(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1641, Agustus 2019)
Sejak sukses menjadi politikus, suamiku tidak pernah lagi menghabiskan waktu di rumah bersamaku untuk sekadar minum teh atau membaca buku berdua. Dulu kami tak pernah meninggalkan kebiasaan itu: membaca buku bersama dan membicarakan tentang buku itu hingga berjam-jam sampai tidak terasa malam sudah terlalu larut dan kami pun menutup buku dan saling menghangatkan di balik selimut sampai tidur.
Dulu, sore hari, dua cangkir teh membawa kami berkelana ke masa lalu saat kami masih pacaran. Di masa itu, harga semangkuk bakso adalah harga sebuah keromantisan. Kami tertawa mengenang semangkuk bakso untuk berdua atau apa pun yang berkaitan soal kondisi dompet dan asmara kami, hingga dua cangkir teh tidak pernah terasa cukup. Di meja kami tersedia teko yang penuh terisi teh hangat. Ketika teh yang dituang mulai menjadi dingin, kami tidak lagi peduli dan tetap tenggelam dalam obrolan soal masa lalu hingga hari menggelap. Pada saat seperti itu kami makan malam sebelum nantinya melanjutkan kebersamaan dengan buku.
Itu terjadi seakan-akan seribu tahun lalu. Aku merasa hidup sendiri selama seribu tahun, meski sebenarnya baru dua tahun suamiku mulai mengurangi jatah waktu kami bersama seperti dulu sampai akhirnya tidak lagi ada rutinitas yang membuat kami dapat tertawa bersama.
Tentu suamiku selalu bilang, "Ini demi kebaikan kita bersama."
Tidak ada yang dapat kukatakan kepadanya selain patuh dan melayaninya sebagai seorang istri. Aku tetap memasak dan dia menyantap masakanku dalam bisu, dan ketika suami telah pergi meninggalkanku untuk bertugas mengurus kepentingan rakyat, aku dilanda sepi yang begitu menyiksa hingga tidak terasa air mataku kerap kali membuat pipiku basah.
Menikah selama delapan tahun tanpa kunjung memiliki momongan juga membuat perasaanku begitu tersiksa. Hatiku serasa berlubang oleh sesuatu dan lubang ini makin membesar dari waktu ke waktu.
Demi membuatku tetap waras, aku putuskan melakukan semua rutinitas masa lalu seorang diri; dua cangkir teh dan tekonya tetap kusiapkan di meja teras, dan aku tetap duduk di kursi di mana dulu biasanya aku duduk, tapi tidak ada yang kubicarakan sebab aku tidak punya lawan bicara. Aku hanya memikirkan soal masa laluku bersama suami yang belum menjadi politikus. Aku juga mengenang ketika kami berpacaran dan harus basah kuyup oleh hujan karena motor suamiku (yang waktu itu masih menjadi pacarku) kerap mogok semau-maunya di pinggir jalan tanpa satu pun tempat berteduh. Kenangan soal hujan ini membuatku menangis diam-diam.
Aku juga akan menangis diam-diam ketika matahari mulai rebah dan aku menuju ke perpustakaan kecil kami di samping tempat tidur. Perpustakaan kecil itu berupa satu lemari kaca berukuran lumayan besar untuk menampung sekitar dua ratus buku bacaan, dari mulai novel-novel romans hingga buku non-fiksi serta buku harianku sendiri saat masih remaja.
Tangisanku semakin membuat lubang di hatiku melebar saat kuputuskan membaca buku harian lamaku yang lama tidak kubuka. Di buku itu tercatat peristiwa pertemuan, perkenalan, pendekatan, hingga masa-masa kami pacaran. Aku tidak berhenti membaca hingga lima ratus halaman yang berisi sebagian besar perjalananku bersama suamiku (yang saat itu masih pacarku) saja.
Seharusnya tahun-tahun itu berlangsung lebih dari lima ratus hari, tapi aku sengaja membuatnya begitu. Sengaja buku harian itu kutulisi hanya pada saat aku dan pacarku yang kini menjadi suamiku sedang ada waktu untuk bersama. Ada begitu banyak waktu yang tidak kami lalui bersama karena kesibukannya dalam bisnis yang sedang dia rintis. Saat akhirnya kami menikah, buku harian itu selesai. Kami tak lagi terpisah kesibukan masing-masing. Hampir setiap waktu, kami selalu bersama. Bahkan, hampir tiap detik, tidak terlintas di pikiran kami untuk tidak bersama.
Kehidupan suamiku sebagai politikus secara otomatis merenggut semua itu. Kami jadi terpisah oleh kesibukan yang bertahun-tahun tak pernah terjadi. Suamiku jadi tidak lagi banyak bercanda denganku, meski di hari tertentu dia sengaja meliburkan diri untuk sekadar istirahat di rumah. Itu pun jarang. Jadi, selama dua tahun penuh itu aku lalukan rutinitas kami di masa lalu: minum teh dan membaca buku, seorang diri.
Pada tahun ketiga sebagai politikus, suamiku memutuskan agar kami pindah rumah saja, ke tempat yang lebih bagus dan lebih lengkap fasilitasnya. Kami juga ganti mobil dan suamiku membayar dua pembantu dan seorang sopir pribadi untuk menemani diriku yang mungkin butuh hiburan di luar rumah, sebab berdiam diri di rumah dapat membuat orang mati bosan.
"Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau. Kamu bisa pergi belanja baju-baju atau tas baru. Atau mungkin makan-makan bareng teman-teman kuliah kita dulu. Kalian kan sudah lama juga tidak ketemuan. Bisa kuteleponkan mereka sekarang kalau kamu mau," kata suamiku panjang lebar.
Aku tidak tahu harus menjawab apa, selain mengucap terima kasih. Aku pun tidak menolak ketika dia membawaku bertemu lagi dengan teman-teman lama kami lalu dia pergi mengurus kepentingan rakyat, tapi aku tidak merasa ini ide yang baik. Rupanya sebagian besar teman lama kami tidak sebaik seperti masa lalu. Mereka jauh berbeda dan memandangku seakan-akan aku ini hanyalah suatu patung yang tidak memiliki akal dan perasaan.
Pada mulanya kami berbicara dengan wajar saja dan aku menganggap sikap dingin mereka terjadi karena kami memang lama tidak bertemu dan ngobrol, dan tentu saja itu hanya butuh waktu sampai kami jadi cair lagi sebagaimana dulu. Namun, sampai sejam lebih kami tidak juga bebas dari kekakuan hingga salah satu dari mereka menyinggung "profesi" baru suamiku yang membuat mereka kasihan padaku.
"Apa maksud kalian bicara begitu?" kataku.
"Apa yang saat ini kamu rasakan? Kamu tidak seperti kamu yang dulu."
Sayangnya, mereka enggan menjelaskan lebih lanjut soal apa pun terkait diriku dan profesi baru suamiku. Akhirnya aku pulang tanpa mendapat kesenangan dan malah aku merasa semakin besar saja lubang yang tercipta di dadaku.
Setelah kami benar-benar pindah rumah, aku tidak lagi memiliki teras yang serupa dengan teras lamaku, sehingga waktu minum tehku tidak sememesona dahulu. Aku jadi malas minum teh dan melamunkan masa lalu, dan lebih senang berjalan-jalan santai di komplek perumahan yang begitu sunyi dan sepi dan seakan-akan sengaja didesain untuk membangun jarak abadi antara individu-individu penghuninya.
Aku juga tidak memiliki perpustakaan sendiri di samping tempat tidurku, sehingga waktu membaca kerap kupotong untuk sekadar duduk malas di depan televisi sambil tak henti memindah channel satu ke channel berikutnya dengan remote televisi yang selalu kugenggam.
Sudah cukup lama aku dan suami tidak menonton televisi, sebab tidak ada yang menarik dari itu. Hiburan kami cuma ngobrol, nostalgia, dan tak ketinggalan: buku yang kami koleksi. Rasa-rasanya inilah kali pertama aku nonton televisi setelah seribu tahun memboikot benda tersebut secara tidak sadar. Dari pagi hingga siang, aku tidak terlalu sempat melakukan apa-apa, karena harus memantau bisnis suamiku yang sudah besar. Meski bisa dilakukan dari laptop di meja ruang santai, aku tidak pernah benar-benar minat menonton televisi setelahnya. Aku hanya lebih senang melamun. Kali ini, ketika rasanya tidak ada yang bisa kulakukan di malam hari di saat kondisi rumah baru belum mampu membuatku beradaptasi, televisi pilihan yang terpaksa kuambil. Aku hanya perlu membuang waktu sampai rasa kantukku datang dan tidur untuk melupakan rasa sedihku akibat perubahan suami.
Ketika itulah tak sengaja aku menemukan sebuah berita tentang kasus korupsi yang menyangkutpautkan nama suamiku sebagai salah satu politikus yang patut dicurigai. Ia memang belum sampai diciduk KPK, tapi agaknya namanya telah ramai menjadi bahan perbincangan di luar sana.
Tiba-tiba saja aku merasa bodoh. Aku tidak mengenali sosok yang disebut-sebut di berita itu sebagai suamiku sendiri. Aku juga tentunya menolak kecurigaan orang-orang itu, sebab belum ada bukti yang menyusahkan posisi suamiku. Selama berhari-hari itu, suamiku makin terasa jauh saja. Jika datang, dia langsung mandi dan tidur. Tidak makan masakan yang khusus kubuat untuknya. Aku sendiri tidak berani menyinggung soal apa yang kulihat secara tak sengaja di televisi saat itu.
Suatu hari, suamiku terlihat tidak enak badan. Dia mendadak minta dibuatkan sup buntut kesukaannya. Dia menolak masakan pembantu dan memintaku membuatkan sup itu sebagaimana dulu di masa lalu.
"Seperti saat kita masih ngeteh dan baca buku bersama," katanya, dan mataku pun berkaca-kaca.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku saat ini, tetapi aku tahu ada yang tidak beres. Aku tahu sesuatu yang buruk bakal terjadi. Dan, memang benar, setelah sup itu selesai kami makan dalam kesunyian, orang-orang datang mengetuk pintu. Awak media bergerumbul di depan sana. Para petugas dengan borgol di tangan membelah barisan manusia. Sekali lagi, suamiku direnggut dariku, tapi kali ini, bukan hanya seribu tahun kami terpisah, melainkan, mungkin, berjuta-juta tahun. Aku tidak tahu apakah aku dapat bertahan. Aku tidak tahu. Di luar pagar, ratusan mata menatapku seakan-akan aku ini seonggok patung yang tak berharga, tak berakal, tak berperasaan. [ ]
Gempol, 2016-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).