(Dimuat di Minggu Pagi edisi 28 Agustus 2020)
Aku tidak mengenal perempuan itu, tetapi kurasa pernah melihatnya di suatu kota di masa lalu. Kunjunganku ke berbagai kota tidak bisa dibilang sebagai upaya melarikan diri. Maksudku, itu pekerjaanku. Sejak dahulu entah berapa banyak kota kudatangi, dan ketika tubuhku menua dan tak mampu mengerjakan segala kesenangan lagi, aku pensiun dan membangun rumah di kota yang juga kampung halamanku.
Bertahun-tahun perjalanan tak begitu saja membuatku mengenal gadis yang dapat membuatku jatuh cinta. Akhirnya aku hidup sendiri dan tidak pernah menikah. Kukira ini takdirku; sendiri sampai tua dan mati. Saat rumah masa tua itu selesai kubangun, aku kesepian.
"Tak pernah kubayangkan hidupku bisa sesepi ini. Berkelana membuat diriku lupa pada banyak hal," kataku pada seorang rekan, yang hadir dalam acara pesta berdirinya rumah baruku. Setelah tamu-tamu pulang, rasa sepi itu semakin menggila.
Hari demi hari kulalui dengan lebih banyak menyendiri di setiap sudut rumah dan itu bukan sesuatu yang nyaman. Masa mudaku penuh perjalanan dan pertemuan dengan ribuan manusia dengan bermacam watak. Semua itu membuatku terkekang saat kukira hidupku kuletakkan pada wadah yang layak.
Aku tahu tidak mungkin ini diubah. Masa pensiunku tiba dan aku tidak sanggup ke mana-mana seperti dulu. Lagi pula beberapa tahun terakhir tubuhku terasa janggal. Aku tak ingin tahu penyakit apa yang menderaku atau maut jenis apa yang dapat membawa tubuh fanaku ke liang lahat.
Kepada dokter kukatakan, "Anda simpan saja diagnosis Anda itu, karena saya ingin menjalani sisa hidup dengan tenang."
Setidaknya, pikirku waktu itu, membangun rumah dan menempatinya di masa tua tidak membuatku terkubur di antah berantah, suatu tempat yang di masa mudaku terlalu sering kusambangi. Setidaknya aku tahu kalau kelak aku mati, seseorang menguburku di sini, di kampung halamanku, dekat kuburan ibu dan bapak kandungku.
Kesepian yang datang setelah rumah itu berdiri mengajarkanku bahwa segala yang dulu kuanggap enteng, sama sekali tidak mudah. Aku justru tersiksa dan ingin, jika saja Tuhan mau, tubuhku kembali muda. Aku ingin lari sejauh mungkin dari rumah ini. Aku ingin terbang bebas dan melewati segala batas yang orang pikir mustahil untuk dilewati.
Kukira orang-orang pada saat itu melempar omong kosong, "Kami mengira lebih baik begini. Tak pergi ke mana-mana. Menetap dan membangun keluarga di tempat asal adalah anugerah yang bakal kau sesali di hari tua kalau tak kau jalani."
"Bagaimana kalian begitu yakin?"
Setelah melewati banyak hal, aku tak terlalu menyesal tidak pernah bertemu tulang rusukku. Aku malah melihatnya sebagai anugerah, karena bisa bepergian tanpa terikat dengan seseorang dan tanpa bersedih hati saat pasangan mati. Sayangnya, kondisi tubuh yang menua, ditambah kesepian di rumah baru, membuatku mulai menyesalinya. Aku berpikir, seandainya dulu tak berkelana dan menetap di kampungku, kemudian menikah dan mengerjakan segala hal yang sewajarnya, mungkin hari tuaku tidak sesepi ini.
Penyesalan awalnya bagai jerawat. Suatu ketika jerawat itu membesar dan berubah jadi benjolan berisi nanah. Bukan meledak untuk kempis, benjolan itu makin hari makin bertambah parah dan aku bisa menghirup aroma busuk yang melahirkan rasa iba di hati semua orang. Di dadaku ada sakit yang sulit dijelaskan.
Dalam beberapa kesempatan, beberapa rekan lama sesama petualang, datang untuk berkunjung, tetapi mereka tidak banyak. Mereka tidak dapat mengusir apa pun yang kini menggangguku, yakni sepi, melainkan cuma memberi penguluran waktu untuk kembali ke kesepian itu lagi.
Salah seorang rekanku berkata, ketika kusampaikan tentang rasa sakit di dadaku itu, "Itulah gelaja patah hati. Kau patah hati di usia setua ini."
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, tetapi terakhir memeriksakan kesehatan ke dokter, dia tidak bicara apa pun tentang penyakit pernapasan. Barangkali memang itu yang orang sebut patah hati. Kukira aku sedang patah hati tentang hidupku sendiri yang selama ini terlalu banyak kulewatkan untuk memuaskan hasrat pribadi. Kukira aku telah berbuat tidak adil pada hatiku sendiri. Maksudku, aku tidak tahu bagaimana mungkin ini terjadi. Dulu aku begitu berambisi menjelajahi banyak tempat di ujung dunia, tetapi hari ini, keinginan terbesarku bukan itu.
Kegiatan sehari-hari mulai kuubah. Aku keluar dan berjalan ke beberapa sudut kota yang tidak jauh dari rumah. Jarak dua atau tiga blok adalah jarak terjauh yang masih bisa kutoleransi, karena selain tubuhku tidak kuat berjalan jauh seperti dulu, aku tidak ingin tenggelam lagi oleh masa lalu.
Dalam perjalanan inilah aku bertemu perempuan itu. Dia seakan datang dari suatu masa yang purba. Seakan seseorang meletakkan beberapa potong cerita dari masa laluku ke dalam stoples, lalu hari ini, saat aku menua, seseorang itu bosan dan mengembalikan beberapa potong cerita secara utuh, seperti dulu saat kami pertama jumpa.
Maka, beginilah yang terjadi: seorang perempuan muda melintas di depanku, dan aku mengira pernah mengenalnya berpuluh-puluh tahun silam di suatu kota.
Aku ingat sebuah nama. Aku ingat bagaimana perkenalan itu dimulai. Aku ingat seseorang bernama Helen menyapaku di sebuah festival seni tahunan di suatu kota di benua lain. Saat itu aku tak menganggap Helen sebagai sosok yang istimewa. Lagi pula, Helen bukan sejenis perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta. Dia lebih menyerupai adik di mataku.
Helen memberiku beberapa hal penting; pelajaran menerima perbedaan, yang jelas sulit kulakukan. Pada masa itu aku selalu mencibir orang-orang yang lebih senang hidup di balik cangkang mereka dan enggan bertualang ke segala penjuru dunia. Helen tidak setuju, tetapi dia tak mengajakku debat. Ketika akhirnya kami berpisah, dia memberiku kalung dengan inisial namanya. Katanya, agar sampai kiamat aku bisa terus mengingat dirinya.
"Kenapa kau lakukan ini?" tanyaku spontan.
"Orang sepertimu tidak mampu menyimpan kenangan, kecuali yang istimewa. Dan kuharap aku istimewa."
Aku tak tertawa dan tak juga membalasnya dengan ucapan. Aku meminta diri dan pergi sesegera mungkin dari situ. Sejak itu, memang aku tidak pernah melupakan Helen. Maksudku, di beberapa titik, aku tidak ingat ada seorang Helen yang berperan seakan dia adikku, meski kami bersama selama kurang lebih satu bulan. Satu bulan di kota asal Helen, kukira lumayan lama bagi orang sepertinya.
Jadi, caraku menghargai pertemanan kami adalah tetap menyimpan hadiahnya tersebut, dan bahkan terus memakai kalung itu hingga bertahun-tahun kemudian.
Tentu saja kalung pemberian Helen tidak hilang. Aku tetap menyimpannya di balik tumpukan harta pribadiku, hasil berkelana ke seluruh penjuru dunia. Dan aku tahu cuma satu tempat yang kini dapat membuatku menemui benda itu sekali lagi.
Pertemuan dengan perempuan muda yang berwajah mirip Helen menggiringku ke peti penyimpanan harta pribadi. Di sana aku cukup kesulitan mencari kalung kecil tadi di antara sekian banyak benda kenangan yang kudapat dari segala macam pertemuan di sepanjang masa mudaku. Ketika kalung itu ketemu, aku duduk lemas karena kelelahan, dan bingung harus berbuat apa.
"Apakah kalung ini ada artinya hari ini? Apa seseorang dapat memberiku suatu hal yang lebih baik?"
Rasanya kesepian menjadi takdirku, dan aku mati dengan cara begini: suatu malam tubuhku mendadak tak bernyawa, lalu beberapa malam kemudian seseorang di seberang jalan, yang biasa senang basa-basi dengan bertanya apa kabarku, masuk rumahku untuk mengantar beberapa kue sebagai hadiah, dan dari situ seseorang tahu aku mati. Atau, jangan-jangan tak pernah ada yang mengetuk pintu rumahku dan mendapati tubuh tuaku berbaring tanpa nyawa hingga sebulan atau berbulan-bulan kemudian?
Beberapa tahun kemudian? Seabad kemudian?
Memikirkan ini membuat kepalaku pusing. Hari-hari setelah kalung itu kutemukan, kujalani seakan diriku sudah gila. Aku terus berjalan kaki ke sekeliling blok yang telah beberapa kali kulewati dan tidak kujumpai lagi si perempuan berwajah mirip Helen.
Suatu ketika, hujan deras turun dan pada saat itu jalanan di depanku tidak memiliki sesuatu pun untuk berteduh. Aku bersandar pada tembok dan tak dapat menghindar dari serbuan tetes air hujan.
Seseorang tiba-tiba memberiku payung dan mengajakku pergi ke tempatnya.
"Lebih baik saya pulang. Rumah saya tidak jauh," kataku.
Orang itu pun, dengan suara lembutnya, berjanji akan mengantarku sampai selamat di tujuan. Aku berterima kasih dan menengok wajahnya, dan melihat wajah Helen sekali lagi di sana.
Untuk beberapa saat aku tidak mengerti kenapa perempuan ini harus ada? Mungkin Tuhan ingin membuatku belajar bahwa keputusan-keputusan dan takdir, tak selalu dapat saling berjalinan. Aku hanya menurut ketika wanita muda itu menggandengku dan kami menerabas hujan selagi berharap sesuatu di kulkasku masih layak guna menyuguhi tamu yang istimewa. [ ]
Gempol, 2017-2020
Comments
Post a Comment