Skip to main content

[Cerpen]: "Kiamat dan Murbani" karya Ken Hanggara

"La Mort da Marat" karya Jacques Louis David

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 1 September 2019)

Murbani membayangkan dunia beserta isinya hancur lebur setelah dia tertidur. Dia tak berharap apa-apa. Lagi pula, tiada sesuatu pun yang tersisa untuk dia sesali hari ini. Dia boleh saja hilang tidak berbekas di antara puing-puing semesta. Dia juga boleh saja tiba-tiba melesat melintasi berbagai titik yang tak pernah dibayangkannya, untuk diantar ke gerbang surga atau neraka. Bahkan, dia sendiri mulai tidak yakin jika nanti hidupnya akan tetap berlanjut meski dunia telah berakhir, sehingga yang bisa dia bayangkan cuma satu: bahwa setelah dia tertidur kali ini, nanti, tak akan ada lagi sesosok makhluk atau jiwa bernama Murbani, karena dia telah lebur menjadi debu dan tiada untuk selamanya.
"Jika aku seekor binatang, aku akan menjadi debu dan tiada untuk selamanya. Tapi, tidakkah menyenangkan jika aku masih boleh menjadi debu dan tiada untuk selamanya meski aku bukanlah binatang?"

Murbani tidak memikirkan hal apa pun setelah ketiadaannya nanti; tentu saja, tidak akan ada yang dapat berpikir setelah seseorang menjadi tiada yang benar-benar tiada. Ia tahu, itu tidak mungkin terjadi atau mungkin saja yang demikian itu bisa terjadi. Ia tak membayangkan lebih jauh.

Sebaiknya, ia tidur sesegera mungkin.

***

Murbani tak melihat apa-apa. Hanya gelap dan bau sampah di sekitar. Ia berjalan meraba-raba dan menemukan sebentuk wajah. Wajah yang dingin dan tenang, yang tak tahu milik siapa.

Tak ada suara di situ. Hanya bentuk wajah yang benar-benar bernapas dan masih hidup, namun bisu.

Murbani menjelajah lebih jauh; rabaan tangannya turun dan turun dan turun hingga tibalah dia di tangan si pemilik wajah, lalu menggandengnya pergi entah ke mana.

"Dengar, ya," bisik Murbani yang mulai cemas, karena kegelapan ternyata tak bisa membuatnya tampak berwibawa sebagaimana dulu. "Aku tidak tahu siapa kamu dan tak tahu pula untuk apa kita di sini, tapi kuharap kita bisa pergi bersama-sama untuk kabur dari kegelapan dan bau busuk ini."

Tak ada suara balasan, tentu saja, tetapi Murbani tetap menggandeng si wajah yang tak dikenal tadi, dan bau sampah busuk masih mengepung hingga beberapa menit.

Di suatu belokan (atau begitulah menurut pemikiran Murbani), sesuatu menabrak mereka, lalu Murbani kehilangan keseimbangan dan jatuh. Si wajah tak dikenal lepas darinya; ia tak mampu menemukannya, hingga terpaksa melanjutkan perjalanan seorang diri saja.

Tiba-tiba Murbani memunculkan sejumlah pertanyaan dalam hati:

Bagaimana aku bisa sampai di sini?
 
Siapa yang membuatku berada di sini?
 
Apa yang terakhir kali aku perbuat sampai seseorang dapat membawaku ke sini?
 
Apa seseorang memang membawaku ke sini?
 
Tempat macam apa ini?

***

Murbani hanya bisa memandang lemah jalanan itu. Tidak ada yang dapat dilakukan selain pergi sejauh mungkin.

Barangkali dia bisa segera membaringkan tubuh di rel kereta tak jauh dari sana.

Barangkali dia bisa menyembunyikan diri dan diam-diam dia pun memikirkan cara untuk mati secepat dan seindah mungkin.

"Apakah aku butuh sebuah kematian yang indah?" tanyanya mendadak, kepada diri diri sendiri.

Murbani merasa, jika memang dia harus mati dengan cara yang indah, tidak boleh dia sembarangan menaruh tubuhnya di rel kereta. Tidak boleh juga dia membunuh diri sendiri dengan cara-cara klasik sebagaimana yang orang lain biasa perbuat. Sudah amat jelas bahwa untuk mengikuti keinginan anehnya tersebut, dia butuh semacam cara yang belum pernah benar-benar ada. Jikapun tak ada sesuatu yang baru di dunia ini, dia ingin kematiannya berjalan dengan cara yang tak akan diduga oleh hampir seluruh jiwa yang pernah dikenalnya atau mengenalnya di semesta yang luas ini.

Maka, Murbani pulang setelah membeli sejumlah makanan dan obat agar tubuhnya terasa bugar. Dia harus tetap hidup agar pemikirannya tentang kematian yang indah bisa membawanya pada akhir yang diharapkan. Memang begitulah yang seharusnya terjadi.

"Agar perempuan itu menyesali segalanya sampai maut tiba menjemputnya," pikir Murbani dengan perasaan menang.

Ketika motornya berbalik arah, di belakang sana, dari suatu ujung jalan, terdengar janji pernikahan yang terucap untuk seorang perempuan yang sangat dia cintai. Hanya saja, dia tidak dilibatkan dalam peristiwa itu.

***

Kegelapan pudar setelah kira-kira empat hari Murbani berjibaku. Kegelapan yang sungguh memuakkan, karena bau sampah busuk menyertainya. Kini ia tiba di titik yang membuatnya terkenang akan peristiwa yang seperti sudah lama berlalu. Hanya saja, ia tidak terlalu yakin. Maka, ia pun maju beberapa langkah.

Dari depan, terdengar suara-suara yang begitu akrab di telinganya. Suara-suara di mana seseorang terlibat sebuah pengkhianatan dan membuat hatinya hanur lebur tiada tersisa.

Mendadak saja Murbani teringat wajah yang tak dikenal tadi, yang tak memiliki suara. Ia begitu yakin, perempuan itulah pemilik wajah tadi.

Di depan sana, dalam cahaya yang cukup terang, Murbani dapat melihat semacam perkampungan dengan orang-orang yang begitu ganjil. Tak ada seorang pun berpakaian. Tak ada sesuatu pun yang mencitrakan rasa malu. Segalanya seakan berjalan normal dan memang begitulah yang terjadi seharusnya.

Murbani sendiri lalu menyadari dirinya juga tak berpenutup apa pun. Orang-orang asing itu tampak berbaris di jalanan kampung yang nyaris menyerupai labirin jika orang melihatnya dari atas sini, tempat di mana Murbani berdiri saat ini.

Tiba-tiba saja seorang perempuan melambaikan tangan padanya. Wajahnya begitu cantik, tapi pucat.

Pada titik itu, Murbani mengerti betapa takdir tidak menghendakinya menjadi debu untuk kemudian tiada selamanya. Takdir masih ingin membuat semacam perhitungan oleh perbuatan-perbuatannya sebelum menemui ajal.

***

Murbani membayangkan dunia beserta isinya hancur lebur setelah dia tertidur. Dia tak berharap apa-apa. Lagi pula, tiada sesuatu pun yang tersisa untuk dia sesali hari ini. Dia boleh saja hilang tidak berbekas di antara puing-puing semesta. Dia juga boleh saja tiba-tiba melesat melintasi berbagai titik yang tak pernah dibayangkannya, untuk diantar ke gerbang surga atau neraka.

Hanya saja, dunia tidak hancur lebur seketika itu juga. Orang-orang masih mampu menyaksikan hasil perbuatan Murbani, si lelaki patah hati, yang membantai habis setiap jiwa yang terlibat dalam pernikahan antara pacarnya dengan seorang lelaki yang bukan dirinya.

Perbuatan nekat itu menghasilkan sungai darah yang mengalir semalaman. Pagi itu, sungai yang dimaksud telah nyaris kering. Tubuh-tubuh bergeletakan tanpa nyawa. Dan ia, si lelaki patah hati itu, terbaring kaku di sana, di atas ranjang pengantin, bersama gadis cantik yang tiada pernah bisa dia miliki yang juga binasa oleh perbuatannya.

Dua butir peluru bersarang di kepala keduanya. [ ]

Gempol, 5 Mei 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku karyanya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri