(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 15 Desember 2019)
Malam itu aku berkeliling ke setiap sudut kota demi mencari Lusi. Perempuan itu mendadak hilang tanpa petunjuk, kecuali adanya pengakuan dia mulai bosan kepadaku. Aku tidak tahu di mana letak kesalahan hubungan kami, karena sejauh yang kutahu, dia tidak pernah protes.
Dalam pernikahan yang kami jalani selama empat tahun ini, tidak pernah kudengar keluhan, karena aku selalu menuruti apa yang Lusi inginkan. Aku yang menginginkan kehadiran anak sejak awal, dengan senang hati menerima keinginannya untuk menunda itu, dan itu kulakukan demi Lusi.
Aku tidak pernah mencintai wanita sedalam ketika mencintai Lusi. Bertahun-tahun aku tidak bertemu wanita seajaib dia, yang datang dan berbicara kepadaku dengan cara yang simpel dan menawan.
Lusi tidak tertarik pada harta warisanku, dan itu semakin terbukti dengan keinginan yang hanya berupa penundaan kelahiran anak pertama kami, serta permintaan yang jauh dari kesan material. Yang sering Lusi minta hanyalah hal-hal yang dapat seseorang beri tanpa mengeluarkan uang, seperti memberinya waktu luang untuk pergi seorang diri ke perpustakaan.
Memang benar, inilah yang kurasakan pada Lusi. Aku tidak bisa lepas darinya, dan dia sendiri tampaknya tidak sanggup lepas dariku. Kami ditakdirkan bersama sampai tua, dan keyakinan inilah yang membuatku menikahinya.
Hanya saja, setahun terakhir, Lusi jarang berbicara. Dia meminta waktu yang lebih banyak untuk menyendiri, dan tetap saja kuturuti itu. Ketika akhirnya sebuah statement meluncur lancar dari bibirnya, tentang betapa dia bosan dengan hubungan ini, aku tidak bisa berkata apa-apa. Demi Tuhan, kupikir ini terjadi karena kami belum mempunyai anak. Bayangkan ada seorang bayi di sini, di antara kami, kurasa dia tidak bakal merasa bosan.
Malam harinya, setelah meminta waktu tidur tanpa kuganggu, perempuan itu pergi.
Kepergian Lusi memukul hatiku, apalagi setelah kuperiksa isi lemari; tak ada yang tersisa di sana selain pakaian dan barang-barangku. Lusi benar-benar pergi tanpa sebuah petunjuk yang kiranya memberiku sedikit rasa tenang. Tentu saja, siapa pun yang pergi tanpa meninggalkan apa-apa, sudah pasti tidak memiliki niat untuk kembali, bukan?
Aku keluar dengan kalap dan menyetir mobilku ke berbagai arah secara acak selagi berharap dapat menemukan Lusi di suatu sudut gelap di kota ini. Sudut demi sudut tiada lepas dari pengamatanku, tetapi hingga esoknya dia tidak juga kutemukan.
Setelah dua hari dua malam pencarian, tubuhku lelah dan tidak ada daya lagi. Aku ambruk dan diopname di rumah sakit sambil menelan hujatan-hujatan dari keluargaku, yang memaksaku melupakan saja Lusi yang tidak pernah mereka anggap ada.
"Wanita seperti itu biar saja pergi. Cari yang lain, yang dapat memberimu anak!" kata ibuku.
"Lusi bukan mandul. Kami memang menunda adanya anak, Bu!"
Ibu tidak sudi mendengarku. Esoknya dia membawa perempuan asing ke kamarku, dan memaksa kami berkenalan. Aku tidak peduli pada perempuan itu. Aku hanya ingin Lusi kembali ke pelukanku.
Karena mengira prinsip yang kuat saja tidak bakal cukup menghentikan keluargaku, aku lalu kabur dari kamar rumah sakit dan mencuri sebuah mobil untuk menuju ke luar kota. Aku ingat salah satu permintaan Lusi yang belum kukabulkan sampai saat ini. Dia pernah berharap dapat pergi sejauh mungkin dari orang-orang di sekelilingku, sebab tak ada yang tampak menyetujui hubungan kami. Waktu itu aku tidak setuju, karena bagiku keluargaku sendiri juga penting. Kini aku sadar, mungkin itulah yang membuat Lusi-ku akhirnya memilih kabur.
Maka, dengan penuh keyakinan, aku berangkat ke kota itu, dan sampai berhari-hari kemudian, dengan mengubah penampilan serta mencuri di berbagai kesempatan hanya demi dapat membiayai diriku, aku belum juga berhasil menemukannya.
Pada akhirnya seorang petugas menangkapku dan menelepon seseorang di rumah. Ia bilang, "Anak ini kami temukan."
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Orang-orang berseragam membawaku pulang dan mengurungku ke sebuah kamar berpintu tebal. Mereka meyakinkanku bahwa sebetulnya tidak pernah ada perempuan bernama Lusi.
"Kalian gila, ya?!" semburku.
"Kamulah yang gila. Tidak perlu jauh-jauh mencari Lusi-mu yang tersayang itu!" kata seseorang di antara mereka.
"Bagaimana Anda tahu?"
"Yah, karena dia hanya ada di pikiranmu, Bung!" [ ]
Gempol, 2017-2019
Gempol, 2017-2019
Comments
Post a Comment