Skip to main content

Janji Temu Tino

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 6-12 Januari 2020 (No. 1663/XXXII))
 
Banyak yang Maria persiapkan untuk menghadapi pertemuan dengan mantan pacar di masa lalunya. Dia benar-benar harus tampil sempurna. Dengan sengaja dia ke suatu butik dan memesan busana. Dia juga pergi ke salon, sebuah tempat yang entah berapa lama tidak ia sambangi. Seluruh persiapan ini terasa mentah saat Maria sekali lagi menatap cermin dan. Dia yang sekarang tidak sama dengan dirinya yang dulu.

Untuk apa Tino secara tiba-tiba meneleponnya dan meminta bertemu?
 
Maria tidak tahu itu. Dia bahkan tidak mendengar kabar Tino selama sepuluh tahun terakhir ini. Dia tidak lagi ingin melihatnya saat mendapati lelaki itu selingkuh dengan sahabat dekatnya sendiri. Dulu mereka terlalu muda. Barangkali Tino kini sadar tidak ada perempuan lain yang ditakdirkan untuknya selain Maria.
 
Benarkah demikian?
 

Maria tak ambil pusing. Tepatnya, tak ingin ambil pusing, meski tentu saja tiada henti dia bertanya-tanya dalam batin tentang motif Tino kembali ke kehidupannya saat ini.
 
Dapat dikatakan, hidup Maria tidak pernah benar-benar lurus selama sepuluh tahun terakhir. Ada begitu banyak kejadian yang membuatnya berulang kali percaya betapa hidupnya tak lagi ada artinya. Hanya karena segelintir orang di sekitarnya sajalah yang tidak membuatnya segera hengkang dari dunia ini. Beberapa kali Maria menjajal bunuh diri, tetapi selalu gagal. Ketika akhirnya dia sadar betapa usaha-usaha itu sia-sia belaka, Maria menjalani hidupnya dengan nyaris tanpa gairah sekaligus tanpa keinginan untuk segera mati.
 
Pada titik ini, hidupnya benar-benar sama seperti seekor kupu-kupu atau burung atau kelinci atau binatang liar jenis apa pun yang hidup sebagaimana mestinya dan mati dengan cara-cara yang Tuhan tetapkan. Tak ada ambisi mengejar apa pun, dan inilah yang membuatnya tak pernah merawat diri.
 
"Bagaimana reaksi Tino melihat tubuhku yang melar ini? Apa yang dia bilang soal bopeng-bopeng bekas jerawat di seluruh wajahku?" tanyanya di depan cermin.
 
Maria ingat masa-masa sulitnya beberapa tahun silam setelah pada suatu malam sekelompok laki-laki membuatnya mengira akan mati pada usia yang sangat muda. Saat itu, detak jam terasa begitu aneh; seakan-akan segala yang ada di dunia ini membeku dan detak jarum arloji yang dia kenakan bergema-gema di udara selagi tubuh-tubuh itu menindihnya. Pulang dari insiden itu, Maria tidak berbicara pada siapa pun selama satu tahun penuh dan selama itu pula dia sempat dirawat di sebuah rumah sakit yang khusus menangani orang-orang dengan problem kejiwaan. Ibunya sangat terpukul dengan apa yang menimpa sang putri hingga sakit dan meninggal dunia.
 
Maria yang dikenal sangat dekat dengan sang ibu, bahkan tak berminat menghadiri upacara pemakamannya. Fakta itu, di mata sebagian besar orang yang mengenal mereka, menyatakan betapa hancurnya kewarasan Maria. Barangkali itu tak akan sembuh.
 
Tahun demi tahun berlalu begitu saja. Bayi demi bayi lahir satu per satu di keluarga besar Maria, tetapi tak satu pun memunculkan niat di hati perempuan ini untuk segera membuka hatinya bagi beberapa lelaki yang bersedia memperistrinya.
 
Maria tidak lagi dapat merasakan cinta. Dia percaya sampai tua dan mati hidupnya akan terus begini. Pada masa inilah dia kerap mencoba menghabisi diri sendiri. Orang- orang lalu sadar dan memutuskan untuk tidak lagi mendesak atau menjodohkan Maria dengan lelaki mana pun. Mereka mengalah dan membiarkan Maria memilih cara hidup yang dia senangi.
 
Maka, begitulah. Usaha-usaha bunuh diri berakhir, dan Maria hidup seperti segala yang mungkin dapat para satwa perbuat, tetapi tentu saja dia jauh lebih pasrah dan tak berambisi ketimbang siapa pun. Dia tak pernah mementingkan dirinya sendiri dan mulai bekerja di sebuah rumah makan milik sepupunya demi mengisi waktu. Uangnya hanya ditabung entah untuk apa, dan sebagian malah diberikan begitu saja untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.
 
Begitu Tino meneleponnya, secara mendadak ada lonceng besar berdentang persis di kepala Maria. Pertanda apakah ini? Tidak tahu kenapa hatinya malah berdebar-debar tak keruan. Dia lalu sering bercermin. Dia ingin tampil sebaik mungkin di depan lelaki yang dulu pernah membuat hatinya hancur.
 
Tahun demi tahun lewat, Tino perlahan tak ubahnya sekumpulan debu yang dapat hilang diembus angin dan tak lagi tersisa sebutir pun. Begitu lelaki itu kembali, butiran debu tadi bersatu padu menjadi sebongkah patung bernyawa yang akhirnya membuat hati Maria kembali bimbang.
 
Pada akhirnya, setelah berusaha sebaik mungkin agar saat mereka bertemu nanti ia tak mempermalukan dirinya sendiri, Maria menyerah. Ia tak akan kembali seperti dulu lagi. Ia tak akan secantik dan semenarik dulu. Sudah pasti Tino akan kecewa melihatnya dan membatalkan seluruh niatnya untuk memperistrinya. Benarkah laki-laki itu tiba-tiba saja datang untuk hal itu?
 
Maria tentu ingat dirinya pernah begitu bermasalah. Sampai detik ini, dia kerap merasa belum ada yang beres di kepalanya. Dia pun menangis semalaman dan berpikir untuk membatalkan janji temu dengan Tino. Dan dia benar-benar melakukan itu besok paginya. Tak ada yang diucapkan Tino di seberang telepon. Lelaki itu cuma diam, dan yang dapat terdengar oleh Maria hanya embusan angin samar-samar.
 
Hari-hari yang berlalu setelah itu menjadi buruk bagi Maria. Dia tak lagi berangkat kerja. Dia mengurung diri di kamar selama dua hari sampai membuat beberapa orang curiga penyakit jiwanya kambuh lagi. Setelah diperiksa, ternyata wanita itu masih hidup dan baik-baik saja. Maria hanya berbaring di tempat tidurnya sambil membaca sesuatu. Ketika ditanya apa yang terjadi, dia hanya bilang sedang malas keluar.
 
Demi tidak membuat orang-orang cemas, Maria terpaksa kembali bekerja, tetapi justru pikirannya yang terus teralihkan ke sosok Tino membuat pekerjaannya jadi tidak beres. Para pelanggan rumah makan dibuatnya kesal dan akhirnya Maria minta izin libur sebulan penuh. Tidak ada yang dapat dikatakan oleh sepupunya selain memberinya apa yang Maria minta.
 
Selama libur inilah, beberapa kali Tino meneleponnya, tetapi tidak pernah Maria angkat. Setelah usaha ke sekian, mereka pun tersambung kembali dan Tino, dengan cara yang sulit dibayangkan, memohon-mohon agar Maria sudi menemuinya.
 
"Ini penting," katanya. "Pokoknya kita harus ketemu."
 
"Baiklah."
 
Mereka pun kembali merancang tempat dan waktu, lalu pada hari yang ditentukan, tanpa persiapan apa pun, Maria datang begitu saja. Tino yang terlihat masih awet muda dan tampan, bukan heran, malah menyambut Maria dengan hangat dan penuh perhatian. Tentu saja perempuan itu tidak mengerti maksud Tino, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menanyakan soal itu.
 
Mereka hanya duduk saja. Taman kota yang lama tak dipugar itu, pada jam delapan malam sudah cukup sepi. Hanya terlihat beberapa pasangan di kejauhan sana yang jalan dan bergandengan tangan. Mereka tak bicara apa pun selama beberapa menit.
 
Tino, setelah tersenyum sembari mengamati wajah Maria dengan teliti, akhirnya bersuara juga. Dia bilang betapa rindunya dia pada Maria dan betapa dia mendadak saja teringat dosanya pada perempuan itu di masa lalu.
 
Tino tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia lalu meraih tangan Maria, lalu mengajaknya pergi dari situ. Mereka berjalan entah sejauh apa hingga tidak terasa Maria melupakan kekesalannya pada Tino. Mendadak saja dia yakin Tino memang ada di sini untuknya. Dan barangkali saja sebentar lagi mereka akan membangun sebuah keluarga.
 
Benarkah?
 
Begitu mereka tiba di tepi rel kereta api, Tino mendadak menghentikan langkah. Ia bilang, kereta sebentar lagi akan datang dan dia harus pergi untuk beberapa saat. Maria bertanya, untuk apa dia pergi? Bukankah kedatangannya kemari agar mereka kembali ke masa lalu? Kembali menjalin hubungan yang dulu sempat rusak?
 
"Tentu saja begitu. Tentu saja," sahut Tino dengan tenang.
 
Tino tidak menjelaskan apa pun ketika kereta akhirnya tiba, dan pergi dengan cara yang amat aneh: melompat ke celah antara dua gerbong sehingga membuat Maria kaget dan mengira lelaki itu mungkin sudah sinting karena mengumpankan tubuhnya kepada sebuah kereta yang melaju sangat kencang. Tetapi, Tino tampaknya baik-baik saja. Dia bisa melambai dari celah di antara dua gerbong tadi dan secara perlahan lambaian itu pun hilang ditelan jarak dan pekatnya malam.
 
Setelah pertemuan itu, Maria pun kembali bergairah. Hidupnya seakan kembali ke masa jauh sebelum Tino meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Ia berasa dirinya masih seorang gadis SMA yang penuh semangat hidup dan harapan untuk masa depan. Tentu ini membuat orang-orang di sekitar Maria ikut senang. Mereka bertanya-tanya apa yang membuatnya berubah begini. Maria tak bisa menjelaskan selain hanya tersenyum.
 
Suatu ketika, Tino menelepon lagi dan meminta izin untuk berkunjung langsung ke rumah Maria. Wanita itu memberinya kebebasan datang kapan pun. Tetapi, Tino masih merasa bersalah atas masa lalu mereka, sehingga rasa malunya pada keluarga Maria tak juga kelar. Dia bilang, "Bolehkah kita bertemu berdua saja tanpa keluargamu ketahui?"
 
"Boleh kalau memang itu yang kamu inginkan."
 
***
 
Malam itu Tino memang datang. Dan, malam itu Maria berdandan dengan sangat cantik. Ia kembali ke salon dan mengenakan baju yang beberapa bulan lalu dibelinya di butik. Mereka bertemu di rumah milik orang tua Maria, yang kini ditempatinya seorang diri karena sang ayah tiada dua tahun yang lalu. Saat itu, secara tidak sengaja seorang sepupu datang untuk mengantar sesuatu pada Maria. Ia melihatnya duduk seorang diri dan berbicara seorang diri dengan wajah yang begitu cerah.
 
Sejak itu, tak ada lagi yang menganggap Maria benar-benar sembuh. Namun, tak juga ada yang tega untuk membawanya kembali ke rumah sakit khusus yang justru membuat hidup Maria semakin jauh dari realita. [ ]
 
Gempol, 2014-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri