(Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 24 Februari 2019)
Tiba-tiba sekelompok orang berkerumun di depan warungku. Orang-orang kota itu sungguh harum. Bawaannya macam-macam. Ada poster, kalender, dan entah apa. Di antaranya ada wanita cantik yang bertanya siapa namaku. Lalu kusebutkan namaku. Dia bertanya tentang warung dan kondisi keuanganku. Setelah mengobrol singkat, aku dapat amplop darinya. Aku tidak kenal dia. Begitupun beberapa orang di sekitarku yang juga dapat amplop. Tak ada yang kenal dia. Tak lama, orang-orang bersorak, membuat bunyi klakson di jalan raya ujung pasar tak kedengaran jelas.
Kamera-kamera, semakin ke sini, semakin banyak jumlahnya. Mungkin belasan. Atau puluhan. Entah. Aku tidak pandai menghitung. Seorang bapak yang menjadi pusat perhatian, yang tadi membuat setiap penjual bersorak-sorai, melangkah masuk ke gang pasar yang becek. Aku pernah sekali waktu lihat si bapak tersebut di televisi. Dia calon pemimpin. Calon wakil rakyat yang kerap bersumpah di iklan: "Ini demi rakyat!"
Tentu aku senang; pasarku yang kumuh didatangi calon pemimpin, diliput entah berapa TV, dipotret sana-sini. Siapa tidak girang? Sumarni, tetangga belakang rumahku, yang berjualan bumbu dapur, senang bukan main bisa memeluk si calon pemimpin. Aku sendiri pengen, tapi karena kondisi begitu padat, berdesakan sampai nyaris semaput, dan setiap orang enggan mengalah, aku cuma bisa gigit jari.
Sempat kusentuh tangan si bapak tersebut walaupun sebentar. Kunjungan ini berisi pidato beberapa menit oleh calon pemimpin, lalu orang-orang dengan kamera dan hape mengajukan pertanyaan, foto-foto sebentar, kemudian selesai.
Malam harinya, anak-anakku berkumpul di depan TV dan bertanya-tanya apakah aku juga akan terlihat di sana. Di cari ke sana kemari, ketika berita itu muncul, rupanya tidak ada aku di sana. Jelas saja, orang-orang yang lebih gesit mendapat tempat di dekat bapak calon pemimpin. Aku yang kalah cepat, cuma melongo tidak kebagian tempat.
Meski begitu, aku senang juga karena kedatangan calon pemimpin itu membuatku dan beberapa teman penjual di pasar ini mendapat beberapa pelanggan baru. Hanya saja, itu tidak lama. Saat pemilihan berlangsung, kami jelas mencoblos foto si bapak. Kami coblos dengan bangganya karena beliau pernah dengan rela hati mendatangi pasar kami yang kotor dan bau. Sungguh sebuah kesenangan yang sederhana.
Sayangnya yang terjadi sebatas itu. Hari-hari berikut, terasa tak ada beda. Bahkan sama saja, meski bapak tersebut kini resmi menjadi pemimpin daerah kami. Nyaris tiap hari, kami berharap mendapat kunjungan dan amplopnya sekali lagi. Tapi, tentu saja, itu hanyalah harapan semu. [ ]
Gempol, 17 Desember 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).