Skip to main content

[Cerpen]: "Menjadi Martir Bukan Perkara Gampang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 22 September 2019)

Mugeni, lelaki bertubuh pendek itu, sudah bertahun-tahun melajang, dan di pagi itu ia sudah sampai pada pemikiran kalau ia tidak akan dapat menikahi seorang pun wanita. Ia putus asa dan mempertimbangkan untuk bunuh diri saja. Ada beberapa faktor yang mesti dipikirkan, tetapi selang beberapa malam, keputusan diambil: ia harus mati.

Di tepi sebuah balkon, angin menghantam wajah dan kumis Mugeni. Seandainya saja lelaki itu bisa mengajak seseorang bicara, ia ingin bersumpah keras-keras betapa baru saja ia menghirup aroma surgawi. Sebuah aroma yang menghantarkan pada perasaan damai tak terkira. Sebuah perasaan yang jarang ditemui seumur hidupnya.


"Dengan begini, aku yakin Tuhan berkenan untuk mengirimku ke surga sana. Dan jika surga bukan tempatku, kuharap diriku hanya akan berakhir sebagai debu saja, sebagaimana para binatang yang tak memikul beban apa pun, sehingga pengadilan terakhir bagi mereka kelak akan berlangsung secepat mungkin; sebelum berakhir menjadi debu dan tiada dan itu yang kubaca dulu di berbagai kitab. Adapun di luar urusan itu, paling penting, di dunia ini tiap orang akan mengenangku sebagai martir. Ya, akulah martir untuk mereka yang tiada mampu menemukan istri atau suami karena nasib!"

Menjadi martir jelas bukan sesuatu yang buruk. Ia tak ragu mati pagi ini dengan surat di tangannya yang berisi pernyataan hatinya yang kacau.

Surat itu menjelaskan bahwa telah begitu banyak wanita yang menolaknya, dan boleh jadi terlalu banyak wanita yang menyepelekannya. Mugeni lelah. Gagasan menjadi martir adalah gagasan terakhir yang dirasa cukup baik.

Ketika sekali lagi Mugeni mengintip surat yang dia simpan dalam sakunya itu, aroma surga terasa semakin kuat dan kuat dan kuat. Aroma itu kini mulai memusingkan kepala, sehingga kadang-kadang dia merasa tidak berada di dalam tubuhnya sendiri. Dia merasa ini raga yang bukan miliknya dan membayangkan sedang mengendalikan tubuh seseorang yang entah siapa sebagai semacam robot tunggangan. Membuatnya lepas total dari tubuh tak bertuan ini adalah rencana terbaik yang harus segera diwujudkan.

Hanya saja, Mugeni tiba-tiba menangis. Ia mulai mengenang masa-masa saat ia masih sekolah dan sering menjadi korban perundungan teman-temannya karena tinggi badannya yang tidak membanggakan. Ia juga sebatang kara saat itu, bahkan hingga saat ini. Jika dia tidak menghabisi diri sendiri, tentu akan tetap sebatang kara hingga ajalnya tiba.

Mugeni menyudahi lamunannya dan meneguhkan diri. Sebelum dirinya benar-benar melompat, terdengar dering ponsel. Tepat pada saat bersamaan, pintu kamar hotel yang dia tempati digedor dengan panik.

Mugeni mengintip ke bawah dan menemukan kerumunan manusia berteriak-teriak. Ia tak terlalu menyadari kedatangan mereka tadi. Sejak kapan? Apa peduli mereka? Mengapa baru sekarang mereka tampak peduli? Tidakkah seharusnya mereka bungkam saja?

Karena gugup, Mugeni mencoba menenangkan diri dengan membaca surat tadi, tapi sial, surat itu tertiup angin, jatuh melayang, melayang dan terus melayang, ke bawah sana, menuju pada sekelompok manusia yang kini mulai memadati jalanan di bawah gedung.

Seorang perempuan menangkap surat tersebut dan membacanya ramai-ramai dengan orang-orang lain di dekatnya. Sungguh sangat banyak orang yang berkumpul di situ hingga begitu sekelompok orang selesai membaca, dioperlah surat itu ke orang-orang berikutnya, dan seterusnya.

Mugeni merasa malu, tapi yang barusan terjadi itu di luar dugaan. Mendadak muncul pertanyaan di benaknya: Apa aku benar-benar perlu menjadi martir?

Setelah surat itu tiba di tangan orang-orang sebelum kematiannya, ia merasa posisinya di atas sini kini sama sekali keliru dan memalukan. Aksi melompat dari atas gedung yang akan ia lakukan membawanya pada rasa tak nyaman di kepala banyak orang, dan terutama, tentu, kepalanya sendiri. Apa yang orang-orang katakan tentang dirinya demi situasi paling menggiriskan untuk seseorang di permukaan bumi yang miskin asmara ini?

Menatap sekumpulan manusia di bawah sana, ia menyesal telah menulis surat bodoh itu. Untuk apa juga harus ada surat? Ia membayangkan akan dikenang sebagai apa dirinya setelah mampus nanti dan perlahan mulai ragu pada apa yang sempat diyakininya tak lama sebelum suratnya meluncur ke bawah.

Mugeni ragu antara harus meneruskan apa yang sudah ia niati, atau melupakan semua yang terjadi dan pergi sejauh mungkin dari sini, ke suatu tempat yang tak ada seorang pun pernah mengenalnya sebagai seorang pecundang. [ ]

Gempol, 2017-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri