(Dimuat di Haluan edisi Minggu, 10 Maret 2019)
Ada alasan-alasan tertentu yang membuatku ingin tetap di sini. Aku tidak akan ke mana-mana dan terus di sini sampai tua. Aku akan tetap bertahan hingga seribu tahun di tempat yang sama dan mungkin sambil menyesali perasaan yang tak pernah dia dengar. Tentu, tidak ada cerita ini seandainya aku tidak pernah tahu di bumi ini pernah hidup seorang Maria.
Aku tidak tahu nama gadis itu sebenarnya. Aku hanya spontan menyebutnya Maria. Kupikir nama itu cocok untuknya dan mudah diingat. Jadi, tidaklah salah menyebutnya Maria. Dia begitu cantik dan menyerupai bidadari ketimbang manusia.
Ketika kukatakan soal Maria, tidak semua orang percaya. Di sini tidak ada bidadari. Ini sarang setan dan bidadari ada kalau engkau pergi seribu mil jauhnya. Itu pun kalau beruntung!
Aku tidak percaya omongan siapa pun yang menganggap Maria adalah perempuan kebanyakan yang tidak istimewa; mereka hanya belum tahu saja bagaimana wujud sang bidadari. Tapi, kalau mereka tahu, mereka tak tinggal diam dan merebut pujaan hatiku. Sesosok bidadari di sarang setan, sudah pasti tak bakal selamat.
Yang ada di kepalaku saat itu satu: Di mana Maria tinggal?
Orang-orang udik di sekitar tempat tinggalku yang tidak jauh dari hutan memang terlalu buruk perangai dan pemikirannya. Mereka tidak bersekolah dan jika beberapa pernah masuk bangku sekolah, hanya sebagai bentuk dari rasa gengsi. Dalam kondisi apa pun, di sini Maria tidak akan aman.
Aku baru tahu di mana Maria tinggal setelah beberapa hari mengintai lokasi kami pertama bertatap mata. Di kawasan itu terdapat berderet warung kopi, yang tak jauh dari sebuah dusun. Di dusun itu Maria tinggal bersama pamannya untuk tugas kuliah.
Begitu tahu Maria siapa, sejujurnya aku gentar. Aku orang kampung yang tak tahu kehidupan kota. Barangkali itulah yang membuatku berpikir Maria serupa bidadari; ia begitu jauh dan tak terjangkau. Ia begitu indah. Jauh dariku yang bukan apa-apa.
"Sebaiknya cari yang masuk akal," saran seorang teman, setelah kutunjukkan pada mata kepalanya sendiri sosok Maria.
Temanku ini tadinya tak percaya ada bidadari di kampung kami. Begitu tahu gadis yang kusukai ternyata benar ada dan tampak luar biasa untuk orang-orang macam kami, dengan berat hati dia menyarankan mundur.
"Ada lebih banyak wanita yang cocok untukmu dan kurasa bukan sekali dua kali di dusun kita ada perempuan tergila-gila padamu," tambah temanku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Memikirkan cintaku pada Maria sama dengan memikirkan bagaimana cara mengirim lelaki buruk rupa dan udik ke bulan dari atap rumahku. Ini memalukan. Aku yang tak memiliki pekerjaan, apalagi masa depan untuk dibanggakan, apalah daya ketika nanti benar-benar berhadapan dengan Maria?
Dengan penuh nada sinis, kubilang pada diriku sendiri, "Mungkin bisa aku pergi ke bulan dan berangkat persis dari atap rumahku, tetapi aku harus lebih dulu memanggil si malaikat maut!"
Itu sekadar ucapan iseng. Aku tidak bermaksud menghabisi diri sendiri. Aku hanya kesal dan membayangkan jikapun ada kemungkinan bersama si Maria, kurasa itu hanya akan ada di kehidupan lain. Bukan kehidupan saat ini.
Keyakinan ini awalnya menyakitkan, tetapi aku belum berkenalan dengan Maria, dan tentu perempuan itu tidak tahu perihal perasaanku. Kalau saja dianggap begini: aku tak pernah mengenal Maria dan Maria tak risih akibat perasaan yang tak mungkin bakal kusampaikan, kurasa semua bakal lebih baik ketimbang sebaliknya. Aku tidak sanggup membayangkan rasa malu oleh penolakan Maria. Itu akan sangat buruk.
Seiring berjalannya waktu, aku menerima kenyataan tentang kami, dan lalu berita itu datang tiba-tiba. Seorang teman datang dan bilang ada kejadian mengerikan di kaki jurang. Warga berbondong-bondong ke sana dan melihat Maria berbaring tak bernyawa dengan kondisi nyaris telanjang.
Pada saat itu orang-orang bersikap biasa saja, karena barangkali mereka tidak tahu betapa indah sosok Maria ketika masih hidup dulu. Jasad yang mereka temukan penuh luka dan beberapa bagian kulitnya membiru. Yang membuat orang yakin itu jasad Maria adalah tahi lalat di lengan kirinya yang berjejer dua; sang paman tahu itu dan pingsan di tempat penemuan jasadnya.
Orang-orang yang tak tahu bagaimana perasaanku (kurasa tidak banyak yang tahu itu) tidak peduli bagaimana kemudian aku terduduk lemas di akar pepohonan tidak jauh dari jasad Maria. Ketika melihat tubuh pamannya diboyong ke atas, aku tahu apa yang bakal terjadi pada tahun-tahun mendatang. Pengetahuan itu bertambah, lantas memekat setelah kudengar kabar tambahan beberapa hari kemudian bahwa Maria mati karena diperkosa beberapa tukang mabuk yang sebagiannya teman dekatku.
Aku terpukul dan ingin pergi sejauh mungkin, tetapi kenangan pertemuan pertama dengan Maria, yang tak membuat kami berkenalan dan hanya bertatap mata, melahirkan keinginan untuk tetap di sini.
Kenangan ketika dia ditemukan mati dan aku menangisi batu-batu tempat jasadnya tengkurap kaku, turut menyumbang keinginan serupa. Akhirnya, aku malah tak mampu pergi dan berpikir arwah Maria bergentayangan di dekat jurang. Sehingga, apa gunanya juga buatku untuk pergi?
Aku memikirkan satu hal: Maria mati dan tidak seorang pun memilikinya, dan aku juga tidak mungkin memilikinya. Adakah kemungkinan lain yang terbaik bagiku selain bahwa jika suatu hari nanti Maria dapat mendengar perasaanku sekalipun dia sudah tak berjasad?
Gagasan ini terdengar sedikit gila, tetapi teman-teman dekatku, yang tidak ikut jadi pelaku pemerkosaan, berusaha mencegahku dengan menyampaikan betapa banyak gadis lain yang bisa kucintai dengan tulus dan logis selain arwah Maria. Aku tak menggubris mereka sampai teman-temanku menyerah.
"Biarkan saja dia. Biarkan dia kawin dengan hantu perempuan yang dicintainya itu, yang tak benar-benar jadi pacarnya sewaktu hidup!" kata salah satu dari mereka.
"Berarti sama saja kita biarkan dia gila?"
Aku tidak peduli obrolan diam-diam itu. Aku juga tak peduli betapa sebenarnya si perempuan itu bukan bernama Maria, melainkan Suyati. Aku juga tak peduli orang tua dan beberapa saudaraku melihat perubahan mendadak ini dan sadar itu terjadi setelah kejadian mengerikan penemuan mayat seorang gadis. Semua orang di sekitarku seakan berkata, "Pergi saja dan cari perempuan lain!"
Tentu tidak! Itulah balasan dariku atas ucapan gaib mereka semua. Melihatku yang keras kepala dan teguh, orang-orang mundur secara teratur. Yang kulakukan di hari-hari setelahnya adalah membangun gubuk di kaki jurang kering; yang dulunya adalah sungai, namun karena terjadi tanah longsor belasan tahun silam, sungai tersebut berpindah rute alirannya dan jurang tersebut menjadi sekering hari ini. Di jurang itu Suyati ditemukan tergeletak tanpa nyawa. Di jurang yang sama kubangun tempat bernaung baruku demi harapan arwah Suyati dapat mendengar keluh kesahku tentang perasaanku.
Ada alasan-alasan tertentu yang membuatku ingin tetap di sini. Aku tidak akan ke mana-mana dan terus di sini sampai tua. Aku akan tetap bertahan hingga seribu tahun di tempat yang sama dan mungkin sambil menyesali perasaan yang tak pernah dia dengar. Tentu, tidak ada cerita ini seandainya aku tidak pernah tahu di bumi ini pernah hidup seorang Suyati. [ ]
Gempol, 2017-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).