Skip to main content

[Cerpen]: "Doa Seorang Kekasih yang Terjebak Hujan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 22 September 2019)

Hujan sore ini salah kirim. Mestinya Tuhan menuang hujan di tempat lain, bukan di tempat sepasang kekasih bikin janji. Paling tidak Tuhan menunda empat atau lima jam, hingga kencan itu kelar dan sepasang kekasih tiba di rumah masing-masing dengan pikiran melantur ke mana-mana. Baru setelah itu hujan boleh turun.

Tentu orang pacaran pasti senang. Orang kelewat senang—gara-gara sang pacar secantik bidadari langit ketujuh—biasanya suka melantur. Misalnya, orang bicara sandal, yang dia pikir malah bantal, dan saat membahas sepak bola malah dikira kepala sekolah.

Begitulah kira-kira bayangan saya soal akhir sore yang manis bagi para pengencan. Namun, itu kalau tak ada hujan. Sayang sekali, hujan sore ini makin deras. Tuhan suka bermain-main. Saya bayangkan Tuhan tertawa melihat saya merana.

"Motorku rusak, oh, Tuhan. Bagaimana bisa ke rumah Maria kalau begini?"

Saya mengeluh, tetapi tetap tenang dan tidak berbuat kurang ajar kepada-Nya.

Soal hujan, yang kemudian saya doakan kepada-Nya, bahwa tiap malam, tak peduli malam Jum'at, janganlah Kau turunkan hujan, wahai Tuhanku. Bila memang harus ada hujan, turunkan pada siang hari saja.

Saya tahu doa ini agak aneh. Doa yang menawar? Memangnya Tuhan pedagang!


Saya tahu, saya jarang beribadah, malah nyaris tidak pernah. Wajah ini selalu segar karena sabun cuci muka yang ampuh mengusir jerawat dan kusam; hasil petuah playboy cap bajul tengik yang tempo hari sering saya mintai nasihat ketika mendekati Maria.

Setelah sering-sering cuci muka, wajah saya jadi kinclong dan saya menjadi penuh percaya diri. Itu rahasia wajah segar saya dan yang jelas bukan oleh karena rajin wudhu  dan shalat lima waktu.

Lalu, bagaimana mungkin saya melakukan tawar-menawar hujan kepada Tuhan?

Yang mengatur hujan hanya Tuhan. Malaikat diberi tugas. Itu yang saya tahu. Jadi, saya meminta pada Tuhan demi kelancaran kencan yang sudah saya atur dengan Maria, gadis idaman yang jadi pacar saya hari ini.

"Ya, Tuhan," kata saya lagi, sambil mencoba memasang tampang total merana, "ini benar-benar di luar espektasi. Tadinya hamba kira bisa ke rumah Maria dengan rambut gaya, baju rapi, sepatu baru yang tidak rusak gara-gara hujan. Karena hujan mendadak turun dengan deras, hamba tak yakin sampai ke sana sesuai rencana."

Saya ragu doa ini diterima, karena jujur saja, saya memang kurang ajar sih. Tidak sembahyang, tidak beramal saleh, malah meminta yang aneh-aneh kepada Tuhan. Tapi, yang ada di kepala saya hanya satu: kalau darurat, memangnya tidak boleh meminta?

Tiba-tiba petir menggelegar dan saya lompat dari tempat sujud. Jarang-jarang saya dibikin kaget. Untung jantung ini tidak copot. Sayang sekali, saya tidak tahu suara petir yang menggelegar itu pertanda apa? Antara jawaban 'ya' atau 'tidak', masih buram. Saya berpikir lama, karena hujan yang turun belum juga reda.

"Kalau saya paksa motor itu berangkat, percuma juga."

Saya bangkit dari sajadah. Masih dengan dandanan ganteng, saya mondar-mandir dari ruang tengah ke ruang tamu, lalu ke dapur dan melihat dua cicak berhadap-hadapan. Enak benar cicak-cicak itu. Mereka bisa kencan kapan saja, di mana saja, tanpa peduli hujan. Tidak ada Maria dan Mudakir di kisah cicak; yang ada cuma cicak dan cicak yang semuanya lahir tanpa nama. Kaum cicak penganut paham seks bebas yang tidak berdosa. Dan, tentu, jatuh cinta setiap waktu bisa dialami oleh seekor cicak, bukan saya.

"Saya cinta pada Maria. Lalu, hujan turun dan Kau sengaja menunjukkan kepada saya dua ekor cicak bermesraan?"

Mungkin Tuhan memang tidak mau saya pergi kencan ke rumah Maria. Buktinya hujan yang semakin deras, bukan cuma mencegah saya berangkat, melainkan juga bikin saya mondar-mandir ke seputaran rumah sampai akhirnya tahu sepasang cicak sedang memadu kasih. Saya tidak tahu apa korelasi antara hujan, dua ekor cicak, motor rusak, dan doa seorang kekasih yang tidak bisa pergi kencan karena hujan. Tetapi, pasti Tuhan tahu dan mengatur semua.

Guru mengaji saya pernah bilang, "Tidak satu daun pun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan."

Dan, yah, inilah yang paling membuat saya melongo waktu itu, yakni adalah Tuhan mencatat segala yang terjadi bahkan sebelum kita semua tercipta.

"Berarti, ya, Tuhan," kata saya sambil berdiri lesu memandangi sepasang cicak itu berdekatan, "hujan ini Kau catat jauh-jauh hari, ya? Hamba tidak tahu apa maksud-Mu. Tapi, bolehkah meminta—dengan penuh penyesalan karena hamba jarang sembahyang, bahwa sore ini hujan segera Kau berhentikan biar hamba tidak telat? Ini sudah jam lima sore. Kalau tidak jadi datang, Maria marah. Kalau dia marah, bisa-bisa saya diputus!"

Tidak tahan melihat sepasang cicak semakin dekat, saya ke ruang tamu. Di sana, saya duduk memandangi gambar kalender yang tempo hari diberi teman, yang playboy cap bajul tengik itu.
Kalender bergambar foto gadis-gadis yang salah satunya mirip Maria. Saya ambil kalender dari gantungan dan saya buka lembar yang ada kembaran Maria tadi. Saya pandangi gambar itu. Doa saya terhenti. Tidak ada doa apa pun saat saya pandangi bibir itu. Di luar, hujan malah menggila.

Saya tidak boleh menyalahkan Tuhan yang mengatur hujan dan tiap detail sore ini, tetapi kurang lengkap kalau tidak ada yang bisa disalahkan—sebagai upaya mengurangi rasa bersalah karena mengecewakan Maria. Maka, habis-habisan saya salahkan hujan. Kenapa di dunia ini ada hujan, sehingga setiap kekasih yang mau kencan jadi repot?

Motor saya rusak, belum diperbaiki. Kalau dipaksa, malah tambah parah dan saya jadi lelaki tanpa motor. Lelaki tanpa motor adalah lelaki tanpa harga diri—paling tidak, itulah yang saya yakini, karena kalau kita pacaran tanpa motor, mengantar pacar pakai apa? Pakai gerobak?!

Saya bayangkan saya benar pakai gerobak untuk kencan ke taman dengan Maria. Apa dia tidak malu? Kalau dia malu, dia pergi dan jadi milik orang lain. Saya lebih suka mati daripada melihat orang lain membonceng Maria, sementara saya malah bawa-bawa gerobak. Saya bunuh diri dan tidak kerja seperti biasa buat memenuhi kebutuhan pokok. Saya tinggal dengan Ibu dan Adik; mereka tak ada di rumah sore ini, karena ke tempat kerabat yang ada hajatan. Kalau saya mati bunuh diri akibat putus cinta, mau makan apa ibu dan Adik?

Pukul lima lewat lima belas.

Lima belas menit lagi batas waktu saya.

Jam janji diatur sebelum maghrib, agar bisa melihat wajah ayu Maria di remang lampu teras. Biasanya, ia membuka pintu dan mempersilakan saya masuk ke ruang tamu. Tapi, tidak langsung masuk; saya harus lama-lama di teras dan menunggu ia tersenyum dua kali. Baru sesudah itu, saya masuk dan kami duduk. Di pojok ruangan, persis dekat televisi, delapan meter dari tempat kami, ada bapak Maria yang sesekali melirik dan mendeham. Sore ini sepertinya tak ada momen-momen itu. Yang ada cuma pikiran soal saya yang ditinggal Maria.

Saya ingat Tuhan dan doa-doa yang tidak kunjung dikabulkan. Dengarlah, hujan di luar makin deras, seakan tahu kalau saya jarang ingat pada Tuan mereka—tuannya para hujan dan seluruh alam semesta—sang pemilik dunia beserta isinya.

Saya sadar, doa kurang ajar yang tadi saya layangkan, jelas-jelas susah dikabulkan. Ingat Tuhan, kok hanya ketika menderita saja? Kenapa tak selalu ingat? Saya tahu, tidak jarang Maria menyuruh saya ke masjid. Katanya, nanti kalau jadi nikah, siapa yang jadi imam?

Saya merinding membayangkan itu. Pakai kata 'nanti kalau jadi nikah'? Berarti, ada kemungkinan 'tidak jadi nikah'? Apa Maria menyindir? Atau, bapaknya punya rencana menjodohkannya dengan seorang pemuda lain, sehingga ia berusaha agar saya kembali ke jalan yang benar?

Sumpah, demi motor yang minta dimuseumkan itu, saya tidak bejat. Saya hanyalah kekasih yang galau gara-gara hujan.

Saya merinding, saat dua cicak—lain dari yang di dapur tadi, berhadap-hadapan di dinding ruang tamu, di sisi lukisan Ka'bah yang dipasang Ibu beberapa bulan yang lalu. Cicak-cicak pacaran dekat Ka'bah. Sudah jelas siapa yang lebih kurang ajar, tetapi justru saya yang kini merana! [ ]

Gempol, 2013-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri