(Dimuat di Koran Tempo edisi akhir pekan, 12-13 Januari 2019)
Sejak bertahun-tahun lalu sungai itu merekam jejaknya sendiri di pikiranku. Pada suatu hari seorang pria dengan tubuh berdarah-darah merangkak ke halaman rumahku yang berada persis di tepi sungai. Aku berusaha sebisa mungkin dan bahkan keluargaku juga meluangkan waktu untuk membuatnya sembuh dan mampu bicara. Pada akhirnya lelaki itu mati setelah tiga hari tiga malam mengigau.
Pria tanpa nama tadi kami kubur dengan doa ala kadarnya dan upacara tersepi yang pernah ada. Tidak ada kejadian ganjil setelah beberapa minggu dikuburnya pria itu. Lalu, suatu malam, saat aku dan sepupu mencari adik terkecil kami yang belum juga pulang, seorang pria paruh baya menyeret-nyeret tubuhnya yang berlumuran darah dan meminta pertolongan.
Kami tidak tahu apa yang terjadi pada orang-orang tersebut. Dalam sembilan tahun, sungai itu membawakan para lelaki tidak kurang dari sebelas orang, dan mereka terluka parah sebelum mati tanpa memberi penjelasan apa-apa. Jika suatu kali seseorang pergi berkunjung ke desa kami, dia cenderung bertanya-tanya kuburan siapa saja yang tiada berbatu nisan itu?
Untuk diketahui, desa kami terpencil. Tidak ada yang terpikir melaporkan kematian mereka ke petugas berwenang, kecuali beberapa bulan setelah kematian orang kedua, karena kami mulai ketakutan ada kejadian yang sama persis untuk ketiga atau keempat atau bahkan lebih dari itu. Kami juga cemas jika semua yang terjadi pertanda datangnya sebuah kutukan, tetapi laporan itu tidak ditanggapi secara serius.
Para petugas yang berdinas di desa terdekat, yang jaraknya bermil-mil jauhnya dari desa ini, waktu itu hanya berkata, "Banyak pendaki ilegal yang sengaja melepaskan diri mereka karena jenuh dengan kehidupan kota. Orang-orang itu sengaja minggat dari kota demi menyatu dengan alam, tetapi kita tahu tidak ada yang mampu bertahan dan para pendaki itu pun mati."
Aku tak yakin dengan penjelasan tersebut. Dugaan yang para petugas sebut terkait binatang buas atau gangguan alam di pegunungan yang ada tidak jauh dari sungai itu, sempat dipercayai selama beberapa waktu, hingga datangnya lelaki ketiga yang terluka dan mati dengan cara lebih aneh: di perutnya tertancap beberapa bilah pisau kecil dan kami sempat mengeluarkan beberapa butir peluru dari paru-parunya. Binatang liar, apa pun itu, tak mungkin melakukannya.
Sayangnya orang-orang desa telanjur muak pada petugas yang tidak pernah serius menanggapi laporan kecuali yang memberi mereka peluang untuk mengeruk sebanyak mungkin uang atau emas dari korban atau pelaku kejahatan tertentu. Maka, kami semua sepakat untuk tidak lagi melapor.
Sembilan tahun berlalu. Kematian demi kematian terus terjadi dan teka-teki soal ini belum juga terungkap hingga aku sendiri mulai merasa terbiasa dan sering kali terpikir, di beberapa kesempatan, bahwa jika suatu kali kutemukan seorang lelaki berdarah-darah merangkak menuju desa kami dari arah sungai dan pegunungan, maka itu tandanya aku harus berbuat kebaikan sekali lagi untuk orang lain, meski pada akhirnya kebaikanku itu sia-sia belaka.
"Mereka tetap mati dan begitu takdir menggurat ketentuannya di sungai dan desa ini," demikianlah pikiranku berkata.
Sungai itu tidak lagi jadi sungai biasa setelah kematian orang ke sekian. Ia tempat yang sakral dan beberapa orang desa memutuskan untuk berdoa di sana untuk mendapat keselamatan. Mereka percaya, kami, orang-orang asli desa ini, dapat tetap hidup dan tak menjumpai binatang ganas atau pembunuh atau apa pun di luar sana yang menghabisi sebelas lelaki asing tadi, adalah karena kami telah mendapat kebaikan dari apa pun atau siapa pun itu yang belum kami tahu. Maka, kami patut berterima kasih.
"Sungai ini batas antara kehidupan dan kematian," begitu tutur beberapa sesepuh di depan kami. "Barangsiapa yang tidak dikehendaki untuk pergi menyeberangi sungai ini untuk mencapai hutan dan pegunungan di depan, tak akan kembali dengan nyawanya!"
Beberapa orang kemudian mengganti sesembahan mereka; mereka mulai giat pergi ke sungai untuk menyembah batu-batuan, rerumputan, pepohonan, ikan-ikan, katak dan ular, belalang, semut, kadal, dan segala yang tersedia di sungai tersebut, dan ini terlihat begitu serius karena orang-orang tadi mulai membangun tembok agar tidak ada seorang pun yang mampu menyentuh air sungai keramat kecuali untuk keperluan sembahyang. Dalam waktu yang tak berapa lama, sungai itu berubah menjadi kuil dan tentu saja kuil yang terlihat begitu aneh, karena di balik lantai papan kayunya terdapat air sungai yang mengalir begitu jernih dan deras.
Agama baru ini, bagiku sendiri, sangat membuat repot. Agama baru yang tak perlu hanya karena ketidaktahuan orang-orang tentang sumber kematian para lelaki asing tadi. Sebagian besar anggota keluargaku memilih patuh pada wejangan para sesepuh dan ikut pergi ke kuil baru tersebut. Aku sendiri yang tidak pernah tertarik untuk ikut dan malah merasa jengkel karena tanpa sungai itu, kini kami harus mengusung air dari lokasi lain, dari suatu danau yang terletak cukup jauh dari desa agar bisa memenuhi kebutuhan akan air setiap hari. Ini pun harus membayar sejumlah uang karena danau tersebut berada di wilayah yang dikuasai oleh para petugas berwenang.
Pada suatu hari, setelah tahun demi tahun tak lagi ada orang asing yang datang ke desa ini dengan tubuh berlumuran darah, tinggallah aku yang masih menyembah Tuhan lama. Orang-orang sini yakin sebetulnya selama tahun-tahun belakangan ini masih saja ada para pendaki (atau apa pun itu, karena kami tak sepenuhnya percaya omongan para polisi korup dan bejat) asing yang mati karena mencoba pergi ke pegunungan dan hutan itu, tetapi tubuh mereka tak bisa memanjat tembok kuil yang panjang dan tinggi hingga mati di seberang sana tanpa pernah kami tahu.
"Bagaimana jika suatu hari nanti anak cucu kita menemukan bahwa di balik kuil ini ada begitu banyak tulang belulang manusia? Tidakkah mereka mengira kita hanyalah makhluk egois yang tak peduli pada nyawa orang-orang tersesat?" tanya seseorang satu ketika.
Tidak ada yang dapat menjawab itu, bahkan para sesepuh yang sedari awal gencar mendirikan agama baru ini dengan disertai ancaman-ancaman mengucilkan siapa pun yang menolak kebenaran versi mereka. Tentu saja akulah yang selama ini tak mendapat keadilan karena hanya aku yang mereka kucilkan. Mengetahui sikap masa bodoh soal kemungkinan adanya jasad para lelaki yang keduabelas, ketigabelas dan seterusnya itu, membuatku angkat bicara.
Aku katakan di depan orang-orang ini, "Jika benar suatu hari nanti anak cucu kita menemukan ada banyak tulang belulang manusia di balik tembok kuil kalian, jangan salahkan jika agama baru kalian mendadak tidak populer. Jangan salahkan jika mereka berpaling ke keyakinan lama, lalu menganggap kalian semua nenek moyang yang tidak patut diikuti. Segala bentuk warisan rohani yang tertinggal di sini sama sekali hilang tak berbekas!"
"Itu hanya omongan orang tak tahu terima kasih sepertimu. Alam atau siapalah itu, yang di luar sana telah membiarkan kita hidup, selagi menghabisi orang-orang asing itu, telah berbuat sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Boleh jadi para pendaki yang dibilang para polisi itu bukanlah pendaki, melainkan para kriminal atau buron yang jelas berbahaya untuk kehidupan para penghuni desa!"
Aku tidak berminat melanjutkan perdebatan. Malam itu juga aku diusir dan sejak itu aku tidak lagi kembali ke desaku. Sungai yang sejak kecil merekam kenangan indah dan terbaik dalam hidupku itu, yang kemudian menorehkan memori buruk soal sebelas manusia asing yang terluka dan mati secara misterius, tetap bertahan di pikiran hingga bertahun-tahun kemudian. Dalam pada itu, aku telah hijrah ke tempat yang jauh, ke kota yang besar dan modern dengan orang-orang yang peduli hanya pada hidupnya sendiri.
Perihal apa yang menyebabkan sebelas lelaki asing tadi terluka dan mati, aku tidak tahu hingga suatu hari, tanpa sengaja kudengar dari seorang yang kukenal di kota besar, bahwa dirinya tak lagi ingin hidup sebagai manusia kota.
"Aku ingin hidup di tempat yang jauh dari sini, di sebuah pegunungan yang sangat terpencil. Banyak yang sudah melakukannya. Kabar ini kudengar dari ahli spiritual yang tempo hari mengadakan seminar di sela waktu sibukku. Orang-orang ini tidak butuh apa pun selain tekad dan keberanian, dan memang itulah yang terjadi. Mereka benar-benar sembuh dari luka masa lalu. Mereka bahkan tidak lagi dapat terluka, karena yang tersisa dari mereka hanyalah arwah-arwah yang tenang dalam keabadian." [ ]
Gempol, 25 Desember 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).