![]() |
Lukisan karya Bob Bello |
(Dimuat di Tribun Jabar, Minggu, 10 Februari 2019)
Sebuah kota berdiri di tengah gurun. Kota gurun berisi orang-orang mati yang telah dihidupkan kembali sebagai manusia biasa dan bukan monster atau hantu atau siluman, sehingga konon mereka tak menginjak surga ataupun neraka begitu saja. Mereka hidup paling lama di dunia. Ketika bumi kelak hancur, seisi kota gurun menciptakan sebuah pesawat yang dapat mengantar manusia-manusia biasa ke planet lain. Namun, tentu saja, terjadi seleksi alam. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melanjutkan hidup di planet lain ketika bumi tak lagi bisa dihuni.
Pada waktunya nanti, kota gurun yang dulunya dihuni oleh makhluk-makhluk yang durhaka pada Tuhan, tiada tertinggal di buku sejarah apa pun. Kota tersebut hilang dari catatan ingatan, kecuali mereka yang benar-benar berperan dalam terjadinya akhir dunia. Ketika itu seluruh planet hancur lebur dan di antara orang-orang terpilih yang tak lagi berkembang biak (sebab kondisi di planet lain berbeda dengan di bumi, jadi seluruh bayi yang dilahirkan setelah masa kehancuran bumi mati sia-sia), terjadi lagi seleksi alam. Hanya mereka yang terkuat yang akhirnya dapat menumpang pesawat yang jauh lebih canggih, untuk menjadi rumah mereka sampai entah kapan.
Pesawat canggih itu sungguh besar tak terkira. Dua ribu manusia termuat di setiap sudutnya, namun mereka harus menerapkan gaya hidup yang benar-benar baru. Pesawat itu tak mungkin jadi lebih luas lagi. Orang-orang harus mengatur siapa yang layak mati dan siapa pula yang berhak melanjutkan hidup. Dalam setahun, terjadi seleksi oleh akal mereka sendiri; sebagian orang terpaksa dibantai demi menjaga keseimbangan, dan kini bayi-bayi kembali dilahirkan untuk melanjutkan keberlangsungan hidup umat manusia.
"Tidak boleh lebih dari dua ribu jiwa," demikian kata salah seorang petinggi dalam pesawat megah tersebut.
Sebagaimana kehidupan di bumi pada masa yang terlalu tua, orang-orang di dalam sini juga memberlakukan sistem pemerintahan dengan orang-orang yang memimpin dan orang-orang yang dipimpin. Para pemimpin terdiri dari bekas tentara yang kuat dan tak dapat dikalahkan oleh apa pun. Mereka begitu tangguh sehingga tak ada yang dari pihak lain berani melawan keputusan-keputusan yang diambil.
Jika seseorang di antara para pemimpin berkata: bunuh ibu kandung si X, besoknya telah siap peti mati di depan kamar yang dimaksud. Orang-orang tak bermaksud untuk kebas hati, sehingga mereka lebih suka pergi jalan-jalan ke bagian lain pesawat, sedang sang target dengan tenang duduk menanti di sana, di sudut tempat tidurnya, tanpa punya sedikit pun niat untuk melawan.
Tentu saja beberapa orang akan melawan. Beberapa orang terpaksa harus ikut mati, meski sebenarnya kematiannya tidak dikehendaki oleh para pemimpin. Beberapa orang yang menolak mati akan membuat banyak kerusakan di beberapa bagian pesawat. Jika situasi ini terjadi, saat target itu berhasil diringkus, kematian terburuklah yang orang itu dapatkan.
Yang dimaksud kematian terburuk adalah saat seseorang mati dengan cara yang tak terhitung lamanya. Dokter-dokter jenius mendapat tempat khusus untuk eksperimen dan demi riset tertentu, mereka boleh menjadikan para target yang memberontak sebagai kelinci percobaan. Dokter-dokter ini tidak pernah menjadi target hukuman mati, karena mereka dibutuhkan untuk kepentingan seisi pesawat. Mereka hanya akan mati jika telah tiba saatnya mati.
Mereka yang tidak egois akan lebih memilih diam saat para pasukan pesuruh para pemimpin memasuki kamar mereka dan menyuntikkan sesuatu pada tubuh mereka. Lalu orang-orang membawanya dengan peti yang disediakan. Orang-orang di lorong kamar menatapnya. Anak-cucu, saudara, sahabat, pacar, suami, istri, memandang hampa tanpa melawan. Mereka tak akan merasakan kematian, karena hanya mati dalam lelap. Begitu ritual itu selesai, tubuh target dibawa ke bagian ekor pesawat. Di sana dibangun pintu untuk menggelontorkan peti-peti mati ke angkasa.
Peti-peti itu entah bagaimana nasibnya. Mungkin pada saatnya nanti mereka bakal hancur berkeping-keping karena proses alam. Binasanya planet-planet membuat seluruh semesta tak berlangsung sebagaimana dahulu. Anomali-anomali kerap terjadi, dan sebab itulah, pesawat raksasa yang memuat dua ribu manusia terakhir di alam semesta harus mencari cara demi hijrah ke galaksi lain.
Di antara para penumpang pesawat, hanya sedikit yang yakin mereka akan berhasil dengan tujuan itu. Beberapa dari mereka percaya akan mati lebih dulu sebelum ambisi tersebut tercapai. Beberapa merasa sangat yakin sehingga berkhayal akan membangun sekali lagi sebuah kota di galaksi baru dengan planet yang juga baru. Sebuah kota yang menyerupai kota tua mereka di bumi pada masa ratusan tahun sebelumnya. Kota gurun yang indah, yang berkembang dengan hanya satu oasis. Kota gurun yang gemerlapan di malam hari. Kota gurun yang membuat orang-orang tersesat mendapat harapan baru. Di kota itu pula, dosa-dosa terbesar terus diproduksi. Setiap hari, para penghuni kota gurun menantang Tuhan. Setiap hari Tuhan hanya menunggu. Suatu ketika bencana besar pun melanda. Orang-orang di kota gurun mati, namun malaikat kerepotan membariskan satu per satu manusia-manusia durhaka ini untuk dijebloskan ke dalam neraka, karena saking banyaknya mereka.
Tuhan pun kemudian memberikan orang-orang gurun kehidupan sekali lagi. Boleh jadi agar mereka belajar. Atau barangkali karena Tuhan hanya sedang mau saja. Intinya, orang-orang gurun kembali hidup. Jasad-jasad tak bernyawa yang bergelimpangan pada suatu sore, tiba-tiba saja bangkit seperti bangkitnya orang dari tidur. Mereka tak merasa apa-apa selain keanehan, bahwa kota mereka hancur lebur, namun mereka semua tidak mampus.
Penduduk kota gurun lalu memulai kehidupan baru. Peradaban kembali dibangun. Dosa-dosa kembali bergulir sepanjang waktu. Dan Tuhan agaknya masih senang untuk menunggu. Suatu kali, bumi dihancurkan secara bertahap, sehingga orang-orang di kota gurun, yang tak kalah cerdas dari orang-orang kota, membangun sebuah pesawat untuk kabur ke planet lain. Demikianlah waktu terus berputar. Kematian demi kematian terus berlangsung. Pada titik ketika segalanya hancur dan yang tersisa hanyalah pesawat besar itu, orang-orang gurun pada masa kini hanya bisa membayangkan kehidupan di galaksi baru atau justru kematian.
Tidak pernah ada yang tahu, karena mereka sendiri bahkan tidak benar-benar yakin apakah di galaksi lain semua baik-baik saja? Atau justru di seberang sana, di galaksi lain yang misteri itu, juga mengalami hal serupa, yang mana sebagian orang dihidupkan lagi untuk berbuat kerusakan sekali lagi, tanpa apa-apa yang tersisa di sekeliling mereka? [ ]
Gempol, 16 November 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).