Skip to main content

[Cerpen]: "Penghuni Tetap Apartemen Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 25 November 2018)
 
    Aku sudah pindah ke apartemen tua ini sejak seminggu yang lalu, tapi sampai saat ini belum seorang pun kutemui, kecuali si penjaga gedung yang tidak pernah membalas sapaanku selain dengan cara kurang ramah. Si penjaga gedung itulah satu-satunya yang tinggal di sini selain diriku dan aku pun sadar betapa di bangunan tiga tingkat ini yang bisa kuajak bicara hanya diriku sendiri.
    Aku memang sengaja pindah ke lokasi yang jauh dari keramaian. Ini membantu pekerjaanku sebagai pengarang. Aku punya uang, tapi memilih apartemen yang, konon kata teman-teman, busuk. Aku tidak percaya rumor. Ternyata apartemen ini, sekalipun tua, dirawat oleh si pemilik dan penjaga dengan sangat baik.
    Kubilang pada teman-temanku, "Tempat ini jauh lebih baik ketimbang tempat yang kalian tawarkan."
    Penjaga itu bekerja lebih dari dua puluh tahun, demikianlah kata si pemilik gedung ini ketika kami bertemu empat hari sebelum kepindahanku. Pemilik gedung ini sendiri mengaku tidak benar-benar akrab dengan segala yang ada di lingkungan aprtemennya, tetapi karena suatu kewajiban moral, sebab gedung ini diwarisinya dari almarhum ayah yang dia hormati, dia rawat tempat ini dengan baik.

    Jadi, meski hanya aku seorang yang secara teknis menyewa gedung ini, aku tidak merasa hidup sebagai lelaki aneh. Aku malah sering memikirkan soal si penjaga gedung yang kemungkinan belum menikah, karena aku sering melihat laki-laki paruh baya itu duduk di kantor di lantai satu, dengan menonton TV yang menayangkan acara-acara tak bermutu, bahkan di jam-jam yang mestinya bisa membuat seseorang pergi berkencan atau makan malam entah dengan perempuan mana. Ketika kusapa lelaki itu, hanya suatu kesan tentang kebosanan dan hasrat ingin bunuh diri yang kutangkap.
    Aku tidak tahu apakah benar seorang penjaga gedung yang kesepian seperti dirinya benar-benar akan melakukan bunuh diri, tetapi raut wajahnya terlihat jauh dari bahagia. Aku menduga, kalau bukan karena melajang sampai tua, orang ini tidak pernah sukses dalam menjalin hubungan dengan wanita mana pun.
    Tentu saja, aku hanya bisa menduga-duga. Aku tidak terpikir menyapa si penjaga gedung secara rutin dan mengakrabkan diri dengannya. Dan dari keseluruhan pikiranku soal lelaki itu, tidak lain hanyalah tentang rasa iba.
    Aku sendiri disibukkan dengan target menulisku, sehingga urusan menyapa orang yang tidak berminat menanggapi sapaan penghuni anyar sepertiku dengan balasan yang pantas, tidak membuatku pusing. Aku berlalu begitu saja dan masuk naik ke lantai dua di mana aku tinggal untuk segera bekerja.
    Setiap pagi aku melihat penjaga gedung itu di kantor, atau kalau tidak, di sebuah taman yang terletak persis di dekat gerbang. Aku berlari pagi untuk menjaga kebugaran. Ketika kami berpapasan dan secara kebetulan aku tak berminat menyapa siapa pun, dia bahkan tidak berhasrat menyapaku yang sudah pasti dia ketahui sebagai penghuni baru. Dengan kata lain, kami dua orang yang tinggal di satu bangunan, yang memilih untuk tidak terkoneksi.
    Bagiku itu bukan masalah. Aku toh banyak menghabiskan waktu demi tulisanku dan pergi ke luar mencari inspirasi setiap jam 4 sore hingga malam. Ketika malam tiba, aku membaca buku sampai ketiduran. Begitulah jadwal harianku.
    Tidak ada seorang pun di bangunan ini selain diriku dan si penjaga gedung, secara lucu memberiku semacam izin ilusi, yang mana kubayangkan seolah-olah pemilik dan penjaga gedung ini menghadapku dalam suatu obrolan, dan mereka berkata dengan nada santai, "Anda boleh berkeliling dari satu sudut ke sudut lain di seluruh lantai di gedung ini."
    Godaan untuk jalan-jalan dan mencoba membuka beberapa pintu apartemen lain di gedung tua ini mulai menjangkitiku saat masuk hari keenam. Tapi, saat itu aku tak bisa menemukan satu pintu pun yang tak terkunci. Pada akhirnya, aku berkeliling dari satu lantai ke lantai lain, dari satu belokan ke belokan lain, dan menemukan banyak tempat untuk duduk dan menulis.
    Di hari kedelapan, aku menemukan suatu spot yang cukup unik, yakni bar dengan rak-rak berisi ratusan botol dan kaleng minuman. Aku mendapat ide yang brilian dan segera duduk di sebuah sofa untuk menggarap naskah novel terbaruku. Kudaras kata demi kata tanpa peduli sekitarku. Saat haus dan aku bangkit untuk mengambil minum, seseorang menyapaku dengan cara yang mengejutkan.
    Orang itu muncul dari belakang, dengan posisi membungkuk seakan selama aku menulis, dia membaca apa yang kukerjakan. Aku tidak pernah kenal wajah itu, tetapi mungkin dia orang baru. Kututup laptop dengan kesal dan berkata, "Saya belum pernah melihat Anda."
    "Oh, ya? Aku sudah beberapa tahun tinggal di sini," kata perempuan muda itu.
    Aku katakan bahwa pemilik gedung menjelaskan kepadaku seminggu sebelumnya, bahwa di sini tidak ada penyewa selain diriku. Perempuan itu tertawa dan meminta maaf, dan segera mengakui bahwa dia adalah anak dari si penjaga gedung.
    "Rumahku ada di seberang bangunan ini," tambahnya, setelah aku terdiam sejenak, karena tak benar-benar yakin penjaga gedung yang buruk rupa itu memiliiki anak gadis secantik ini.
    Perempuan itu berjalan ke sebuah jendela lebar di ujung bar, dan menunjuk rumah di seberang jalan. Dia bilang, di sanalah dia tinggal, sejak bayi dan bahkan sejak dia masih dalam rahim ibunya. Ibunya meninggal ketika melahirkannya, jadi sejak kecil dia dirawat oleh ayahnya.
    "Maafkan kalau Ayah tidak terlalu ramah menghadapi orang. Sejak orang yang dia cintai tiada, sikapnya memang aneh. Dulu Ayah punya banyak teman. Sekarang, siapa sudi?"
    Aku mengucapkan suatu bela sungkawa, yang bukan sekadar basa-basi, sebab aku menyadari dugaan-dugaanku pada si penjaga gedung sebelumnya sangat jauh dari fakta yang ada. Aku merasa sedikit bersalah dan rispek pada keluarga ini.
    Setelah itu, kami pun mengobrol panjang lebar. Perempuan itu menyebutkan nama, dan aku pun demikian. Dia mengaku sangat sedih melihat kondisi gedung apartemen tua ini yang berada di ujung tanduk. Sebentar lagi bakal gulung tikar, demikianlah yang dia takutkan.
    "Saya pikir, tempat ini bersih dan bagus," kataku. "Apa kiranya yang membuatnya tidak terlalu laku?"
    "Tempat busuk dan segala macam. Itulah yang Ayah katakan. Orang tidak terlalu berminat menyewa gedung ini karena rumor. Aku tidak tahu siapa yang memulai, tetapi kurasa sudah terlambat mengembalikan semuanya seperti dulu."
    Perempuan itu pun menjelaskan, ketika dia masih kecil, taman di dekat gerbang itu tidak sesuram yang hari ini terlihat. Dulu ada banyak anak kecil yang tinggal di gedung ini. Dia punya banyak teman dari anak-anak para penyewa gedung, sebab tidak pernah sekali pun didaftarkan ke sekolah umum.
    "Ada sesuatu yang beda, kata dokter, jadi aku tidak bisa masuk ke sekolah-sekolah biasa seperti anak lainnya. Aku bersyukur masa kecilku bisa bahagia. Ada begitu banyak teman di sini," jelasnya.
    Kami berjalan kembali ke lantai satu sambil terus membicarakan soal gedung ini dan nasibnya yang di ambang kepunahan. Aku tidak tahu apa benar begitu, sebab yang kulihat dari ekspresi wajah si pemilik gedung ketika kami bertemu, tak ada kesan bahwa gedung ini bakal dijual atau bagaimana. Yang kutangkap dari wajah lelaki itu hanyalah kesan bahwa tempat ini akan dia pertahankan sekuat mungkin. Aku tidak benar-benar tahu.
    Kubilang padanya, bahwa jangka waktu sewa setahun yang kuambil ini mungkin akan membuat gedung ini kembali hidup seperti dulu. Mau tidak mau, aku mengakui keberadaanku di sini adalah karena pekerjaanku sebagai pengarang.
    "Saya bisa menulis tentang tempat ini di koran-koran. Saya rasa itu cara promosi yang bagus," kataku mencoba menghiburnya.
    Perempuan itu mengucap terima kasih.
    Setelah tiba di depan pintuku, kami berpisah, dan aku menjalani jadwal harianku seperti biasa.
    Sampai beberapa hari kemudian aku tidak bertemu perempuan itu, padahal aku ingin memberinya kejutan. Sebuah koran lokal memuat tulisanku soal gedung ini. Aku mencari perempuan itu di bar di lantai tiga, tetapi tidak ketemu. Ketika aku tanyakan kepada ayahnya, orang itu bukan menyahutiku, melainkan pergi dengan raut wajah yang sulit kudeskripsikan.
    Mungkin dia membenci anaknya setelah istri tercintanya meninggal. Aku tak tahu bagaimana istrinya meninggal. Kukira kejadiannya sudah pasti mengerikan, sehingga membawa pengaruh ke hubungannya dengan sang putri.
    Tentu saja, kondisi ini membuatku paham betapa pertemuanku dengan perempuan itu sama sekali tidak dipedulikan oleh si penjaga gedung. Di hari perkenalan kami, Mia, demikianlah nama perempuan itu, mengatakan bahwa ayahnya hanya pulang ke rumah mereka sesekali untuk memeluk selimut yang dahulu dipakai orang tercintanya sebelum tiada. Sorenya, setelah pulang dari taman kota, aku mampir ke rumah Mia, tanpa sang ayah ketahui. Aku masuk setelah menemukan pintu depan terbuka dan tak terkunci. Aku ucapkan salam berkali-kali, namun tidak ada yang menjawab. Karena tidak ada seorang pun, aku putuskan menunggu di ruang tamu.
    Ruang tamu ini penuh dengan pigura berisi foto perempuan itu. Aku tidak melihat foto ibunya. Hanya foto-foto dia dan sang ayah. Sampai saat itu aku belum sadar bahwa di antara pigura-pigura foto itu, ada salah satu bingkai yang menyimpan potongan koran lama. Ketika menemukan itu, aku tidak yakin kembali ke gedung apartemenku, sebab di koran lama itu tertulis berita kematian seorang anak gadis, yang bunuh diri di bar lantai tiga sebuah apartemen gara-gara patah hati.
    "Sampai detik ini, arwahnya selalu menjadi rumor yang mencegah kedatangan tiap orang," bisik seseorang di belakangku.
    Aku terperanjat dan menoleh, dan mendapati wajah penjaga gedung bercucuran air mata.
    "Kecuali Anda, tentu saja, yang belum tahu tentang ini. Dan saya harap, Anda tidak seperti orang-orang itu," tambahnya sebelum memintaku angkat kaki dari rumahnya. [ ]
  
    Gempol, 2017-2018
  
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri