soal lain.
"Intinya kita harus tangkap pelakunya. Itu
saja dulu. Jangan main adu pendapat macam ini. Keburu mereka kabur!"
potongku dengan suara nyaris tenggelam.
Untung orang-orang mendengar dan mulai
menghentikan perselisihan, walau aku tahu ujung-ujungnya pasti bakalan kembali
lagi terjadi perbedaan prinsip. Tapi paling tidak, dengan bersuaranya aku,
keadaan menjadi lebih terkendali. Aku merasa menjadi pemuda beruntung karena
suaraku didengar. Jarang-jarang pemuda sepertiku, apalagi pengangguran, yang
pendapatnya dipertimbangkan dalam kondisi paling mendesak. Dan malam itu, mitos
bahwa cuma sesepuh berpengalaman saja yang paling bisa diterima—bahkan meski
keputusannya absurd sekalipun—patah seketika.
Akhirnya, beberapa tim dibentuk untuk mengatasi
kasus ini. Tentunya tim yang terdiri dari tiga warna, yang bekerja sesuai
dengan visi-misi masing-masing. Tim pertama melakukan pendalaman atas kasus
kematian tujuh orang pemuda. Besok pagi, mereka berangkat ke gudang penyimpanan
arsip di ujung kampung, tempat segala cerita, legenda, sejarah, serta semua
catatan penting mengenai kampung disimpan. Dimulai dari situ, nanti, bila tiba
waktu yang tepat, kira-kira sebulan atau dua bulan ke depan setelah
penyelidikan mencapai tahap lumayan optimal, mereka melanjutkan mewawancarai
beberapa warga yang kemungkinan besar tahu dan terlibat dalam kejadian (bila
perlu semua warga). Barulah sesudah itu, merancang wacana untuk melakukan
penangkapan dan tindakan hukum bagi pelaku asli, yang—menurut mereka—adalah
dalang di balik semua ini.
Sementara itu, tim kedua terlihat lebih tenang.
Mereka tak ingin melakukan apa-apa malam ini, selain ritual rutin dengan
kembang tujuh rupa, dupa, kemenyan, lilin, dan berbagai properti
perdukunan. Seperti halnya tim pertama, tim ini memulai kerja nyatanya esok hari,
yakni dengan mendaki Gunung Gondrong, sebuah gunung yang berdiri kokoh di
selatan kampung. Konon di gunung itulah mereka percaya bahwa sinuhun tertinggi
dunia gaib—atau dengan kata lain: iblis kesayangan mereka yang terlaknat itu—bersemayam.
"Sesudah dapat perintah, barulah kami turun
dan memulai pekerjaan berikutnya: mencari rumah dukun lawan yang mengirim bala
musibah ke kampung kita!" terang Sarkun berapi-api.
"Memangnya kapan kalian bakal turun?"
tanyaku penasaran.
"Secepatnya. Tapi ndak bisa dipastikan
kapan. Yang jelas, nunggu iblis itu datang dan memberi restu dulu, barulah kami
turun."
Lain dari dua tim sebelumnya, tim terakhir, yang
digawangi sebagian besar pemuda, langsung bekerja tanpa menyusun terlalu banyak
rencana. Aku termasuk di dalamnya. Kami memulai tindakan malam itu, dengan
mengirim pemuda ke beberapa titik yang menjadi asal muasal kerusuhan, yakni
barat dan timur. Dari dua batas kampung itulah, saksi mata yang enggan
disebutkan namanya, mengatakan bahwa kelompok berpakaian hitam menyelinap
masuk.
"Aku melihat wajah mereka
pucat-pucat, giginya bertaring, tapi matanya seperti mata bayi. Mereka bukan
pakai kaus, kemeja, apalagi jas. Pakaian mereka sebatas kain lebar yang
ditudungkan ke sekujur badan, seperti hantu!" terangnya kala itu.
Sementara teman-teman berangkat, kami yang lain
mulai mendatangi rumah para korban, menggali keterangan lebih lanjut dari
barang-barang kepunyaan mereka. Dari sinilah, akhirnya kami tahu siapa-siapa
yang menjalin komunikasi sebelum kejadian itu berlangsung, juga bagaimana batas
timur dan barat dapat dimasuki orang asing tanpa bisa seseorang memberi
peringatan pada yang lain.
"Ternyata mereka datang dengan damai. Jadi
para hansip ndak nyangka kalau tamu-tamu yang memberi mereka rokok itu
adalah pembunuh. Hansip-hansip itu ndak sadar dan mereka menyesal karena
lalai," tutur Mulyadi dengan kesal. Kemudian pemuda lain melanjutkan bahwa
kelompok pembunuh itu rupanya pintar menyamar, bagaikan orang baik-baik yang
tidak mempunyai taring.
Maka, pagi ini juga, setelah mendapat informasi
dari barat dan timur, tim kami berhasil menemukan titik terang, terutama
setelah mengumpulkan data dari telepon genggam milik Sardi, adik Slamet yang
juga termasuk korban pembunuhan. Pesan singkat yang masuk di ponsel itu dikirim
seseorang dari kawasan utara dalam waktu 13 menit sebelum tragedi berdarah itu
berlangsung. Sebagaimana yang telah kami tahu, kampung utara adalah kampung
paling maju. Namun para penduduknya jarang membaur dengan penduduk dari
kampung-kampung lain. Yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana mereka memilih
masuk melalui timur dan barat? Apa tujuannya?
Tapi, walau kepala pening, paling tidak esoknya
kami sudah siap berangkat ke kampung utara, menuju rumah salah satu pentolan
kelompok berpakaian hitam itu. Berkat bantuan Darman yang pernah kuliah jurusan
komputer, kami bisa melacak alamat pastinya. Dua tim lain dari kalangan senior
yang bertele-tele—juga kalangan tipis iman yang siap mendaki gunung pun—tampak
terheran-heran melihat kami seperti bersiap menuju suatu tempat.
"Kalian mau ke mana? Katanya semalam kerja?
Dapat apa?" ledek Sarkun.
Wak Muraji, penggagas berdirinya organisasi Pria
Lanjut Usia Tapi Perkasa, juga tak kalah gencar meledek kami. Mereka berdua
pikir kami plin-plan, sebab tiba-tiba pagi ini hendak pergi meninggalkan
kampung tanpa tahu apa yang sudah kami usahakan. Dikiranya kami menyerah
mengatasi kasus ini.
Dua atau tiga hari kemudian—ketika tim satu dan
tim dua masih berkutat dalam langkah awal mereka—salah satu pelaku berhasil
kami tangkap. Orang di kampung utara biasa memanggilnya Joni. Dan, betapa heran
kelompok yang berseberangan prinsip dengan kami, mendapati aku dan teman-teman
sibuk menenangkan Joni yang tak henti berontak semenjak kami ciduk dia dari
rumahnya.
"Makhluk macam apa ini?! Kalian ndak salah
tangkep?!"
Salim yang tak kenal takut pada cerita-cerita
mitos, hantu, dongeng, dan lain sebagainya, kini hanya bisa terpaku melihat
pemandangan seram di matanya. Sebab, benarlah apa yang tempo hari saksi itu
bilang, bahwa semua pelakunya berwajah pucat, bertaring panjang, dan bermata
seperti bayi.
"Damn it! What's your problem, Man?!
Saya tak tahu apa-apa. Hei ... Don't touch me! Saya akan panggil my
lawyer, lalu kalian semua saya tuntut biar go to the hell!"
kata Joni jengkel dengan bahasa aneh yang sebagian bisa kami pahami, sebagian
tidak bisa kami mengerti.
Tapi, biarpun terus mengoceh, kami tak
menggubrisnya, malah membiarkan para sesepuh dan mereka yang berpindah haluan
menjadikan Joni obyek pengamatan. Di waktu bersamaan, kami dapat pula informasi
melalui telepon satelit dari anak buah Sarkun, bahwa tim kedua yang baru sampai
di puncak gunung pagi ini mengalami kecelakaan. Sarkun dan dua temannya
terpeleset ke tepi jurang. Ia selamat tapi dua lainnya mati. Kami sedih.
"Mereka bilang, hari ini mau turun. Mungkin
besok lusa sampai," ujar Darman seraya menutup teleponnya.
"Mereka kira gunung itu aman. Andai mereka
mau pakai cara logis seperti kita. Buktinya, sekarang Joni berhasil
ditangkap," sesal Jupri.
Tak buang waktu, hari itu, kami—beserta tim
pertama yang mendadak mengajak menjalin hubungan kerjasama—melakukan interogasi
di tempat tertutup. Joni kami giring dengan menutup wajahnya rapat-rapat
terlebih dulu. Agar ia tak tahu bahwa ke gudang tua di barat kampunglah kami
membawanya; sebuah gudang bekas penyimpanan beras. Anak-anak kecil yang
penasaran ingin melihat wajah seramnya, harus kami halau di sepanjang jalan
agar tak menghalangi pekerjaan. Maklum, kedatangan pemuda berpakaian hitam ini
membuat ibu-ibu ingin memberi anaknya pelajaran. Mereka menakut-nakuti bahwa
bentuk hantu wewe gombel—yang berpayudara besar dan senang menculik anak
kecil itu—sebenarnya tak jauh dari si Joni. Kami tertawa, karena belakangan
tahu betapa julukan itu timbul akibat Joni menyebut kata-kata 'hell'
tanpa mereka tahu apa maksudnya.
Sayangnya, di luar cerita lucu tentang wewe
gombel, sulit bagi kami untuk mendapat informasi dari Joni yang terus
bungkam. Kami desak bagaimanapun, ia enggan menjawab. Kami ancam dengan
berbagai cara, tetap saja hasilnya sama. Ia tak bisa diajak kerjasama.
"Kalau gini, kita tembak saja! Aku
capek! Biar dia mati sekalian. Itung-itung membalas tindakannya
menghabisi saudara kita!" keluh Jupri.
Kami mencegahnya. Berbuat gegabah hanya akan
menimbulkan masalah baru. Bukankah kami kesulitan menangkapnya? Sekarang, yang
perlu dilakukan adalah ekstra bersabar agar Joni mau bersuara.
Namun, hari demi hari, keputusan kelompok pemuda
sepertiku pada akhirnya menuai kritik pedas. Para tetua yang tadinya tiba-tiba
menaruh kepercayaan kepada kami, sekarang berbalik menunjukkan tanda-tanda
beralih pandangan, kembali ke keyakinan awal bahwa kami tidak cukup matang
mengatasi semua ini, dan bahwa kami: perlu melakukan penyelidikan lebih
mendalam dari segala sudut pandang untuk dapat menemukan titik terang dari
persoalan ini. Semua ini disebabkan oleh Joni yang tak kunjung mau buka mulut.
"Lama-lama kasus ini basi dan kalian ndak akan
bisa menemukan dalangnya!"
Tapi, belum juga kami putus asa (dan agaknya
memang tak akan begitu), Sarkun dan teman-temannya datang. Dua jasad yang mati
di atas gunung dikubur hari itu juga. Sesudah itu, mereka mendatangi basecamp
dan hendak mencari tahu orang macam mana yang berhasil kami tangkap.
"Namanya Joni. Dua hari kami interogasi, tapi
dia ndak mau ngomong," jelasku seraya berjalan santai menuju
gudang tua itu. Di belakangku, turut pula teman-teman sekelompok, beserta
Sarkun dan para pecinta klenik yang penasaran.
Dan, tepat di waktu yang bersamaan, setelah pintu
gudang terbuka, Sarkun dan kawan-kawannya terkejut dengan apa yang mereka
lihat. Aku dan timku yang bekerja keras hingga berhasil menangkap dan sedang
dalam proses menangani Joni, mencium ada sesuatu yang ganjil.
"Oh, thank you, my friends! Akhirnya
kalian datang juga! Come on! Lepaskan saya! Nanti I'll give you my
blood!" teriak Joni kegirangan.
"Ada apa ini? Kalian sudah kenal?" tanya
Salim menyelidik. Pemuda alim ini tadinya sempat bergabung bersama kelompok
sesepuh yang lamban, tapi sekarang memihak kami karena berpikir tindakan
sesepuh itu hanyalah bentuk pencitraan, atau dengan kata lain: cuma
mencari-cari nama baik.
"Eh, anu ... kami memang kenal. Tapi ndak
nyangka kalau dia pelakunya," jawab Sarkun kelabakan.
Aku tahu ada yang tak beres. Dengan segera,
teman-teman Sarkun penggemar ilmu hitam itu menghambur ke arah pelaku dan
berusaha memukulnya. Mulyadi dan beberapa pemuda di pihak kami menghalangi.
"Apa maksud kalian? Kita butuh informasi.
Kalau Joni celaka, pembunuhan ini tak akan pernah terungkap!"
"Tapi dia bahaya! Makhluk ini harus mati
secepatnya!" bantah anak buah Sarkun.
"Apa-apaan ini?! What's wrong with you,
Guys?! We are friend, saya pendukung kalian! And I was your
brother, right? Kenapa kalian mengkhianati saya?!" sahut Joni
kebingungan.
Para hadirin di gudang tua serempak menusuk Sarkun
dan pengikutnya dengan tatapan sarat kebencian. Tanpa menunggu perintah, Slamet
menghimpun beberapa pemuda; memblokir jalan keluar agar tak ada yang lari
menyembunyikan tangan. Segala yang membingungkan ini harus segera dibongkar.
"Sumpah! Dia tak lebih dari setan yang haus
darah! Dia sedang menghasut kita agar kampung ini pecah! Dia sedang membodohi
kalian!" kilah Sarkun panjang lebar.
Akan tetapi bukti-bukti yang ada tak tersangkal.
Mengelaknya Sarkun—yang bagi Joni adalah bentuk pengkhianatan—malah membuat
pembunuh itu dengan mudah membuka mulut. Dibeberkanlah bahwa selama ini
kelompok pecinta kleniklah yang menjadi dalang pembunuhan.
Ya, Sarkun dan teman-temannya ada di balik ini.
Dialah yang paling berbahagia atas kematian tujuh pemuda tak berdosa itu.
Sebabnya adalah saudara-saudara kami bermaksud memberantas kemusyrikan yang
mulai menjamur dan hampir sulit untuk dibasmi. Dan bila itu berhasil, Sarkun
dan orang-orang sealirannya pasti kehilangan mata pencaharian mereka sebagai
tukang ramal, tukang santet, tukang pelet, dan tukang-tukang lain
yang membutuhkan bantuan iblis terlaknat demi melancarkan setiap aksinya. Dan
itu, tentulah sangat tidak Sarkun inginkan.
"Jadi, sebenarnya dia ini apa?" tanya
Slamet keheranan, menatap setiap jengkal tubuh Joni yang lain dari manusia pada
umumnya.
"Dia dan kelompok berpakaian hitamnya adalah
iblis setengah manusia," jawab Darman pasti, usai didapatnya sebaris password
untuk membobol dan mencari tahu informasi paling akurat di gudang arsip online
milik kampung utara. Joni cuma menunduk ketakutan mendengar ucapan Darman.
Kami mengencangkan ikatannya. Sarkun dan kawan-kawan juga takluk di tangan
kami.
Sungguh, betapa aku dan kawan-kawan sulit percaya.
Tapi ini nyata. Di gudang arsip online itu—yang tentunya telah
terproteksi agar tak sembarang user bisa mengaksesnya—terpapar jelas
informasi rahasia, mulai dari pengambilalihan kontrol atas warung-warung kopi
di kampung barat melalui agen propagandis, hingga politik adu domba yang
ditujukan pada warga kampung timur yang kolot. Seluruh rekam jejak buruk ini
terjadi hanya demi satu tujuan: melancarkan jalan menyusup ke tempat kami;
kampung tengah yang gemah ripah loh jinawi, kampung kaya raya yang
dihuni oleh para petinggi yang miskin moral!
Darman memang top. Berkat kemampuannya yang mumpuni
terkait teknologi komputer dan sejenisnya, pekerjaan kami jadi lebih mudah.
Terlebih usai Joni dengan pasrah menyebut satu per satu nama anggota hitam yang
terlibat dalam pembunuhan. Dari salah satu nama itulah, Darman memperoleh kata
kunci terakhir yang dia butuhkan: george. Kuacungkan jempol untuknya.
Demi mendengar kata online, Mulyadi yang
gaptek cuma bisa geleng-geleng kepala, takjub. Apalagi usai didengarnya kalimat
tambahan dari kawannya yang pintar main komputer ini: "Joni memang alat
bila dilihat dari luar, tapi dia dan kelompoknya juga berperan besar dalam
menyusun konspirasi busuk ini!"
"Alat di luar? Maksudmu, kelihatannya alat
tapi sebenarnya bukan? Jadi, Sarkun dan kelompoknya apa? Siapa yang
dalang?" tanyaku seketika.
"Lihat. Bahkan informasi di sini tertulis
jauh sebelum kita lahir. Nyatanya, orang-orang kampung utara memanfaatkan
sumber daya kampung tengah demi menghidupkan kekuatan gaib mereka agar bisa
menguasai seluruh wilayah. Tanpa orang-orang sesat dan miskin moral macam
Sarkun, kelompok jubah hitam tak akan berkutik. Mereka bisa krisis makanan
dalam wujud darah, daging, kepercayaan, kekayaan, keadilan, kesetaraan,
kemakmuran, dan segala segi kehidupan yang perlu dijaga dan bersifat personal.
Makanan-makanan itu secara rutin dipersembahkan dukun-dukun bangsat ini kepada
mereka. Apalagi kalau bukan demi keuntungan pribadi, Sarkun dan kelompok
tertawa senang di atas kesedihan kita?!"
"Jadi?" tanyaku yang mulai menyatukan
satu demi satu puing teka-teki dalam kepala.
"Adik-adikmulah tumbalnya. Mereka melawan
Sarkun dan para pengikutnya yang mengabdi untuk iblis, agar kelompok hitam
enyah dari sini. Sayangnya, belum sampai itu terwujud, mereka harus terbunuh.
Iblis memang punya banyak cara untuk menyesatkan manusia."
"Oh, jadi begitu. Sudah, sudah cukup, Man.
Semua sudah jelas. Sekarang kita tangkap pembunuh lain teman Joni. Sudah kau
catat nama-namanya?" sela Mulyadi.
"Sudah."
"Lebih baik kita kurung dulu Sarkun dan anak
buahnya di dalam kurungan. Satukan sama wewe gombel ini, lalu kita taruh
di tengah lapangan. Biar orang-orang kampung sini tahu betapa busuk dan
liciknya mereka selama ini!" usulku.
Maka, sore itu juga, kami memajang para penjahat
yang terlibat dalam konspirasi tingkat tinggi ini, di salah satu sudut
lapangan. Semua orang boleh melihat sepuasnya. Para wartawan pun tak melewatkan
kesempatan memotret wajah mereka yang pucat. Anak-anak yang selama ini melihat wewe
gombel sebatas dalam mimpi, merasa bahwa hantu penculik yang ada di dunia
nyata dan bernama Joni ini, sungguh lebih dari sekadar seram.
"Baik, Mak, kami janji ndak nakal lagi
dan bakal manut," kata mereka serempak. Ibu-ibu itu terharu,
bahagia, dan mengucap banyak terima kasih kepada kami karena telah menyuguhkan
tontonan paling bermutu seumur hidup mereka.
Selagi timku mempersiapkan diri memburu para
pelaku lain yang ada di utara, kami serahkan untuk sementara urusan penjagaan
pelaku yang sudah tertangkap kepada kelompok sesepuh. Secara mendadak, tim yang
dibentuk dan diketuai Wak Muraji ini pun memberikan standing applause bagi
kami. Menurut mereka, pemuda harapan seperti kami ini layak diberi penghargaan
karena berhasil mengupas tuntas kasus besar dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
"Ndak, ndak usah penghargaan atau
apalah itu. Yang kami cari cuma kebenaran dan keadilan. Ambil saja penghargaan
buat bapak-bapak yang terhormat. Kami sudah cukup bersyukur atas terkuaknya
kejahatan ini. Kembalinya keasrian kampung kita, adalah kembalinya kehidupan
kami," jawab Jupri bijak, berlinang air mata.
Seperti aku dan Slamet, Jupri puas memperoleh
keadilan untuk dia dan keluarga, meski harus memperjuangkan sendiri bersama
teman-teman. Kami tak hendak mempersoalkan nama baik, apalagi kinerja badan
arsip kampung yang di kemudian hari diketahui melakukan banyak kekeliruan. Kami
tahu itu bukan salah mereka. Wak Muraji dan kawan-kawannyalah yang menjumpai
para wartawan, bukan kami. [ ]
Pasuruan, 17-20 Mei 2014
wooow, kereen (y) :)
ReplyDeleteTerima kasih :)
Delete