Skip to main content

[Cerpen]: "Mayat Anjing di Jembatan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kurung Buka pada Minggu, 25 Agustus 2019)

Kalau bukan karena ada yang menggantung mayat anjing di jembatan itu, aku tidak pulang membawa boneka Barbie dan sebungkus donat rasa cokelat buat anakku malam ini. Anjing mati tidak ada hubungannya dengan hadiah ulang tahun. Anjing mati hanya peristiwa biasa.
Yang membuatnya tak biasa adalah: anjing itu digantung.
*
Aku nyaris putus asa dan memenuhi sumpah pada diri sendiri, bahwa mulai nanti malam aku tidak akan menyapa Tuhan. Akan kubakar kitab suciku dan kutetapkan sejak detik itu aku tak lagi bersembahyang.
Aku adalah nol. Aku tanpa awal dan tanpa akhir. Aku bukan siapa-siapa. Tidak ada yang memilikiku dan aku tidak memiliki siapa-siapa.

Menjual kerajinan tangan bukanlah kegiatan menyentil biji karambol atau duduk memancing di tepi sungai; aku tak akan girang sekali pun. Berhari-hari gerobakku kian berdebu dan sepertinya seekor iblis tidur di sana, di ruang-ruang kecil dalam tumpukan barang-barang kerajinan tak laku yang kubawa ke sana kemari. Mau sampai kapan?

Uangku habis dan hari ini tidak ada sarapan pagi. Malam nanti batas waktu. Tanpa pembeli, setara dengan permintaan cerai. Tanpa uang sama artinya dengan pengingkaran. Anakku terlalu sering mewanti-wanti.

"Tiga hari lagi, Pak."

Lalu angka tiga itu berubah dua.

Angka dua jadi satu, dan besok aku mulai ingat itu hari ulang tahun yang ketujuh.
Aku tidak tahu sumpahku entah didengar Tuhan atau tidak. Sebuah sumpah agung yang mengancam hubunganku dengan-Nya. Sumpah yang bukan main-main. Boleh saja istriku pergi dan anakku menganggapku tukang kibul, toh nantinya aku kembali kepada nol untuk jadi bukan siapa-siapa. Menunggu ilham atau bisikan iblis barangkali takdirku, setelah menetapkan tidak lagi menjadi hamba Tuhan. Sebelum itu terjadi, seekor anjing tiba-tiba tampak tergantung di jembatan.

Orang-orang bergerumbul di tepian sungai dan menunjuk langit. Jembatan besi itu posisinya empat puluh lima derajat ke arah langit dari tempatku mendorong gerobak. Di bawah sini, di pinggiran sungai dengan tenda-tenda penjual nasi dan rokok dan kadang tubuh manusia (jika tengah malam tiba), suasana tak sesepi biasa. Orang-orang semakin banyak dan menutup jalan gerobakku dan aku tidak bisa ke mana-mana.

"Ada apa, ya?"

"Anjing digantung!"

"Anjing digantung?"

"Mungkin masih hidup."

"Boleh jadi."

"Oh, mati."

"Lha, memang mati!"

"Ya, sudah mati. Cuma kena angin saja, jadi kelihatan seperti bergerak-gerak."

"Sudah mati tuh."

"Wah!"

"Pelakunya nggak punya perasaan!"

Riuh rendah suara manusia. Anak-anak berbaris di salah satu sisi sungai dan duduk menikmati kembang gula di tangan masing-masing. Asap rokok berputar di kepalaku, di wajahku, dan aku pusing tujuh keliling. Aku tidak dapat pulang dan untuk sesaat lupa pada sumpah serampanganku untuk Tuhan.

Puluhan garis cahaya dari senter dan ponsel murahan menyasar satu titik jembatan. Benda hitam yang ganjil itu menggantung lemas dan sedikit bergerak-gerak seperti kata setiap orang di sekitar.

Itu angin dan aku yakin itu angin. Kalaupun bukan angin, tidak berpengaruh juga pada semua ini. Anjing mati itu terus di posisi tergantung dan tidak berpindah sampai seseorang mengambilnya. Tergantung begitu saja seperti handuk basah, seakan menahan aliran darah yang bekerja mematuhi gravitasi hingga darah tak henti menetes dan terus menetes ke bawah.

Sungai cokelat di bawah kini tercemar. Mereka baru tahu itu anjing setelah melihat moncongnya. Tidak ada mulut manusia macam itu atau tidak ada manusia bermoncong bagai moncong anjing, kata salah seorang penonton. Barangkali mungkin ada, tetapi itu tidak di sini. Tubuhnya terlalu kecil untuk ukuran tubuh orang-orang parpol.

Kalau bukan peristiwa aneh ini, aku sudah pulang dan membakar kitab suciku dan membuat para tetanggaku merinding dan mungkin menjauhiku karena takut kena azab. Kubayangkan itu. Sebuah masa yang belum datang dan mungkin tidak jadi datang sebab peristiwa penemuan mayat anjing di jembatan.

Iblis ngeloyor pergi dari gerobak dan memaki-makiku, "Sialan kau, Mudakir!"

*

Banyak yang tertarik melihat anjing mati digantung di jembatan malam ini. Tidak ada yang tahu pasti apakah anjing itu sudah terbunuh, sebelum akhirnya digantung bak kain bekas menahan aliran darah, atau anjing itu mati setelah digantung. Tidak ada yang tahu, tetapi hampir semua orang memiliki hipotesis masing-masing.

Aku dan gerobak berisi berbagai kerajinan tangan dirubung puluhan, ratusan, entah berapa manusia. Kepala-kepala bertonjolan menyambar daguku, menyenggol lenganku, menyundul perutku. Semua ingin tahu perihal anjing mati di jembatan itu. Orang bilang pada mulanya mungkin manusia. Tetapi, itu anjing, dan penonton yang telanjur datang pun malas pulang.

Aku belum dapat berpikir jernih, mengingat menggantung anjing malang macam itu bukanlah tindakan wajar, juga bukan hal menguntungkan, betapapun kau pembunuh sadis, sampai seorang bapak berkaus oblong bergambar sketsa wajah Iwan Fals bertanya, "Jual apa, Pak?"

"Kerajinan tangan."

Dia melongok ke gerobak dan melihat bermacam kerajinan tangan penuh debu. Itu masih baru, kataku kemudian, dan karena tidak laku, kelihatannya berdebu. Tetapi kalau diusap dengan telunjuk, bisa langsung mengilap dan kelihatan masih baru.

Dengan telaten, kuusap celengen babi hutan dan si bapak berkaus oblong langsung mengernyit. Hidung babi palsu itu mengilap dan menyorotkan dua lubang gelap penuh harap.

"Ada kipas?" tanya si bapak berkaus oblong.

"Ada."

Kusodorkan kipas kerajinan dari bahan kulit bambu dianyam. Beli dua, kembalian tidak usah, katanya. Aku berterima kasih dan berpikir, mungkin Tuhan takut hamba-Nya pergi satu. Entahlah. Aku tidak pernah benar-benar mengenal tuhanku, tetapi untuk saat ini, sumpahku belum diberlakukan.

Semakin banyak penonton, karena anjing mati di jembatan belum juga bisa diambil. Ada kayu rapuh menuju ke sana, di sisi tubuh jembatan besi. Orang bisa saja memijak, dan meraih talinya untuk menghalau pemandangan tidak wajar itu. Tapi jatuh terperosok ke sungai bukan perkara bagus. Siapa yang mau?

Seseorang tiarap di sisi pagar jembatan agar dapat menggapai jasad anjing dengan sebatang tongkat, tapi tidak bisa. Seseorang lain yang bertubuh jangkung mencoba, juga tidak bisa.

"Biar saja sampai pagi," kata ibu-ibu bertampang menor.

Tidak ada yang dengar. Kalaupun ada, peduli setan saran konyol. Bau busuk anjing itu menguat dan orang akan semakin malas membuangnya apabila terus ditunda-tunda. Riuh rendah jadi bising. 

Bocah-bocah kehabisan kembang gula dan mulai main kelereng. Orang-orang dewasa sebagian besar berhenti merokok karena heran dengan keanehan itu. Malam larut dan cuaca semakin gerah saja. 

Kegerahan tidak bisa kau bayar dengan kelereng dan rasa penasaran. Kegerahan hanya bisa diusir dengan kipas.

Malam ini Tuhan bekerja dengan baik. Mungkin memang Dia dengar ancamanku dan tidak ingin aku pergi membakar kitab suciku. Aku berharga dan dinanti-Nya. Atau mungkin, Dia menyiapkan tungku panas untukku di neraka?

Perasaanku berkata: iblis yang mengumpat kembali duduk di gerobakku. Ia geram, meski hawa neraka merayapi area jembatan dengan anjing mati digantung. Orang-orang gerah merubung gerobak. Rupiah demi rupiah jatuh ke tanganku. Anakku ulang tahun. Istriku tidak minta cerai. Tentu saja kipas yang kujual itu masih ada banyak. Dan ketika orang kehabisan kipas, akal bisa terbolak-balik. Barang-barang lain boleh juga dijadikan kipas. Malam ini benar-benar malam yang gerah.

Demikianlah, pada akhirnya aku pun pulang membawa uang yang banyak. Kubeli boneka Barbie dan sebungkus donat cokelat untuk anakku. Anjing mati tidak ada kaitan dengan ulang tahun. Anjing mati adalah hal yang biasa.

Yang membuatnya tidak biasa: anjing itu digantung.

Siapa pelakunya? Tidak ada yang tahu sampai esok dan besok lusa dan seterusnya dan selamanya.
Mungkin Tuhan yang bunuh anjing itu. Mungkin orang sinting pelakunya agar aku dapat bertahan di sana dan menghabiskan banyak daganganku. Mayat anjing itu dibuang ke sungai dan sudah hilang. 

Di malam-malam berikutnya, kukira, iblis kembali ke sana. Menungguku dengan segumpal rencana penuh dendam. [ ]

Gempol, 2016-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri