(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 23 September 2018)
Bertahun-tahun yang lalu aku sering melihat maling dihajar masa; sebagian mereka selamat karena polisi datang tepat waktu, tapi beberapa meninggal di tangan warga yang terbakar emosi. Aku tidak ingin menceritakan soal itu, tapi mungkin saja kematianku di suatu tempat jauh lebih buruk dari itu.
Aku membayangkan beberapa orang menghajarku tanpa ampun. Di tanah terbuka, mereka menyerangku dari berbagai arah. Mereka tidak peduli seberapa besar sakit yang kuderita akibat serangan-serangan ini, sehingga kubayangkan kepala para penghajarku sama sekali kosong.
Orangtuaku pernah berpesan, "Kelak, jika kau benar-benar membiarkan kepalamu kosong, segala hal buruk dan menjijikkan terasa wajar dan batas-batasmu—batas-batas kemanusiaanmu—menjadi tidak ada."
Waktu itu aku tidak paham kalimat tersebut, tetapi hari demi hari, hidup di dunia keras mendidikku memahami secara utuh maksud nasihat mereka. Maka, demikianlah kubayangkan orang-orang yang kelak menghajarku sampai mati, ketika melakukan itu, kepala mereka benar-benar kosong.
"Aku benar-benar mati dihajar seakan diriku ini bukan manusia," ungkapku kepada seorang teman dekat.
Dia menatapku heran dan mengira mungkin aku sedang bercanda, tetapi aku tidak ingin tertawa. Pada titik ini, masalahku yang selalu kurahasiakan di mata semua orang, pelan dan pasti mulai terungkap.
Aku sendiri mampu membisu sampai benar-benar mati dan jasadku didorong oleh berpasang kaki ke suatu selokan pada saatnya nanti. Tapi, beberapa mimpi buruk akhir- akhir ini datang dan membuatku tidak tenang.
Satu di antara sekian mimpi buruk itu terjadi di suatu gurun pasir, yang mana pada saat itu aku merasa belum lama tersesat. Ada dua bungkus roti dan setengah botol air keruh di tasku, tetapi seorang pengembara, yang amat kurus, datang padaku dan berkata, "Wahai, manusia kiriman Tuhan, berikan aku segala sesuatu yang dapat kutelan, karena aku percaya hidupku masih bertahan sampai berabad-abad ke depan."
Di dalam mimpi itu, si lelaki pengembara memakan habis rotiku dan juga meneguk seluruh air yang kubawa, sehingga kemudian aku mati. Tapi, sebelum benar-benar mati, aku mencoba memakan tubuhku sendiri. Sedikit demi sedikit cuilan daging dari tubuhku kugerogoti, tetapi itu tidak berhasil. Aku bangun tepat saat ajal di dunia mimpi tersebut merenggutku.
Mimpi seaneh itu datang dalam bentuk beragam, dan semakin ke sini, kurasa setan benar-benar memengaruhiku.
Orang-orang sepuh suka berkata, "Mimpi buruk itu sebenarnya kiriman setan."
Dulu aku tidak percaya, tapi setelah belajar agama, aku pun percaya bahwa mimpi buruk memang kiriman setan. Dari seluruh kiriman para setan ini, beberapa di antaranya terasa keterlaluan sampai membuatku kencing di atas kasur.
Aku tahu, ada saatnya kuungkap rahasia hidupku, yang barangkali kelak bakal bisa menjadi alasan untuk orang-orang, untuk para warga, yang membiarkan kepala mereka mendadak kosong, menghajarku sampai tewas. Rahasia ini tentu memalukan jika diucap begitu saja dalam obrolan santai dan tidak semua orang dapat menerima apa yang akan kukatakan.
Jadi, aku memilih waktu dan siapa saja yang sesuai untuk mendengar ceritaku. Dan dalam hal ini, Mudakir adalah yang terbaik. Dia belajar agama dengan sangat benar dan tidak munafik sepertiku, yang sering kali mengikuti salat berjamaah hanya sebagai cara agar orang-orang menganggapku lurus.
"Sebenarnya," kataku akhirnya kepada Mudakir di suatu sore yang hujan, "aku ini pendosa besar, Bung. Dan kubayangkan kelak akhir hayatku terjadi seperti bukan pada orang-orang kebanyakan."
"Maksudmu?"
"Yah, kubayangkan aku akan mati dihajar seperti maling, yang tidak mendapatkan ampunan sedikit pun dari warga yang menangkapnya. Kubayangkan aku selesai dengan cara seperti itu. Berpasang-pasang tangan dan kaki menyerangku dari berbagai arah, dan tidak ada yang peduli bagaimana rasa sakit yang kuderita. Belum selesai satu kesakitan, muncul kesakitan baru, sehingga sekujur tubuhku benar-benar mati rasa karena terlalu banyak mendapat serangan. Kau tahu, pada akhirnya, aku tewas dengan tubuh terkoyak moyak, dan jasadku didorong begitu saja ke suatu selokan."
Mudakir hanya mengelus dada mendengar penuturan anehku. Memang aneh, tetapi kurasa itulah yang akan terjadi. Aku bahkan sulit mempercayai kenapa muncul pikiran macam ini di kepalaku? Bagaimana mungkin suatu rahasia kecil, yang tertanam sejak aku muda dulu, membuatku mati dengan cara yang paling kutakuti?
"Kurasa kamu butuh mendekatkan diri pada-Nya," tukas Mudakir setelah beberapa menit kami membisu.
"Dan kurasa," sahutku tanpa berpikir, "Tuhan tidak memberiku ampunan apa pun."
Mudakir memintaku berhenti berburuk sangka seperti ini, apalagi kepada Tuhan. Ia mengelus dada lebih keras dan menggumam sesuatu yang tidak dapat kudengar. Setelah mengambil jeda beberapa menit lagi, kusampaikan sebagian mimpi burukku yang patut untuk Mudakir dengar, dan karena mimpi-mimpi itulah aku terpikir untuk membongkar rahasiaku.
"Barangkali, upaya ini tetap tidak dapat membebaskanku dari pengeroyokan warga yang isi kepalanya sama sekali kosong, Bung," kataku dengan pasrah.
"Apa semua ini? Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu."
Mudakir melongo setelah mendengar rahasia itu, yang kututurkan menyusul segala sesuatu yang sempat membuatnya bertanya-tanya. Sekarang, tentu, tidak ada pertanyaan lagi di kepala temanku ini. Dia bangkit dan mengucap salam, sebelum akhirnya pergi ke teras.
Mudakir tidak berhenti saat kuminta ia tetap tinggal di rumahku untuk mendengar lebih banyak, tapi dia bilang, "Datang ke rumahku. Kau butuh pertolongan, dan pastinya ada kesempatan memperbaiki diri."
Aku tidak tahu bagaimana dia bisa berkata begitu, tetapi tidak butuh waktu panjang demi memahami betapa sesungguhnya Mudakir adalah orang yang paling tepat untuk diajak bicara, meski sebenarnya aku takut dia akan marah. Aku takut dia tak memahami bahwa kejadian demi kejadian di kamarnya selama beberapa tahun belakangan adalah karena kehendak istrinya, bukan aku.
Yah, demikianlah. Pengakuan itu telah kuucap langsung, kepada orang yang paling kusakiti atas permainan buruk antara aku dan istri temanku sendiri. Tapi, aku tahu, tidak akan ada sekelompok warga yang menghajarku, melihat sikap Mudakir barusan. Alasan pengakuanku sendiri adalah: aku sudah tidak tahan menimbun terlalu banyak dosa.
Gempol, 2018
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).