(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1618/XXXI 25 Februari - 3 Maret 2019)
Kamarku berada di lantai dua. Ada balkon yang menghadap barat, sehingga setiap sore sepulang kerja, aku dapat menikmati sunset sekaligus memandangi foto anak-anak. Sesekali kuhirup aroma masakan dari jendela sebelah; tetanggaku, perempuan sebatang kara yang sudah cukup tua dan kuanggap sebagai tanteku sendiri, sedang membuat kue kering. Biasanya ia datang setiap sore untuk menikmati sunset bersamaku di sini sambil minum teh dan makan kue kering.
Foto-foto tadi kutata dengan rapi di meja dekat jendela menuju balkon. Tidak ada yang tidak bertanya foto siapa saja itu. Semua teman sesama pekerja yang mampir ke sini atau tetanggaku tadi, selalu bertanya-tanya bagaimana anak-anakku itu? Apakah selucu yang di foto? Atau, beberapa kali lebih lucu? Mereka memang lucu. Aku bahkan tidak bosan menangis karena rindu kepada mereka. Di antara foto anak-anakku, terdapat foto almarhum suamiku. Perbedaan foto suamiku dengan foto anak-anak: tidak pernah ada yang bertanya lebih lanjut tentangnya.
Tentu saja, semua orang di sini memahami bagaimana perasaanku setelah suamiku meninggal. Anak kami empat. Yang tertua Sandy, duduk di bangku kelas sebelas. Sandy akhirnya yang bertugas momong adik-adiknya sejak empat tahun silam aku bekerja di negeri orang. Berat meninggalkan mereka, tapi Sandy bilang, "Mama harus berangkat! Urusan rumah, biar Sandy pegang!"
Suamiku kecelakaan dan meninggal tidak lama sebelum itu. Jadi, secara mendadak, tidak ada seorang pun yang bekerja di rumah kami. Sebelum menikah dulu, aku sempat melamar kerja di banyak tempat, tapi gagal. Karena tidak juga mendapat kerja, menikah dengan suamiku pun bagaikan sebuah jalan keluar.
Kupikir suamiku sudah mapan dan kehidupan akan baik-baik saja. Tapi, hal buruk datang. Ia dipecat, karena fitnahan teman. Ia pontang-panting demi membayar berbagai cicilan, juga agar kapal kami tidak karam. Kapal itu goyah dan suamiku berupaya agar kami bertahan. Suatu malam, karena lelah, dia tidak fokus menyetir. Suamiku menabrak tiang listrik dan meninggal saat itu juga.
Aku tahu kami tidak dapat bergantung kepada siapa pun. Agaknya Sandy mengerti. Hanya adik-adiknya yang terlalu polos dan tidak tahu kenapa kehidupan kami sedikit berubah, masih suka protes. Harusnya Papa tidak meninggal, harusnya Mama di rumah, tidak ke luar negeri, dan sebagainya.
Kukatakan, "Mama pergi untuk kalian, bukan untuk diri Mama."
Aku ingat, di hari pemakaman suamiku, tidak ada saudara kami yang peduli untuk sekadar bertanya bagaimana Sandy dan adik-adiknya? Sekolah dan masa depan mereka akan seperti apa?
Tidak ada alasan yang dapat kupakai untuk menghentikan tekadku. Aku memang harus kerja. Mungkin sudah takdir-Nya aku bekerja di tempat yang jauh dari anak-anak. Uang yang kuhasilkan di negeri yang jauh akan cukup untuk menyekolahkan mereka.
Aku menyesal karena dulu tidak serius menempuh pendidikan, sehingga di sini aku bekerja sebagai seorang pembantu. Meski begitu, aku tak mengeluh. Aku hanya kasihan kepada Sandy. Aku tidak bisa membayar seseorang untuk membantu anak itu mengurus rumah, sementara aku kerja dengan tenang di negeri orang. Itulah sumber sesalku. Aku tidak bisa berbuat lebih dari ini untuk anak-anak.
Kadang-kadang, jika tidak memandangi foto anak-anak, kualihkan pandanganku ke foto suamiku. Satu-satunya foto yang paling jarang dibahas oleh siapa pun yang mampir ke sini. Memandang foto suamiku, mengenang kembali masa-masa awal kami menikah. Semua begitu manis. Ia suami yang baik.
Sepeninggal suamiku, aku lebih dekat kepada-Nya. Teman-teman heran, mengingat betapa kesepiannya diriku di negeri orang ini, juga betapa sedihnya aku karena tidak ada yang peduli padaku dan anak-anak, tetapi mereka malah melihatku sebagai pribadi yang seteguh karang dan humoris.
Kubilang, "Segalanya diatur oleh-Nya. Saya tidak menganggap saya sial."
Karena keyakinanku itu, beberapa teman memutuskan sering mampir kemari dan sesekali bertanya bagaimana supaya hidup ini terasa lebih enteng dan tanpa beban. Jadi, kedatangan mereka membuat kamarku jarang sepi di luar jam kerjaku.
Dalam kondisi apa pun, kukira, aku sangat patut bersyukur. Kadang dua atau tiga teman sengaja tidak pulang langsung, melainkan menuju kamarku di lantai dua, lewati seorang penjaga gedung berwajah cemberut dan bertubuh jangkung. Mereka tidak takut, karena di kamar ini bertemu aku yang mampu membuat mereka tertawa dengan cerita lucu karanganku.
Kalau tidak ada teman-teman, sore hari tetap seru. Tetanggaku yang memasak kue kering tadi tertawa lepas mendengar kisah-kisah lucuku. Aku memang senang melucu. Selain agar tidak terlalu tenggelam pada rasa sedihku akibat rindu anak-anak, aku juga dapat mengurangi tingkat stress orang-orang di sekitarku.
Mereka menyukaiku karena ini. Tina, si perempuan Indonesia itu, yang baru bisa berbahasa Inggris dengan lancar dua tahun belakangan, dapat membuat orang tertawa. Itulah yang selalu mereka katakan. Mereka bilang, aku lumayan pintar.
"Kenapa tidak menulis buku saja?" tanya mereka.
Sedikit demi sedikit, aku pun menulis. Ada yang bilang, dengan menulis, seseorang dapat mencari uang. Karena ingat anak-anakku, apa pun kulakukan, selama halal. Maka, aku menulis beberapa cerita pendek dan novel, dan beberapa tulisanku itu menghasilkan uang tambahan untuk Sandy dan adik-adiknya.
Aku bersyukur karena hal itu. Semua lancar. Seperti sudah ditata dengan rapi dan jelas oleh sebuah tangan tak tampak. Hanya satu yang tidak begitu lancar: kepulanganku ke tanah air. Selama empat kali lebaran, hanya satu kali dapat kupenuhi hak anak-anak dengan memeluk mereka satu per satu di hari penting itu. Itu terjadi dua tahun yang lalu. Tahun ini aku tidak pulang. Dan tahun depan aku sendiri belum dapat memastikan.
Sore ini, tak seperti seperti biasa; tak ada seorang pun teman yang mampir. Tidak juga tetanggaku yang pintar memasak kue kering itu. Saat duduk di balkon kamar, aku memikirkan sesuatu. Di sekitar sini tidak ada tempat hiburan seperti bioskop atau pasar malam dan semacamnya. Satu-satunya yang dapat kulakukan jika tak ada seorang pun mampir, adalah memandang sunset yang membuatku ingat taman samping rumahku di Indonesia.
Aku duduk memikirkan Sandy dan teleponnya kemarin lusa. Kubayangkan kami duduk di sana berdua.
Dia bilang, saat itu ada sunset.
"Sandy kangen Mama," katanya.
Aku tahu ia menangis.
Anak itu bercerita tentang sunset yang indah di kuburan suamiku. Katanya, tidak ada yang merawat kuburan itu sejak sebulan lalu, karena Pak Mudakir, tetangga kami yang membantu Sandy membersihkan dengan imbalan selayaknya, sudah meninggal. Sandy tidak sempat mengurus kuburan papanya sendiri, sementara di rumah ada begitu banyak tugas menanti.
"Ini kuburan Papa ... kotor, penuh rumput. Sandy tidak becus, Ma! Sandy gagal!" katanya.
Aku memaklumi ucapan Sandy, karena selama ini seluruh tugas ia jalankan dengan sangat baik dan tidak pernah gagal. Ia juga tidak mengeluh. Ia selalu dapat aku andalkan, dan membuatku percaya lebih kepadanya. Sandy tumbuh menjadi remaja yang tangguh. Hanya saja, ketika ia tahu kuburan papanya tidak terawat, ia merasa seakan-akan langit runtuh menimpanya.
Dapat kubayangkan tubuh Sandy yang sudah bertambah tinggi beberapa senti itu, berdiri menunduk di samping kuburan papanya. Dapat kubayangkan juga bagaimana air mata seorang anak sulung, yang mendadak dituntut tegar oleh takdir, semata-mata demi tiga adiknya, berjatuhan di batu nisan mendiang suamiku.
Aku sendiri menangis, tapi kucoba menghibur Sandy dengan kata-kata lucu. Sandy tidak boleh larut. Ia boleh menangis. Tapi tidak boleh terlalu larut. Kukatakan kepada Sandy, betapa ia contoh bagi adik-adiknya, dan sejauh ini ia berhasil jadi contoh yang baik.
"Kamu tidak gagal, Nak. Empat tahun bukan waktu yang pendek. Kita bisa lewati empat tahun sama-sama, dan tentu saja ini semua tidak kita ketahui bagaimana akhirnya. Kamu jelas tidak gagal," kataku.
Anak sulungku itu masih menangis, tetapi kutahu Sandy telah bangkit. Sampai di titik ini, aku paham bagaimana bisa teman-temanku di negeri orang ini, juga tetanggaku yang pintar memasak kue kering itu, menganggapku sebagai perempuan seteguh karang. Semua ini karena aku dan Sandy menjalin kerjasama jarak jauh, dalam mengendalikan kapal kehidupan keluarga kami yang sempat karam. Dan, kukira, kami berhasil. [ ]
Gempol, 2013-2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, puisi, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media.