Skip to main content

[Cerpen]: "Menjelang Perang" karya Ken Hanggara


(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 27 Oktober 2019)

Pada suatu malam di mimpi seorang bajingan, sesosok Dosa berjingkat-jingkat dan sembunyi di atas loteng. Berharap menemukan mangsa. Ketika itu sebuah negeri sedang porak-poranda. Ketimpangan di mana-mana. Darah tumpah oleh harta dan tahta. Setiap kepala cemas terlepas dari badan cuma untuk salah bicara.

Sesosok Dosa termenung di pojok pasar dan bertanya kenapa Tuhan menciptanya dengan keburukannya? Manusia-manusia terbagi menjadi dua: untuk surga dan neraka. Dosa tahu, si neraka rakus dan biasanya mendapat jatah paling banyak.

Dalam mimpi seorang bajingan, tidak perlu ada Pahala. Ia diringkus polisi rahasia pada zaman dahulu kala, dibawa ke tepi negeri, digebuki, diludahi, diceramahi, sebelum akhirnya digantung di tebing dekat laut dalam keadaan setengah sadar setengah mampus. Maka, jadilah santapan burung pemakan bangkai. Kini, bila engkau mencoba mencari tulang belulang Pahala, jangan harap pulang dengan selamat.
 
Seorang bajingan merasa tidak tenang hidup dalam mimpi di tengah intaian Dosa. Mimpi ini, harus segera berlalu, pikirnya. Tetapi, tidak ada yang bisa menghalangi Iblis laknat menelepon seorang bos besar dan meneken tanda tangan kontrak kerjasama abadi, bahwa bagaimanapun si bajingan harus mati di sini. Caranya: menimbun dia dengan tubuh Dosa yang tambun.
 
Sang Dosa masih dengan perasaan was-was, menoleh sana-sini, sesekali melongok ke balik dinding di tengah terjang gerimis. Ia terengah-engah kelelahan. Pasukan polisi rahasia memasang kertas-kertas bergambarkan wajah dirinya. Sebuah wajah yang buruk dan menyeramkan. Sebuah wajah bakal penghuni neraka jahanam.
 
Tentu saja, seorang bajingan kadang-kadang ingin bangun dan mengumpat Tuhan. Ia yang selama ini licin seperti belut, ia yang selama ini tidak diketahui keberadaannya, menjadi galau oleh mimpi yang ditaburkan Tuhan ke kepalanya dari teras surga. Mimpi yang aneh, yang berkenaan dengan Dosa dan dirinya yang harus berperang tunggal.

Kita tidak perlu bertanya-tanya apakah bajingan ini punya agama atau apakah dulu pernah disuruh emaknya pergi ke surau untuk belajar mengaji. Bagi seorang bajingan, hal-hal agamis adalah munafik. Hanya dengan terbang bak burung, ia bisa hidup dengan tenang dan bahagia.

"Agama suka mengatur. Seperti negara yang omong kosong!" umpatnya suatu kali. "Aku benci aturan. Aku ingin bebas seperti burung!"

Dosa tahu omongan itu keluar dari bibir si pemilik mimpi. Tetapi sayang, dia sadar dirinya tidak bisa diam di tempat dan harus segera menemukan mangsa. Sepenuhnya ia sadar dirinya dimanfaatkan. Dalam kepala bos besar, Iblis, dan polisi rahasia, Dosa yang digambar dengan penuh rekayasa itu—agar warga di suatu negeri mengira seolah-olah Dosa adalah kriminal yang wajib dikutuk—terus menerus ditekan agar ia tidak dihukum penggal.

"Cari kambing hitammu. Peluk erat, jangan lepas!" begitu sebuah suara mengusik alam pikiran sesosok Dosa.

Sementara itu, si bajingan mengerang di kasur. Sebuah konspirasi harus distop agar ia tak kena imbasnya. Di kepala yang penuh sesak dokumen-dokumen rahasia, bajingan itu tak sudi mundur. Ia harus sembunyi dan membawa bukti-bukti, sehingga dari pintu kamar tidurnya kita bisa mendengar ia berkata, "Dunia kita dikurung sekumpulan iblis!"

Sang bajingan harus bersembunyi, melintasi portal waktu, melompati intaian Dosa, sampai sukses membawa bingkisan sejarah asli ke suatu masa depan untuk diterbitkan menjadi buku dan disebar ke setiap rumah. Maka, inilah yang terjadi: sesosok Dosa dan sang bajingan berjingkat dari satu tempat ke tempat lain dengan dua tujuan yang beda.

Dan semua itu terjadi diam-diam.

***

Di negeri itu, kematian adalah sarapan. Penguburan jenazah adalah sembahyang isya'. Tiap malam truk-truk antre masuk ke lapangan umum, membawa bertumpuk jasad tanpa kepala untuk dikubur dan dihapus dari sejarah paling kecil sekalipun.

"Bagaimana kalau sebuah keluarga bertanya tentang satu anggotanya yang hilang?" tanya sopir truk suatu waktu.

Jawab rekannya yang tak kalah miris, "Barangkali sejarah keluarga itu pun juga tak pernah ada!"

"Maksudmu?"

"Kau tahu kita tak perlu banyak tanya kalau masih ingin makan sate dan menjilati puting pelacur!"

"Baiklah."

Sang bajingan, dengan segala ketelitian, keapatisan, kemuakan, dan kebenciannya, tahu hal-hal semacam ini sedang dan akan terus berlangsung, meski dunia internasional bisu sebisu tahi gelandangan di selokan.

Beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan barangkali berjuta-juta Dosa berjingkat-jingkat mengintai dan mengejari manusia kambing berbulu hitam pekat, lalu memeluknya erat seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih yang lama tak jumpa.

Salah satu dosa kini menyasarnya. Jika ini terjadi, bajingan itu selesai. Tubuhnya berakhir jadi bagian dari gunung tulang.

Bos penguasa suatu negeri akan bernapas lega dan berujar, "Tugas rumah selesai."

Sejarah sang bajingan terhapus dari buku harian anak cucunya. Bahkan mungkin, ia dianggap tak pernah ada di semesta ini.

"Bangsat! Kemari kau, biar kusembelih!" umpat sang bajingan di tengah tidur.

Saat ini, kita lihat ia tidak sekadar mengerang-ngerang, tetapi juga meninjui udara di sekitaran kasur. Bantal tergeletak di kolong lemari. Guling sobek-sobek karena sang bajingan kira ia menemukan Dosa dan menghajarnya sampai babak belur.

Dalam persembunyiannya, Dosa pikir ia harus membikin bajingan sengsara. Dalam pikirannya, tidak boleh ia gagal dan diceburkan ke neraka. Ia harus menangkap bajingan sesuai tugasnya.

Maka, di loteng, di suatu negeri yang porak-poranda, pada mimpi seorang bajingan, ia melihat polisi rahasia utusan pemerintah itu pergi sehingga sebuah gagasan muncul, "Aku harus temui biang persoalan ini!"

Sebagai Dosa, ia tidak bisa berbuat selain menyeret manusia malang itu ke jurang kesialan. Tetapi ia tahu, dalam mimpi, hal buruk bisa saja terjadi. Ia juga bisa terbunuh dan mati, kalau bukan mangsanya yang tewas lebih dulu. Maka ia harus hati-hati. Kalau tidak salah, rumah bajingan sudah dekat. Benar saja. Rumah bajingan ada di seberang sana!

"Kita tidak perlu sembunyi," kata Dosa yang kini berdiri di tengah jalan.

Bajingan pun keluar dan mengacungkan pedang dan bernafsu menyembelih Dosa sebagai pelajaran bahwa kekejian dalam skala besar dapat diberantas dengan berontak. Andaipun mati, tak masalah. Ia menjadi martir, pembangkit semangat bagi bajingan lain dari seluruh bagian penjuru yang—dengan alasan tak masuk akal—dianggap melawan sang bos hanya karena membela orang-orang lemah.

Sesungguhnya kita tidak tahu apakah sang bajingan sanggup menyembelih Dosa, yang ternyata sangat kuat dan gesit, meski berbadan tambun. Tetapi, yang pasti kita tahu adalah, nun di sana, di sebuah negeri yang lain, Iblis tengah berpesta pora bersama para koleganya; menonton pertandingan antara Bajingan versus Dosa lewat sebuah layar bioskop tempat para munafik dunia berkumpul. Kita lihat nanti. Toh, Tuhan sedang menunggu. [ ]

Gempol, 2015-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

  1. saya selalu mengikuti dan membaca cerpen yang terus terbit di media masa milik bang ken... agar kiranya kita bisa berkenalan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas apresiasinya. Semoga cerpen2 saya menghibur.

      Delete
  2. Keren bgt ceritanya.
    Salam kenal ya. Saya masih pemula
    Blog aku : hampabara.wordpress.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri