![]() |
Gambar dari fineartamerica.com |
(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 20 Oktober 2019)
Kamari membawa pulang ikan-ikan di sebuah karung. Karung itu bukan miliknya, akan tetapi, karena hari telah petang dia pikir ikan-ikan yang ditemukannya ditakdirkan jadi miliknya. Dia tertimpa banyak masalah. Begitu menemukan ikan-ikan ditelantarkan, dia anggap tangan Tuhanlah yang telah bekerja.
Kamari membawa pulang ikan-ikan di sebuah karung. Karung itu bukan miliknya, akan tetapi, karena hari telah petang dia pikir ikan-ikan yang ditemukannya ditakdirkan jadi miliknya. Dia tertimpa banyak masalah. Begitu menemukan ikan-ikan ditelantarkan, dia anggap tangan Tuhanlah yang telah bekerja.
"Tuhan membantuku lewat sekarung ikan!"
Dengan berbekal ide bagus untuk mengenyangkan anak-anaknya, Kamari tak ingin lama-lama berada di jalan. Dia kebut langkahnya dan dengan demikian ikan-ikan dalam karung tersebut selamat dan tidak luput dari tangannya. Siapa tahu seseorang mendadak mencegat dan bilang, "Ikan-ikan saya kenapa diambil?!"
Kamari tahu kemungkinan itu pasti mustahil, mengingat kawasan tepi hutan tempat di mana dia dan anak-anaknya tinggal sangat jauh dari desa terdekat. Mungkin ini dapat disebut desa, tetapi tidak bisa disebut kawasan dengan jumlah manusia lebih dari empat belas orang. Rumah-rumah yang berdiri di sekitar pinggiran hutan hanya empat; semua diisi keluarga penebang kayu seperti Kamari atau beberapa orang pemburu biawak yang menjajakan hasil tangkapannya ke warung-warung di desa terdekat atau bahkan juga ke kota.
"Jarak desa terdekat dari sini sekitar setengah jam dan orang tidak mungkin pergi kemari dengan membawa ikan-ikan tanpa ada yang tahu," pikir Kamari.
Maksudnya begini: bahwa di sekitar tidak ada sungai yang berisi ikan-ikan dengan jenis yang Kamari temukan dan bahwa di dekat-dekat sini juga tak ada kolam pancing, sehingga siapa pun yang meletakkan karung berisi ikan-ikan adalah orang yang bukan datang dari desa mana pun.
Kemungkinan berikutnya adalah: pemilik ikan-ikan di karung itu adalah tetangga Kamari. Hanya saja, rumah-rumah lain di tepi hutan sangat berjauhan. Dengan kata lain, jikapun benar karung ikan itu milik salah satu tetangga, kenapa ditinggal di jalanan ke arah rumah Kamari?
Kamari memikirkan kemungkinan paling tepat (atau yang dia harap paling tepat), yakni bahwa ikan-ikan tadi datang dari langit. Tuhan mengirimkannya melalui cara-cara gaib yang tak perlu ia pikirkan, sebab manusia tugasnya hanyalah beribadah dan bekerja dan bukan memikirkan cara kerja Tuhan yang sering kali tak masuk akal.
"Kurasa aku berhak atas ikan-ikan ini, karena tak seorang pun memilikinya," batin Kamari girang.
Langkah cepat-cepat yang Kamari ambil ini sebenarnya adalah bentuk kebahagiaan. Dia tidak sabar melihat wajah girang anak-anak yang menunggu di rumah dengan perut lapar. Anak-anak itu sebenarnya jarang lapar, karena Kamari adalah sang penebang kayu gigih yang hanya akan berhenti kalau tubuhnya benar-benar sudah lelah. Alhasil, uang yang dia dapat pun lumayan. Tak kekurangan, tetapi juga tak terlalu banyak. Demikian kondisi ekonomi Kamari.
***
Suatu ketika saat pergi ke desa terdekat, sepeda Kamari tidak sengaja menyenggol bocah SD yang berlari-larian, sehingga anak itu masuk puskesmas dan membuat orang tuanya kalap dan mengancam Kamari dengan segala bentuk teror. Demi menyelamatkan diri dari kesialan, penebang kayu itu lebih suka membayar orang tua si bocah tersebut sebagai ajakan damai. Sayangnya, uang yang dimaksud didapat dari utang ke pedagang jamu di pasar.
Karena usaha melunasi utang bukan hal yang mudah, minggu-minggu belakangan kondisi keuangan Kamari kritis. Dia kepayahan bekerja ke sana kemari, tetapi karena kemampuan terbatas dan usia juga sudah tak muda, membuatnya nyaris tak tahu apakah anak-anaknya yang berjumlah tiga dan semuanya terbelakang secara mental itu dapat tahan berpuasa untuk sementara?
Rutinitas baru berpuasa harus diambil, tapi akhirnya Kamari tidak tega, dan sempat terpikir untuk mencuri satu atau dua barang di desa dan sesudah itu berdoa agar Tuhan mengampuninya. Entah kenapa ada yang ajaib di sini; Kamari saat itu benar berdoa agar Tuhan sudi mengampuninya, sekalipun dia belum benar-benar beraksi jadi maling. Lalu, suatu petang, sepulang dari mencari sesuatu untuk dimakan anak-anak di rumah, dia malah menemukan sekarung ikan.
"Ikan-ikan tidak bertuan, datang dari langit sebagai solusi langsung dari Tuhan!"
***
Dengan girang, Kamari masuk ruang tamu rumahnya yang sempit dan mendapati ketiga anaknya meludahi piring masing-masing dan menjilatinya karena lapar. Dengan mengangkat karung ikan-ikannya, Kamari memohon agar anak-anak bodoh itu berhenti menjilati ludah mereka sendiri.
Dia bilang, "Sudah, sudah! Nanti jilati saja ikan-ikan ini! Tetapi, Bapak harus lebih dulu membakarnya!"
Anak-anak itu bertepuk tangan dan melempar piring mereka masing-masing ke udara, sementara sang bapak pergi ke dapur untuk segera mencuci semua ikan-ikan tadi. Begitu cepat dan teliti Kamari bekerja, sehingga ikan-ikan itu siap dibakar hanya dalam beberapa menit saja. Anak-anaknya mulai tidak sabaran dan membuat Kamari terpaksa membentak dan mengurung mereka dalam kamar. Perut lapar sungguh membuat ketiga bocah itu menjadi lebih liar, apalagi demi menghirup aroma daging ikan bakar.
Memang begitu kebiasaan Kamari saat menyiapkan makanan. Sekalipun susah saat menghadapi anak-anak tersebut, dia tidak sedih, karena mereka darah dagingnya sendiri. Individu-individu yang lahir ke muka bumi berkat percintaannya dengan sang istri yang telah lama mati. Dia cuma mengira ini cobaan yang membuat derajatnya terangkat suatu hari nanti.
"Tuhan tidak berdusta. Tuhan mahabenar dengan segala firman-Nya!"
Buktinya, ikan-ikan dalam karung petang ini datang secara misterius. Dengan doa sungguh-sungguh kepada Tuhan, Kamari percaya siapa pun pasti mendapat keajaiban.
Demi pemikiran itu, Kamari tersenyum sendiri sambil membakar ikan-ikannya. Ia tidak peduli teriakan ketiga anaknya di kamar, karena sebentar lagi mereka juga bakalan kenyang.
"Ini ikan-ikan segar. Dagingnya banyak dan kurasa dari jenis yang tidak berduri," pikir Kamari setengah ragu.
Dia koyak daging salah satu ikan tersebut, dan benar juga dugaan itu. Ikan-ikan tak berduri bisa mengenyangkan anak-anak. Ikan-ikan itu matang hanya dalam lima menit.
"Ikan jenis apakah ini?"
Begitu piring-piring telah siap, Kamari membuka kunci kamar dan melepas ketiga anaknya yang ribut sejak tadi untuk berbaris di depan meja seperti pasukan sesuai yang dia ajarkan sebelum mandi atau makan, dan selama menertibkan anak-anak itu supaya tidak saling berebut, pikiran tentang jenis ikan apa yang tak memiliki secuil pun duri itu perlahan lenyap.
Anak-anak pun kenyang dan membuat Kamari tidur nyenyak malam harinya. Dia bangun subuh-subuh seperti biasa, tetapi subuh itu mendadak terasa lain. Aroma aneh dari dapur terendus, dan Kamari terperanjat melihat salah satu anaknya yang perempuan yang bernama Nani sedang sibuk memasak. Kamari mengira dirinya sedang bermimpi, karena setahu dia, Nani bocah terbodoh di keluarganya. Subuh ini, Nani justru memasak sesuatu yang kemungkinan terasa lezat.
Begitu melihat Kamari di pintu dapur, Nani berkata, "Sudah bangun, Pak?"
Sejak kapan Nani memanggilnya 'Pak'?
Kamari berlari ke ruang tengah dan terus ke depan, hingga mencapai teras. Di sana, dua pemuda sedang duduk dan merokok dan membahas tentang bagaimana kiranya agar mereka dapat lepas dari jerat utang sesegera mungkin.
"Memang orang tua si bocah yang ketabrak itu kurang ajar. Kalau aku jadi Bapak, sudah kutinju mulutnya!" kata salah satu dari mereka.
"Bapak bukannya tidak mampu kelahi, Bang. Bapak kita memang pemalu dan lugu, dan terlalu baik juga!" sahut anaknya yang lain.
Pada saat ini, Kamari tidak yakin betapa dirinya memang sedang bermimpi. Sebab dia tahu aroma keringatnya terasa begitu nyata dan udara pinggiran hutan terasa sama sekali tidak asing bagi paru-parunya. Karena itulah, begitu melihat dua pemuda tadi, dia sempat mengira mereka adalah pemilik ikan-ikan di dalam karung yang petang lalu dia bawa pulang. Suasana remang menutupi wajah mereka berdua sampai akhirnya Kamari tahu bahwa dua pemuda tadi ternyata adalah dua anak lelakinya.
Kamari sangat shock dan nyaris terjengkang ke bawah teras kalau saja tidak segera ditolong oleh Nani yang menjemputnya dari arah dalam, yang terus menerus memohon agar dia beristirahat saja dan tidak perlu panik.
Kamari tidak tahu ikan-ikan jenis apa yang ketiga anaknya telan, tapi untuk saat ini, semua itu menjadi tidak penting lagi. Yang kelak terbersit di benaknya ketika menatapi wajah ketiga anaknya yang telah jauh berbeda, kapan pun itu, dalam tahun-tahun masa tuanya, hanyalah pikiran bahwa ikan-ikan yang tak berduri itu adalah ikan-ikan kiriman Tuhan. [ ]
Gempol, 20 Maret-30 September 2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, esai, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017) Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).
Comments
Post a Comment