Skip to main content

[Cerpen]: "Persoalan Teman Lama" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 Oktober 2018)
 
    Jarang-jarang Mudakir mampir ke rumahku seperti sore itu. Ia duduk di kursi teras dan menyapaku begitu mesin motor kumatikan. Aku turun dari motor dan langsung saja menyambut jabat tangannya.
    Kami tetap duduk di kursi teras, karena Mudakir meminta demikian. Sejak tiba ke rumahku sejam yang lalu, istriku memintanya duduk di ruang tamu, tetapi tamu kami ini bersikeras duduk di teras rumah.
    Karena tadi menolak suguhan teh atau kopi sebelum aku tiba di rumah, istri pun ke dapur untuk membuatkan minum. Setelah minuman disuguhkan, aku bertanya apa yang membuat Mudakir berubah?
    Teman lamaku itu menunduk malu, karena selama ini kami jarang bertemu meski rumah kami tidak terlalu jauh. Aku sering mampir ke tempat Mudakir, sekadar ingin ngobrol atau mengajaknya mancing ketika libur, tetapi dia sering kali tidak sempat atau tidak ada di rumah.

    Atas pertanyaanku, Mudakir mungkin sungkan. Keberadaan kami sebagai teman lama sama sekali tidak terlihat begitu, karena segala kesibukan dan alasan-alasan lain yang membuatnya tak pernah dapat menemuiku. Ia pun dengan jujur mengakui mampir ke rumahku sore ini demi sebuah keperluan.
    "Aku tahu aku bukan teman yang baik," katanya, "tetapi aku tidak tahu lagi harus ke mana."
    Kukatakan pada Mudakir bahwa keadaan di antara kami selama dua tahun terakhir ini tidaklah jadi soal. Aku memaklumi kesibukannya sebagai pegawai suatu perusahaan asuransi, sehingga kami bahkan tak lagi dapat nongkrong seperti dulu. Lagi pula kami sudah bukan anak muda lagi. Kami sudah berkeluarga dan kegiatan nongkrong memang sudah sepatutnya agak dikurangi demi keluarga masing-masing.
    Mudakir hanya menunduk malu dan tampaknya gesture ini sulit berubah, karena ia belum benar-benar menyampaikan masalahnya. Tetapi, bahkan setelah dia bercerita soal pengurangan pegawai di kantornya yang bangkrut akibat tersandung persoalan hukum, ia tetap saja menunduk. Rasa-rasanya, aku dapat melihat air mata Mudakir yang coba ia sembunyikan, tetapi aku berpura-pura untuk tidak melihatnya menangis. Kedatangannya kemari sore ini berkait masa depannya. Istri Mudakir sedang hamil, dan ia tidak mampu mengaku pada sang istri kalau sudah dua hari ini ia menganggur.
    "Kiranya ada sesuatu yang dapat kukerjakan, Bung," katanya pelan.
    Aku tidak dapat menjawab apa-apa selain memberinya semangat dan motivasi agar dia tetap fokus. Di luar sana ada banyak peluang kerjaan untuk orang yang usianya tak setua Mudakir. Tetapi, agaknya teman lamaku ini bingung, karena dia bukannya datang untuk sekadar meminta saran, tetapi juga peluang-peluang.
    Aku mafhum. Persoalan Mudakir bukan hanya mengganggur, tapi juga memiliki kemampuan serba terbatas. Pekerjaannya di perusahaan asuransi tidaklah berhubungan dengan hal-hal yang menyita pikiran. Aku tidak bertanya lebih lanjut tentang deskripsi pekerjaan tersebut sebelumnya, namun tanpa dia bercerita lebih detail pun, aku dapat menebak-nebak bahwa perkerjaan Mudakir yang sebelumnya tak setinggi yang selama ini dia ceritakan.
    Yang kutahu sebelum ini, Mudakir kerja di kantor asuransi dengan gaji yang tinggi dan kedudukan berpengaruh. Itu cerita kudengar di mana-mana dan aku sendiri tidak berpikiran apa-apa. Aku hanya percaya teman lamaku yang terkenal suka membolos dan tidak disiplin ini sudah pasti berubah drastis sejak menikah. Saat kuliah, mungkin ia masih tidak serius pada hidupnya sampai-sampai drop out. Tetapi, kupikir lain persoalan setelah menikah.
    Rupanya kisah kesuksesan di kantornya bualan belaka. Mudakir mengakui itu, dan kini butuh bantuan. Sebelum datang padaku, dia ditolak beberapa teman semasa kuliah dan sekolah, karena ucapan-ucapannya yang selalu meninggikan diri. Karena tidak tahu harus ke mana lagi, dia pun datang kepadaku.
    Aku, yang tidak pernah berpikiran buruk kepada Mudakir, meski kini tahu betapa semua yang dia banggakan adalah palsu, tetap menganggapnya teman lamaku. Kubilang padanya, "Kucoba semampuku."
    Sejak itu, Mudakir sering mampir. Butuh seminggu sampai dia dapat kerjaan di kantor periklanan tempatku kerja. Ternyata usaha membantu Mudakir tidak sesederhana yang kupikir. Dia diberhentikan perusahaan asuransi sebagai petugas kebersihan adalah karena kedapatan mencuri uang perusahaan. Jadi, soal perusahaannya yang bangkrut itu tidak benar. Ia tidak diseret ke kantor polisi, tetapi dapat sangsi pemecatan dan riwayat kelakuan buruknya tercatat di asosiasi pekerja hingga membuat pria itu sulit mendapat pekerjaan baru.
    Saat mengetahui perihal ini, aku hanya dapat berkata, "Sebaiknya kau katakan apa pun yang perlu kau katakan."
    Mudakir meminta maaf dan bersumpah, selain yang sudah kuketahui, tak ada lagi rahasia yang dia sembunyikan.
    Atasanku memiliki perasaan dan pikiran positif bahwa Mudakir mungkin saja bisa berubah, sehingga akhirnya temanku pun mendapat pekerjaan di tempat kami. Mudakir tidak lagi memberi jarak padaku seperti dulu begitu bekerja di tempatku. Ia pun juga tidak lagi bersikap tinggi hati sebagaimana yang sudah-sudah. Ketika suatu sore mata Mudakir tampak memerah, kuajak dia pergi ke kantin dan bertanya ada apa lagi?
    Mudakir enggan menjawab, tetapi setelah kudesak, dia pun bercerita. Istrinya yang tidak lama lagi melahirkan, memintanya cerai. Aku tidak tahu ada masalah apa lagi di hidup temanku ini.
    Mudakir tidak menjelaskan secara mendetail, dan hanya berkata bahwa dialah yang salah dan layak mendapatkan semua ini. Selama dua hari berikutnya, Mudakir tak pergi kerja, dan sepulang kerja di hari ketiga aku menemukannya duduk di warung dekat terminal dengan ekspresi orang kebingungan.
    Pada saat itu Mudakir mengaku, ia bermain mata dengan penyanyi dangdut amatir di kafe remang-remang, dekat rumah teman bekerjanya di tempat lama. Ia keterusan dan berselingkuh dengan penyanyi amatiran itu. Begitu istrinya tahu, tentu saja, perempuan itu meminta hubungan mereka diakhiri.
    Setelah mengakui itu, Mudakir lagi-lagi menunduk sebagaimana dulu ketika kami bertemu di teras rumahku pada sore hari. Hanya saja, kali ini Mudakir tidak memintaku saran atau bantuan. Ia hanya meminta padaku agar terus mengingatkannya jika saja dia keluar dari jalan yang lurus.
    "Aku tidak tahu, Kir," kataku dengan putus asa. "Kita sama-sama telah dewasa dan kupikir kau sendiri pasti tahu segala yang kau perbuat pasti ada konsekuensinya."
    Mendengar itu, Mudakir hanya diam seribu bahasa. Tentu saja dia menangis, tetapi tidak lagi menyembunyikan air matanya seperti dulu. [ ]
   
    Gempol, 2014-2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri