Skip to main content

[Cerpen]: "Pelukan Terakhir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Bangka Pos edisi Minggu, 13 Oktober 2019)

Suatu hari aku tiba di titik puncak kebencian pada diriku sendiri dan semesta. Telah lama kupikirkan untuk mengakhiri hidup dengan segala macam cara; aku bisa saja mati dijerat tali yang kusiapkan di toilet terbengkalai atau tenggelam bersama sekarung batu menuju dasar sebuah danau di tepi kota yang jarang dijamah manusia atau terbakar oleh amukan api dahsyat di sebuah apartemen oleh rekayasa tangan dan otakku sendiri atau menenggak sejumlah besar pil dengan beragam jenis dan ukuran dan berbaring di kasur di kamarku selagi menunggu reaksi obat-obat itu untuk menghabisiku dari dalam atau kujatuhkan tubuhku dari gedung setinggi ratusan meter atau mungkin saja aku juga bisa mengakhiri hidup dengan menusuk tubuh sendiri dengan pedang sebagaimana cara yang telah lama dianggap sebagai cara terhormat untuk bunuh diri di Jepang, tetapi aku akui, aku tak cukup berani untuk memulai.
Aku tak ada harapan apa pun untuk memperbaiki hidupku sehingga pilihan untuk mati sama sekali tak kuragukan. Aku tak menyalahkan keadaan atau orang-orang yang berperan dalam perjalananku hingga ke titik ini. Aku justru menyalahkan diriku sendiri yang tak peka atau jeli dalam memilih jalan yang tersedia. Kadang-kadang pada suatu persimpangan, aku mengambil sembarang arah tanpa berpikir apakah hidup serta masa depanku akan baik-baik saja jika jalan itu kulalui? Tak jarang aku memungut jalan itu seperti mencomot selembar kupon undian, seakan-akan hidup hanyalah lelucon belaka, dan pada suatu hari bertahun-tahun mendatang, aku malah menyesal telah menganggap hidup tak lebih dari perjalanan santai yang melulu dilakoni tanpa berpikir.


Aku menyesal demi melihat orang-orang mampu melakukan segala macam hal di dunia yang berguna. Aku menyesal menatap para anak berhasil menjunjung tinggi harga diri dan martabat keluarga dengan kesuksesan mereka. Aku tak berada di titik semacam itu dan merasa berada di liga yang jauh, amat jauh, di bawah mereka, dan karena itulah sering kali orang juga memandangku rendah.

Demi melihat kenyataan buruk yang tak juga menyingkir dari keluarga besarku, tak ada yang kupikirkan selain mengutuk keputusan-keputusanku sendiri. Yang membuatku paling menderita justru karena tidak ada protes atau umpatan apa pun dari keluargaku yang masih terbelit utang dan kemikinan atas tiap kegagalanku. Mereka diam, namun seakan menyimpan penyesalan yang sama. Tahun demi tahun berlalu, kegagalan demi kegagalan kutelan tiada henti dan akhirnya aku tiba di titik membenci diriku sendiri dan semesta. Sebuah kebencian yang tak akan bisa sembuh.

Aku mulai jarang makan dan bahkan sengaja tidak memberikan kebaikan-kebaikan untuk tubuhku sendiri. Meski begitu, Tuhan memberiku kesehatan dan daya tahan tubuh yang luar biasa. Aku tak pernah sakit meski kerap berpuasa dan melakukan hal-hal yang konon bisa merusak tubuh manusia. Aku berkelana ke berbagai kota dan memasukkan segala macam obat dan racun dalam tubuhku bersama kebiasaan dengan teman-teman baru di dunia malam.

Aku juga melakukan aktivitas-aktivitas terlarang demi menjerumuskan diri sendiri ke berbagai kesulitan dalam penjara dan dunia kriminal, namun lucunya aku tak pernah tertangkap dan tak berusaha juga melarikan diri andai pihak berwenang mengerti lokasi persembunyianku. Lagi pula, aku juga tak pernah bersembunyi. Aku malah menantang dunia dan seisinya agar menghajarku habis tanpa ampun. Semua demi kematian yang benar-benar kurindukan.

Aku merindukan maut, namun tak berani atau tak mengerti bagaimana itu kumulai. Karena itulah aku kerap sengaja menerjunkan diri dalam berbagai pertarungan liar yang terjadi di kota-kota para pendosa. Aku kerap mencolong barang berharga dan berlari di antara tubuh-tubuh warga kota yang berjejalan di stasiun, di persimpangan, di jalanan pasar, di bandara, di terminal bus, di mana pun, tanpa benar-benar serius untuk hilang dari para pengejarku yang berseragam dan sedang berdinas malam dengan senter serta lencana kepolisian. Sering kali malah yang memburuku justru orang-orang kota, yang dengan segenap kemampuan, mereka sedia menghajarku sampai habis andai saja suatu waktu kesempatan menangkap maling tiba.

Tentu sering aku dihajar para penangkapku dan di tengah kepungan massa itu, aku berharap biar mati saja kali itu. Namun, selalu saja ada para penghalang, yang datang di waktu tak tepat, yang bisa membawaku ke rumah sakit untuk segera ditolong. Aku ingin bersumpah serapah di depan mereka, “Biarlah aku mati!” Tapi mereka tak pernah peduli dan tak juga mendengar apa yang menjadi keinginanku.

Di usiaku yang ketiga puluh, dua tahun persis setelah keputusan mati benar-benar bulat, meski aku belum tahu bagaimana kematianku sebaiknya dimulai, aku berada di sebuah teras rumah kecil yang kusewa dengan uang pemberian seorang teman. Tak jauh dari lokasi itu, dulu, pernah kutanam sejumlah uang yang cukup lumayan untuk hidup senang di kota-kota modern selama dua tahun.

“Seandainya dengan uang itu aku bisa membuat tubuhku mati dengan cepat, tanpa basa-basi.”

Kalimat yang mendadak terbit dari bibirku itu membuatku terperanjat. Sejauh itu di kepalaku belum terlintas sama sekali gagasan tentang membayar seseorang untuk pergi padaku dan membunuhku. Maka, aku berjingkrak senang. Untuk pertama kali semenjak tahun-tahun kesusahan itu, aku bersenang-senang dan merayakan keputusan terbaik ini dengan membayar seorang wanita penghibur dan berpesta sebelum menelepon seorang pembunuh bayaran terbaik untuk menghabisi diriku sendiri.

“Tidakkah ini cara terbaik dan tersingkat yang bisa kuambil?” kataku pada wanita penghibur itu, setelah kusampaikan seluruh pemikiran dan tekadku untuk mati padanya selepas kami bercinta dengan liar malam itu.

Wanita malam itu cuma berkata, “Kamu pelangganku yang paling aneh.”

Tentu, telepon itu kulayangkan sebelum kami terlelap; persis ketika si wanita ada di kamar mandi untuk membersihkan diri agar dia tak menguping omonganku. Aku tak ingin dia pergi begitu saja sebelum cahaya pagi merayapi kamar motel yang kami sewa. Aku tak ingin mati sendiri di sini, dan membutuhkan pelukan terakhir dari seseorang, meski orang itu asing, asalkan pelukan darinya cukup hangat untuk tidak membuatku merasa benar-benar kesepian di akhir hayatku.

Kepada wanita itu kusampaikan, “Tiga hari dari sekarang pembunuh itu datang ke rumahku dan bukan ke motel ini. Tenang saja. Untuk saat ini biarkan aku bersenang-senang denganmu terlebih dulu.”

Barangkali wanita itu mengerti tentang omong kosong perasaan dan kemanusiaan dan kematian yang memilukan bagi orang sepertiku, jadi dia memelukku begitu saja dan kami terlelap dan berjam-jam kemudian, sebelum subuh, seseorang menyelinap melalui jendela kamar motel dan menembak jidatku dengan senjata berperedam dan mengambil seluruh uang dalam tasku yang ada di lemari dan meninggalkan tempat itu sejauh yang dia bisa.

Paginya, si wantia menjerit-jerit. Rambut keritingnya basah oleh darah dan dia tak menyadari sampai tubuhnya yang lelah terbangun oleh paparan matahari. Orang-orang berkumpul di depan kamar. Pemilik motel menyumpah-nyumpah sambil menangis dan memanggil polisi dan tubuhku pun kemudian dibawa ke suatu tempat, ke suatu ruangan, untuk disimpan beberapa waktu, demi menunggu seorang keluarga, atau siapa pun yang kukenal semasa aku masih hidup, sehingga mereka bisa memastikan bahwa yang tewas ditembak di sini adalah diriku.

Aku bisa melihat semua itu meski tidak lagi menghuni tubuh fana itu. Aku mampu mendengar tangisan sang wanita malam yang bersumpah mendengar rencanaku sendiri dalam menyewa pembunuh bayaran sebab aku tidak mengerti bagaimana sebuah usaha mengakhiri hidup harus dimulai atau tidak benar-benar berani untuk melakukan upaya itu seorang diri.

Salah satu petugas bertanya, “Kamu yakin dia bilang begitu?”

Wanita itu menjawab, “Dia bercerita segala hal tentang hidupnya dan kenapa dia membenci diri sendiri dan berharap untuk mati sejak dua tahun yang lalu!”

“Lalu, kamu bilang apa?”
“Kubilang, ‘Kamu pelangganku yang paling aneh’!” [ ]

Gempol, 19 Agustus 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri