(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 23 Juni 2019)
Mugeni kurang puas melihat adu panco di warung Yu Nah. Seharusnya adu jotos, biar ada yang mampus, katanya sinis. Entah dalam rangka apa, menurutnya, dua finalis kurang jantan—penghalusan dari kata 'banci'. Padahal Togog dan Bakir, dua sasarannya, tidak lembek. Mereka termasuk orang-orang yang diperhitungkan kekuatannya.
Sebagian tahu Mugeni mabuk, namun tidak sedikit menganggapnya guyon. Togog atau Bakir, sama sekali tak tersinggung. Siapa tidak kenal Mugeni? Lelaki usia setengah abad, pengangguran total, tanpa anak cucu (karena konon menurut pengakuannya, demi merawat ilmu kebal, ia tidak boleh kawin). Tak peduli petarung panco level berapa pun, kalau sudah ketemu dia, cuma bisa mesam-mesem.
Sejak muda, Mugeni mampu menaklukkan apa pun, mulai dari pesilat paling hebat, binatang liar, hingga benda-benda tak masuk akal. Tank dan berbagai kendaraan perang paling mutakhir sekalipun—andai didatangkan kemari, Mugeni mudah saja menghalau.
Togog dan Bakir sudah lama bersaing berebut posisi kedua sebagai orang terkuat di dusun setelah Mugeni. Tak apa nomor dua, yang penting disegani. Mugeni tak akan bisa dikalahkan dan ia juara abadi dalam hal kekuatan, bahkan maut. Ia tidak sekadar kebal, tetapi juga—menurut gosip yang beredar sejak zaman dulu—Mugeni tidak bisa mati.
"Tawar-menawar," katanya, setiap ada yang tanya bagaimana ia bisa anti-mati. Ini agak tidak masuk akal. Mugeni mengaku membayar malaikat maut agar tidak dimatikan sampai kiamat kelak.
"Saya tidak percaya," kata Bakir suatu hari. Tentu, tidak di depan Mugeni. "Masa iya, orang bayar malaikat maut biar tidak dicabut nyawanya? Bayar pakai apa sih?"
"Mungkin darah orang," celetuk seseorang.
"Atau darah bayi?" sambut yang lain.
"Hus! Jangan gosipin Mugeni! Nanti dibunuh, lho!"
Obrolan-obrolan semacam ini sering terjadi. Mugeni tahu ia jadi bahan omongan, dan tidak bereaksi apa-apa melainkan berlagak santai saja. Ia anti-mati, namun tidak mudah tersinggung. Sayangnya, tidak ada yang dapat menahan kelakuan buruk Mugeni yang paling menyebalkan: kesombongan.
Dari awal, kalau Anda tinggal di sini, Anda pasti tahu kalau perjalanan hidup si Antimati sangatlah aneh. Kabarnya, ia lahir dari rahim pelacur dan segera digelontorkan ke tempat sampah. Semalam bertahan atas dingin dan serbuan nyamuk dan semut-semut kecil, Mugeni ditemukan Yu Nah. Normalnya, bayi sekecil itu pasti mati, tetapi ia tidak. Ia bisa bertahan dengan suara tangis yang masih juga terdengar kencang hingga subuh berikutnya. Sejak hari itu, bayi Mugeni mendapat jalan untuk hidup lebih lama.
Zaman pembantaian berdarah pada tahun 1960-an, waktu masih SD, Mugeni jatuh dari pohon gara-gara ingin tahu orang membuang puluhan mayat dari truk. Ia jatuh dan mengeluarkan suara yang begitu keras, seakan-akan tulang-belulang anak itu pastilah remuk, tetapi malah bisa bangkit begitu saja. Seakan baru terempas ke tumpukan kapuk. Kepalanya memang berdarah, tangannya juga berdarah, tetapi ia segar bugar.
Sejak itu, fenomena-fenomena aneh Mugeni alami. Ia masih hidup walau tersengat listrik tegangan tinggi. Ia hidup walau terseret arus sungai empat hari empat malam— padahal teman-temannya tewas. Ia hidup walau sepedanya ditabrak truk dan terperosok beberapa puluh meter jauhnya ke dasar jurang di tikungan dekat perbatasan desa. Masa remaja, Mugeni dikeroyok banyak preman, dibacok sana-sini, dikepruk batu-batu, kayu, tongkat, segala macam benda, bahkan disayat lehernya. Ia berdarah-darah, namun rasa sakit sudah jadi saudara dan dia tetap tidak mati.
Lama-lama, waktu menggiring Mugeni ke kesombongan. Dulu ia berdarah. Setelah transaksi dengan malaikat, tidak ada sepercik pun darah. Ia kebal. Entah berapa jawara tunduk. Satu kemenangan, satu level nama Mugeni semakin dikenal. Hingga dua puluh tahun lalu, ia mengalahkan semua jawara. Sampai kini, belum ada yang menggantikan posisinya.
"Mereka tidak ada apa-apanya," katanya angkuh. "Memang kuat, tapi bisa mati tak berdaya. Sedang saya, tidak mati sampai kiamat. Sengaja, biar tahu betapa tangan Tuhan juga tidak ada apa-apanya!"
Sungguh kurang ajar.
Orang-orang heran, apa yang Mugeni cari dari kekebalannya? Ia memang kuat dan mungkin tidak mati sampai kiamat. Ketika kiamat terjadi, mungkin ia sudah sangat tua, meski masih kebal. Menjelang kematiannya, bukankah segalanya hilang dalam sekejap?
Ketika Yu Nah menjelaskan soal hilangnya segala sesuatu saat hari kiamat padanya —tentu dengan hati-hati, karena beliau tahu perkara ini lain dari gosip kacangan Bakir dan kawan-kawan—dengan tujuan agar Mugeni mau menikah dan memberinya cucu, si Antimati tak pernah menjawab.
Sampai di sini, mungkin Anda—atau siapa pun—kaget. Tetapi, baik Yu Nah, Bakir, dan Togog tidak mungkin tahu, karena mereka tidak membaca cerita pendek ini. Sejak awal, ketika jatuh dari pohon itu, sesuatu di selangkang Mugeni terbentur batu. Ia tak akan pernah bisa membuat anak. Tapi, demi apa pun yang ia raih, demi kisah transaksi maut legendaris itu, ia tidak rela rahasianya terbongkar. Bagi Mugeni, sejarah jauh lebih penting ketimbang anak cucu. [ ]
Gempol, 2016-2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).