(Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 18 November 2018)
Di seberang jalan tempat bengkel saya berdiri, ada kios pulsa yang baru dibuka dua minggu lalu. Penjaganya gadis bermata bening, dengan rambut sebahu. Meli namanya. Dia datang dari luar kota dan bekerja di sini karena problem keluarga yang tidak saya ketahui.
Meli cantik. Seandainya saya bujang, sudah saya dekati dan saya nikahi dia. Hanya saja, sebagai gadis, ia terlalu sedikit bicara. Yang keluar dari bibirnya tidak pernah lebih dari transaksi pulsa. Lain-lain, jangan harap keluar.
Seandainya Anda suka bicara dan memancing obrolan, barangkali Anda kecewa saat menghadapnya. Cuma sedikit pemuda yang tertarik pada Meli, yang lama-lama jadi tidak ada sama sekali. Bahkan ada gosip yang menyatakan gadis itu sudah gila. Itulah yang membuat para pemuda mundur satu-satu.
Saya tidak percaya. Kalau Meli gila, mana mungkin dipercaya pemilik kios untuk menjaga kios pulsa? Dan kalau benar gosip itu, yang membuatnya masuk akal hanyalah: gadis itu sendiri pemilik kios tersebut.
Sejauh ini yang saya dengar dari rekan montir atau bos saya, bangunan tempat kios itu berdiri adalah milik lelaki keturunan Arab, Pak Abdul namanya, dan belum pernah dijual atau disewakan ke siapa-siapa. Kemungkinan kios itu milik orang yang sama juga. Kenyataan ini membuktikan kalau Meli waras. Seseorang tak mungkin memperkerjakan orang sinting di mana pun. Dan Anda tidak membiarkan orang gila berkeliaran di toko Anda!
Saya membela Meli, meski kami tidak saling kenal. Dia tidak gila, dia tidak gila, itulah yang terus menerus saya gaungkan di antara para pekerja bengkel. Jangan-jangan, Meli tidak tahu nama saya? Itu tidak penting. Saya hanya lega karena pikiran soal Meli yang waras selalu menang. Teman-teman di bengkel yang menganggap Meli gila, tahu prinsip saya ini, dan tidak berani membantah.
"Bilang saja suka, Mas!" celetuk salah satu teman.
Saya tak memungkiri, saya suka memperhatikan si gadis etalase dari bengkel kami. Tapi, saya tidak berpikir sejauh itu untuk bermain api dengan Meli. Kalaupun ada niatan, saya tidak yakin berhasil.
Meli seperti pulau misterius yang dihuni monster dan hantu-hantu jahat, yang tidak ada seorang pun sanggup ke sana. Sebelum tiba, lebih dulu mati. Lagian, saya mencintai istri saya dan tidak akan selingkuh. Saya hanya sebatas mengagumi kecantikan Meli.
Teman saya paham dan menepuk pundak saya. Ia bilang, sebenarnya ia juga tidak percaya Meli itu gila dan berharap gadis cantik itu memang tidak gila. Sayangnya, gila atau tidak, begitu kata teman saya, ia tidak akan menyukai gadis tertutup seperti itu.
"Bayangkan, gadis pendiam itu pacar kita. Ini kalau Mas belum kawin, ya. Coba bayangkan secara liar, kita punya pacar seperti Meli itu dan kita belum kawin. Pendiam, kerja di tempat bekas sarang hantu, dan kemungkinan pernah jadi simpanan Pak Abdul. Apa enaknya?"
"Hush! Jangan sembarangan. Pak Abdul orang baik-baik, Her."
"Ini 'kan cuma berkhayal. Bukan sungguhan!"
Berpacaran dengan perempuan sediam dan sebeku Meli sudah pasti membosankan. Ia tidak membicarakan apa pun, kecuali transaksi pulsa, meski disodori berbagai bahan candaan oleh salah satu pelanggan yang biasa beli pulsa seminggu terakhir. Kami tahu akhirnya si pemuda menyerah. Tak lagi ada yang menggoda atau mengajak bercanda.
"Gadis robot begitu," kata mereka, "tidak seru!"
Sulit membayangkan masalah apa yang menimpa keluarganya hingga Meli hijrah kemari dan menjadi sekaku robot. Ia kerja sendirian di balik etalase, dan dengan cekatan melayani banyak pembeli pulsa. Sesekali sabar menangani pelanggan renta yang tidak membawa kacamata; memperbaiki kartu SIM yang tidak beres posisinya agar terbaca di ponsel, misalnya.
Kegiatan bengkel yang padat tidak selalu membuat perhatian saya tersita oleh Meli. Kadang saya tidak memperhatikannya, karena fokus menyelesaikan pekerjaan. Ketika istirahat dan ingat tempat di seberang jalan sana berubah oleh hadirnya kios pulsa, saya membuang pikiran tempat itu pernah berhantu. Alangkah sedih bagi Meli. Sendiri, tanpa teman, dan ada hantu di sana. Gadis itu pantas mendapat yang lebih baik dari sekadar itu.
Dulu sebelum didirikan kios pulsa, tempat itu berupa dua bangunan ruko dengan lantai tiga. Selalu sepi dan tidak dihuni. Orang menganggap tempat itu sarang hantu. Mendadak, dua minggu lalu beberapa orang lelaki, buruh yang biasa saya lihat kerja di pasar dekat perempatan kawasan ini, mengangkut dua etalase dan si lelaki Arab menata keperluan untuk kios pulsa. Meli datang esoknya dan sejak itu ia tidak pernah ditemani oleh siapa pun.
Meli selalu duduk di balik etalase dan menunduk, memperhatikan sesuatu di bawah sana yang entah apa. Mungkin membaca novel favoritnya atau jangan-jangan menekuni pigura berisi foto anggota keluarganya? Tak ada seorang pun pembeli pulsa bisa, bahkan yang anak-anak SD (setelah saya sogok dengan uang lima ribu), untuk mencari tahu apa sesuatu yang dia pandangi di bawah etalase itulah yang menyebabkan Meli pindah ke kota ini?
Saya dua kali beli pulsa dan belum tahu apa yang membuatnya selalu menunduk. Saya tidak yakin dia tahu, bahwa saya, salah satu pembelinya, kerja di bengkel seberang. Saya kira, tidak ada yang lebih penting baginya selain sesuatu di bawah itu, sehingga seluruh perhatian Meli tersita ke sana. Mungkin benda itu satu-satunya yang membuat Meli bertahan.
Saya kembali membayangkan seandainya saya belum jadi suami orang, atau waktu mundur beberapa tahun dan segalanya kembali seperti ketika saya bujangan, hanya Meli beserta kios pulsanya yang tidak terpengaruh waktu, saya akan bantu dia. Akan saya datangi dan saya tanyai, "Ada apa?"
Mungkin saya bisa memberinya penghiburan, dengan usaha-usaha yang lebih dari melempar candaan. Usaha itu: mengajaknya makan di tempat bagus dan bicara dari hati ke hati. Saya yakin bisa kalau itu terjadi.
Tapi itu tidak mungkin. Tuhan saja tidak pernah bermain dengan waktu. Ini bukan film fantasi dan tidak ada hidup yang disulap dengan satu gerakan tongkat abrakadabra. Tidak ada khayalan itu. Tidak ada waktu mundur atau waktu berhenti kaku bagai batu. Saya sadar, hingga detik ini, Meli tetaplah gadis yang tidak tersentuh apa pun, bahkan nyawanya seakan tak berhasil memeluk tubuh kurusnya. Ia benar-benar terlihat seperti robot.
Teman saya bercanda. Katanya, barangkali si gadis etalase—itulah julukan yang saya sematkan pada Meli, tanpa izin—adalah hantu. Ia kira hantu itu sukses membodohi manusia, termasuk saya dan dia, sehingga orang-orang berpikir seorang gadis mungkin menderita penyakit saraf akibat keluarga di kampung halaman sana tertimpa masalah.
"Jadi, hantu itu seakan manusia," kata teman saya, "dan kita pikir memang manusia, padahal bukan."
"Tidak lucu," kata saya.
Saya kira Meli hanya seorang gadis biasa yang belum menemukan solusi. Di dunia ini ada banyak manusia dan setiap manusia memiliki masalah. Kita tidak punya masalah di luar kesanggupan. Tuhan tahu dan memberi manusia masalah sesuai dengan porsinya. Anak kecil tidak boleh minum obat setara orang dewasa, karena berbahaya. Sebaliknya, orang dewasa tidak cukup minum obat dosis bocah TK. Mungkin Meli masih berpikir dan menemui jalan buntu. Jadi, itulah kenapa ia tetap diam.
Kalau saya belum memiliki istri, apa yang saya lakukan? Saya datang dan meminta Meli menerima saya sebagai pacar. Tidak peduli ia diam kaku tak menanggapi kalimat itu. Kamu harus jadi pacarku, kata saya lagi. Lalu usaha untuk membunuh masalah saya kerjakan. Sebutkan masalahmu, Meli, kamu sekarang resmi jadi pacarku. Pemerkosaan? Hamil di luar nikah hingga memaksamu aborsi? Ayahmu tertangkap karena korupsi di kantornya? Atau apa? Ibumu selingkuh dan ketahuan, lalu kalian diusir ayahmu? Apa? Katakan!
Sayangnya, itu sebatas khayalan.
Pelanggan bengkel tidak lebih sedikit dari pembeli pulsa di kios Meli. Saya lebih banyak menghabiskan waktu berpikir ketimbang mengamatinya diam-diam. Gadis yang menjaga kios itu, tempat berupa dua etalase berjajar dengan peneduh bergambar iklan satu provider, sesekali melempar pandangan kemari, bila tidak ada pengunjung. Tapi itu jarang. Ia sering menunduk dan 'mengerjakan' hal yang entah apa di balik etalase yang tertutup.
Gosip soal Meli yang gila baru hilang ketika di minggu keempat Pak Abdul datang dan membawakannya sekotak ayam goreng. Meli menerimanya dengan wajah kaku, dan bilang terima kasih. Pak Abdul pergi dan semua sepi seperti biasa. Kini, orang berganti arah: mereka menuduh Meli selingkuhan Pak Abdul. Lagi-lagi saya bantah. Ah, kalian selalu mencari aib. Lebih baik ambil cermin dan bereskan kotoran di mukamu!
Saya tidak percaya ada permainan antara Pak Abdul dan Meli. Saya hanya percaya Meli seorang gadis dengan masalah yang jauh di belakang, dan ia tidak berani menoleh untuk melihat sejauh mana masalahnya terurai. Itu tentu tidak terjadi, karena masalah tidak terurai kalau bukan kita yang mengurainya.
Memasuki bulan kedua, gadis etalase semakin dikenal karena kekakuan dan sikap serupa robotnya. Pembeli pulsa tidak peduli; mereka datang dan membayar lalu pergi. Tidak ada sapa, tidak ada basa-basi—kecuali terima kasih. Formalitas belaka, kata kaum bos. Meli ada ataupun tidak, akan sama saja di mata orang. Barangkali saya saja yang tidak merasa sama, tapi, demi Tuhan, saya tidak ingin istri menyalahpahami rasa peduli ini sebagai bentuk penyelewengan. Saya harap, suatu hari masalah Meli hilang, dan ia bisa tersenyum. Gadis itu pantas berbahagia, seburuk apa pun masa lalunya. [ ]
Gempol, 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media.