![]() |
Tumpukan edisi media cetak yang menayangkan cerpen-cerpenku. |
Ketika kemarin Dang Aji Sidik tiba-tiba bertanya berapa sudah cerpenku yang tayang di berbagai media, pikiranku langsung melesat ke masa beberapa tahun lalu, ke akhir tahun 2013. Itulah kali pertama aku ingin menembuskan cerpenku ke media. Karena minimnya info tentang itu, juga belum "luasnya" jaringan pertemananku di dunia maya dengan lebih banyak cerpenis, aku hanya bisa coba kirim cerpen ke dua media raksasa saja, yang alamat e-mailnya kutahu dari googling, yakni Kompas dan Jawa Pos.
Tentu cerpenku jauh dari bagus saat itu, hingga kiriman-kirimanku sebanyak 2-4 cerpen dalam sebulan (kadang hanya 1 sebulan) tak pernah lolos. Tahun 2014, aku pun lebih fokus ke perlombaan skala nasional yang beberapa di antaranya berhasil kumenangi, dengan banyak gelar "juara 2" atau "10 besar", sampai seorang teman yang kini tak lagi menulis bilang, "Kamu ini spesialis runner-up." Kami pun tertawa bersama.
Di tahun itu juga aku mulai merambah media koran, namun bukan cerpenku yang terbit, melainkan sejumlah puisi dan esai (yang tanggal penayangannya tak pernah kucatat hingga detik ini aku lupa sama sekali).
Tahun 2015, sejak kumenangi ajang Unsam 2015 yang diadakan Unsa, komunitas menulis yang didirikan Dang Aji Sidik (yang lebih kerap dipanggil "Uncle" oleh para anggota), aku mulai kenal lebih banyak teman. Di malam sebelum gelar juara itu kusandang, aku mengobrol dengan teman menulis yang dulu pernah sebuku denganku di antologi "Cerita Kita di Kota Kata" (2013) yang digagas oleh Komunitas Susastra Nusantara (Bu Wina Wibowo Bojonegoro), yakni Denny Herdy. Dia menyarankan agar aku lebih banyak membaca karya terjemahan (atau bagusnya baca buku-buku berbahasa Inggris jika bisa). WN Rahman, yang waktu itu duduk bersama kami di meja rumah makan Sari Ratu, juga menyarankan hal yang sama.
![]() |
Makan malam bersama anggota dan admin Unsa, sebelum esoknya memenangi gelar Unsa Ambassador 2015. Di Sari Ratu, Surabaya. |
![]() |
Dari kiri: Dang Aji Sidik, M Rasyid Ridho, WN Rahman |
Di malam yang sama pula, seorang penulis resensi, Mas Muhammad Rasyid Ridho, menyarankanku agar coba kirim lebih banyak cerpen ke media lokal. Saran mereka kucoba dan tak berapa lama, cerpen-cerpenku mulai bermunculan di berbagai media seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, Tabloid Nova, Femina, Gadis, Suara Merdeka, detik.com, dan lain-lain. Hampir seluruh media se-Indonesia pernah menayangkan cerpenku.
Ini berkat jaringanku yang kian meluas dari waktu ke waktu semenjak penayangan cerpen-cerpen awalku sehingga makin bertambahlah informasi mengenai alamat e-mail dan syarat panjang halaman yang kadang sulit diketahui jika kita tidak atau jarang membaca media cetak tertentu yang menyediakan ruang untuk publikasi cerpen. Dari perkenalan dengan lebih banyak teman, aku tahu "cara kerja" penulisan cerpen di media lokal/nasional dan belajar untuk bersabar mengirim dan mengirim yang lebih baik jika cerpen sebelumnya ditolak atau tak pernah ada kabar.
Kemarin, pertanyaan tentang berapa jumlah cerpenku yang ada di seluruh media, membuatku harus membuka blog ini untuk mencari tahu seberapa banyak tulisanku yang muncul di media sejak 2015 (tahun 2014 tak dihitung dan tak ada di blog karena saat itu aku belum "pengalaman" dan tak terpikir tentang dokumentasi). Seluruh cerpen dan esaiku di media selalu kupasang di blog untuk memudahkan pelacakan suatu hari nanti, dan kadang ada perlunya juga bagi beberapa teman mahasiswa di luar sana yang meminta izin menjadikan beberapa cerpenku sebagai bahan penelitian skripsi mereka. Ternyata, jumlah "mereka" lebih dari 260 judul. Aku bisa menghitung jumlah esaiku yang tak terlalu banyak; barangkali hanya 6 atau 7 saja, sehingga perkiraan seluruh cerpenku yang tayang di media sejauh ini ada 250-an judul.
Aku agak kaget dengan angka ini. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan jumlah keseluruhan, kecuali kadang tiap tahun kubuka catatan khusus tentang cerpen-cerpen yang terbit, tapi tak pernah menjumlahkan seluruhnya. Kalaupun pernah, paling hanya hitungan asal dalam kepala yang tak pernah benar-benar kusimpan.
Bagiku pribadi, jumlah ini lebih memiliki arti sebagai perjalanan yang nikmat, dan bukan semacam pengejaran pada tujuan tertentu yang sifatnya sebatas material belaka. Tidak sama sekali, meski dari uang honor hasil "nyerpen" sejauh ini aku bisa kredit sebuah motor sampai lunas dan membeli smartphone beberapa kali, juga memberi diri sendiri kesenangan dengan jalan-jalan atau apa pun. Ini justru lebih ke perjalanan nikmat tentang mencintai dan dicintai.
Dari cerpen-cerpen itu aku menemui lebih banyak teman, rezeki-rezeki tak terduga, dan kadang perjalanan gratis ke beberapa kota yang menyenangkan, yang mengukir pengalaman tak terlupa di kepalaku. Jika dihitung, tak sedikit "sesuatu" yang kudapat di luar honor yang berupa uang itu sendiri.
Pada suatu hari, aku bilang pada seorang teman bahwa aku tak bisa berhenti menulis, bahkan meski kadang tak menghasilkan sesuatu. Untuk apa? Dia bertanya dengan tegas. Karena aku sudah begini; dilahirkan untuk mencintai menulis. Pengalaman menyusun kata demi kata di lembaran kosong adalah perasaan cinta yang sulit untuk dibubarkan.