(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 30 November 2018)
Aku tidak pernah bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarku. Sejak dulu kurasa inilah kutukan yang harus kupikul. Tidak tahu kenapa setiap siswa seakan-akan tercipta untuk membenciku di sekolah. Dan setelah lulus lalu mendapat kerja, orang-orang yang berada di sekelilingku bersikap seolah aku tidak ada.
Memang pekerjaanku tidak membanggakan dan itu tidak kusebutkan di sini. Aku bekerja di gedung ternama, tetapi hanya sebagai bagian tidak penting dari sebuah sistem. Status sosial yang biasa saja, ditambah kesulitan bersosialisasi, membuat hidupku terasa sepi.
Kalau dihitung, orang yang pernah menjadi temanku tidak lebih dari tiga. Itu pun salah satunya adalah seekor anjing sewaktu aku masih kelas empat SD, dan sayangnya si anjing sudah mati tertabrak truk beberapa hari setelah kutolong dia dengan sebungkus roti. Anjing itu kelaparan dan kuberi makan, dan kemudian ia mendatangiku selama dua hari berturut-turut demi sebungkus roti bekal makan siangku, lalu kemudian mati begitu saja. Dua teman lain tidak lebih baik dari pertemananku dengan anjing tersebut.
Kenyataan ini membuatku terbiasa berpikir aku diciptakan untuk sebatang kara, untuk tak menyebutnya kena kutukan. Beberapa orang yang tak menerima keanehanku berbisik-bisik soal betapa sialnya kalau mereka dilahirkan sebagai aku.
Aku tak pernah memusingkan itu, tetapi waktu berputar dan membuatku semakin sadar suatu hari nanti aku pasti mati. Suatu saat seseorang tahu bahwa di suatu rumah ditemukan mayat seorang lelaki bernama Mudakir, yang tidak pernah bersosialisasi dan tidak juga memiliki teman. Barangkali mayat itu keburu tidak utuh karena belatung dan semut, atau barangkali mayat tersebut sudah jadi tulang belulang saat orang lain tidak sengaja menemukannya. Aku membayangkan itu sepulang kerja dan mendadak merasa sepi.
"Jika kelak saatku mati aku masih saja sendiri, dan masih saja seperti ini, aku rasa hidupku akan jauh lebih menyedihkan," pikirku diam-diam.
Aku takut kelak kematianku dipandang sebagai debu tak berarti, yang tak ada beda antara aku dengan seekor sapi. Sayangnya, seekor sapi bahkan tidak tahu rasa kesepian. Di kandang-kandangnya, para sapi bisa terus bersama teman-teman mereka. Sedangkan aku?
Ketika suatu ketika berbagai utang memaksaku mengambil keputusan besar, aku terpikir menjual rumah warisan Ayah. Satu-satunya yang mengenalku selain Tuhan dan tiga temanku, tidak lain adalah Ayah. Tetapi, aku dan dia sering bertengkar dan sempat aku bersyukur dia mati lebih cepat ketika itu. Maka, menjual rumah tidak mengundang rasa sedihku. Tidak ada satu pun kenangan di rumah itu. Setelah rumah terjual dan tak ada lagi utang, aku pindah ke rumah yang lebih kecil di sudut lain kota. Semua terjadi hanya dalam waktu tiga hari, tanpa ada tetangga yang peduli.
Di kawasan baru, setelah berpikir tentang kematian dan segala macamnya, lahir pemikiran bahwa aku harus memulai sesuatu yang baru. Aku harus menerobos batasku yang selama ini justru membuatku terkucilkan.
"Sejauh ini kamu tidak pernah mau membuka diri untuk siapa pun," tukas seorang lelaki dalam mimpiku suatu malam.
Yah, aku lumayan sering bermimpi, dan di mimpi-mimpiku, aku adalah orang yang sangat ahli bergaul dan banyak omong. Lelaki yang di mimpiku itu adalah orang yang sudah lama kujadikan teman, sebab hampir selalu dia muncul dalam mimpiku.
"Ya, kurasa begitu. Aku harus membuat pintu di sini," jawabku, dan jari telunjukku segera mencari-cari bagian tertentu di dadaku, dan menggambar pintu di sana dengan pensil.
Lelaki dalam mimpi bersemangat ketika gambar tersebut kuhias dengan cat minyak sehingga di dadaku terdapat semacam pintu yang dapat dilewati oleh semua orang, bila mereka ingin masuk ke tubuhku.
Aku tidak pernah bermimpi aneh-aneh, kecuali berdialog panjang lebar dengan si lelaki temanku di alam mimpi tadi. Dialog-dialog kami pun seputar kehidupan sehari- hari saja, dan tidak pernah melebihi itu. Kepindahanku ke rumah baru, ke lingkungan baru, memberiku mimpi dengan gambar pintu di dada. Kurasa, memang sudah saatnya aku memulai sesuatu yang baru. Sudah saatnya aku mampu bersosialisasi.
Sayangnya usaha ini tidak semudah yang kupikirkan. Lingkungan baru ini dihuni oleh kaum pekerja sepertiku, dengan status menengah ke bawah, dan tentu saja dengan berbagai macam problem yang tidak mungkin beres dengan sekadar membaca mantra.
Kebanyakan dari mereka tidak saling sapa dengan sesamanya, dan aku menyadari, sebagai orang baru, aku merasa sulit menjadi bagian dari mereka. Aku memulai dengan menyapa ketua RT, yang terlihat agak malas dengan usahaku berbasa-basi dengan empat kalimat. Aku tahu aku gagal, tetapi tekadku untuk mengubah nasib jenazahku suatu hari nanti tidak pudar.
"Suatu hari nanti, seorang Mudakir tidak mati sebagai debu. Seorang Mudakir akan mati sebagai manusia," pikirku berulang-ulang.
Sebulan penuh aku mencoba menyapa beberapa orang yang tinggal di sepanjang jalan masuk menuju rumahku, tetapi respons mereka tidak sesuai harapanku. Aku mulai curiga orang-orang ini barangkali dilahirkan dengan nasib yang sama sepertiku; mereka sama-sama memperoleh kutukan sulit dalam hal bersosialisasi, namun tidak satu pun dari mereka mendapat mimpi atau pikiran buruk bahwa suatu ketika mereka pasti akan mati, dan mereka tidak dapat mengurus jenazah mereka sendiri.
Jelas aku mulai frustrasi dengan tetangga-tetangga baruku dan merasa barangkali memang selamanya aku akan terus begini: sulit bergaul dan tidak memiliki teman lebih dari tiga, yang salah satunya adalah seekor anjing kelaparan. Keadaan ini membuatku tak bergairah dan berjalan pergi-pulang ke tempat kerjaku dengan melamunkan apa pun yang tak mungkin terjadi. Misalnya, aku melamun pada suatu hari menikahi gadis manis yang memiliki banyak teman.
Kegiatan melamun ini lumayan mengusir rasa kecewa terhadap tetangga-tetangga baruku yang enggan membuka pintu di dada mereka, ketika kuputuskan membuka pintu di dadaku untuk semua yang mau berteman denganku. Aku sudah malas mengetuk tiap pintu dan mencoba berbasa-basi untuk kemudian ditolak. Aku biarkan saja hidupku hari ini akan tetap sama dengan hari-hari sebelumnya. Jadi, kegiatan melamun segera masuk ke jadwal harian yang secara tidak sadar mengontrol gerak laku tubuh dan alam bawah sadarku. Aku merasa melamun seakan-akan bagaikan bernapas.
Di salah satu kesempatan melamun, ketika melangkah melintasi jalanan menuju ke rumahku, aku menyadari seseorang mengintipku dari salah satu rumah yang sejauh ini belum kudatangi. Orang itu tentu tidak kukenal, tetapi ada semacam pikiran di kepalaku bahwa mungkin takdirku berbalik setelah mengenal orang ini. Aku merasa kebiasaannya mengintip ketika aku berjalan melintas, adalah caranya membuka diri untukku.
Aku tidak lantas senang. Aku belakangan sering kecewa lantaran sikap semua tetangga baruku. Maka, sosok asing yang mengintip dari jendela di salah satu rumah itu tidak langsung kuhampiri. Hampir setiap sore, sejak pertama aku sadar ia mengintipku, aku mulai menikmati sensasi diamati seseorang yang ingin menjadi teman atau bahkan lebih dari itu?
"Mungkin memang beginilah caranya. Mungkin orang ini yang terbaik dari seluruh orang yang tinggal di kawasan sini. Mungkin, jika aku lebih akrab dengan Pak RT atau Pak Johan, yang botak dan gendut dan seakan lupa cara tertawa itu, belum tentu mereka orang baik dan sesuai dengan harapanku," kataku pada diri sendiri.
Aku mulai bersemangat dan yakin tentang kesungguhan orang ini. Aku tahu, hanya butuh kurang dari dua minggu, kuputuskan orang ini layak mendapat apa yang ia kejar. Barangkali ia juga kesepian sepertiku, dan barangkali ia juga berpikir suatu hari nanti ia mati dan tidak mau jenazahnya nyaris tidak dikenali hanya karena tidak ada orang lain tahu betapa ia tidak berinteraksi dengan dunia luar selama beberapa waktu. Semua telah cukup jelas. Dan tidak ada lagi basa-basi.
Aku tahu dia perempuan setelah akhirnya dengan sengaja kuhentikan langkah dan menatap langsung tepat ke matanya. Di seberang rumahnya ada lapangan. Akhir pekan, kuhabiskan soreku dengan duduk di sebuah bangku di sana, dan melihat si perempuan kembali mengintip.
Aku bangkit dan menyeberang jalan, kemudian mengetuk pintu rumah itu seperti kebiasaan baruku ketika pertama tinggal di sini. Tidak ada jawaban. Aku ketuk sekali lagi, tetapi kemudian menyadari ada tombol bel di salah satu sudut teras.
Aku tidak tahu kenapa perempuan ini tidak juga membuka pintu rumahnya setelah bel kupencet belasan kali, dan akhirnya yang dapat kupikirkan adalah: dia terkejut dan belum sepenuhnya siap dengan pertemuan ini. Aku harus memahami perasaan orang yang sama sepertiku, yang susah bersosialisasi namun mendadak mendapat kesempatan berteman. Aku sebenarnya juga gugup. Maka kuputuskan esok aku kembali dan kukira pada saat itu si perempuan akan dapat membukakan pintunya.
Tetapi, esoknya, setelah lebih dua puluh kali bel kupencet, si perempuan tidak juga keluar. Dengan keberanian yang muncul secara tiba-tiba, kudorong pintu tersebut yang ternyata tidak terkunci.
Pada saat itu kepalaku pusing oleh bau-bauan tidak sedap dari arah belakang, tetapi dengan tetap menjaga sopan santun, kuucap kata permisi beberapa kali. Karena tidak juga ada yang menjawab, aku terus melangkah sambil terus mengucap kata permisi, hingga setiba di depan pintu kamar yang terbuka, aku tahu apa yang kulihat barangkali hanya mimpi buruk. Barangkali, pada suatu hari yang dulu, ada perempuan kesepian yang berharap jenazahnya tidak terlupakan karena hidup sebatang kara tanpa teman. Hanya saja, harapan itu tidak pernah terwujud. [ ]
Gempol, 8 Oktober 2017 - 21 November 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).