Skip to main content

[Cerpen]: "Tujuh Anjing Penjaga" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 19 Agustus 2018)

    Anjing-anjing Bu Meli hilang pagi itu. Sepertinya mereka pergi karena bosan tidak diberi makan enak. Sebenarnya bukan cuma karena makanan yang diberi selalu basi dan tidak enak saja, melainkan juga tidak pernah membuat kenyang.
    Anjing-anjing malang itu hanya diberi wewenang menggonggong di waktu tertentu dan menggeram di waktu tertentu pula, yakni saat malam hari ketika orang sudah pada tidur, dan bukan pada saat jam makan.
    "Itu tugas mereka!" ketus Bu Meli saat seorang tetangga menyayangkan hilangnya anjing-anjing itu.
    Tetangga ini bilang, kalau saja Bu Meli agak perhatian kepada anjing-anjingnya, misal memberi beberapa menu tambahan agar lebih setia, mungkin tidak akan ada cerita kehilangan.
    Para penjaga gerbang rumah dari ancaman maling dan rampok itu barangkali jenuh dan kesal, tetapi tidak tega mencabik-cabik ratu yang seksi sebagai ganti makanan basi. Mereka lebih memilih pergi. Sayangnya, tanpa anjing-anjing, Bu Meli yang janda tidak bisa berbuat apa-apa demi dapat tidur nyenyak.
    Bu Meli tanpa anjing-anjingnya adalah ratu tanpa pengawal. Tidak ada satpam dulu sampai kini di rumah ini, sehingga siapa pun mafhum betapa pelitnya orang ini. Sedikit utang diumbar-umbar. Sedikit bantuan digembar-gemborkan.
    Orang lama-lama mengerti dan kapok, dan seandainya ada pembukaan pendaftaran satpam di rumah si janda, dipastikan tak ada satu pun pendaftar. Orang pelit memang tidak bisa dijadikan teman. Kalau Anda berteman dengan orang pelit dan tersesat berdua di padang pasir, Anda akan lebih dulu mati. Percayalah.
    Maka muncul banyak spekulasi, karena anjing-anjing Bu Meli jumlahnya ada tujuh, juga karena beliau janda cantik yang seksi dan unik—untuk tidak menyebutnya pelit. Ada yang bilang anjing-anjing itu memang sengaja pergi karena jenuh. Tetapi ada juga yang bilang bahwa ada kelompok pecinta binatang yang boleh jadi menggalang dana guna memindahkan anjing-anjing tersebut secara diam-diam ke tempat yang baik bagi mereka.
    "Tempat yang baik itu," demikian kata sebagian pendapat, "adalah tempat yang tak kurang makanan. Ada berbagai wahana permainan yang menyenangkan juga bagi kaum anjing, misalnya mandi bola, perosotan, ayunan, dan lain-lain. Di rumah Bu Meli 'kan tidak ada begituan?"
    "Tapi, bisa saja anjing-anjing itu memang sengaja pergi dan mencari tuan baru. Di kota sebelah ada peternak anjing. Orangnya baik dan tidak pelit, tapi sudah tua dan bau tanah. Barangkali sebentar lagi orang itu mati dan anjingnya yang banyak entah pergi ke mana. Anjing-anjing Bu Meli mana tahu soal 'bau tanah', jadinya mereka kira di tempat peternak tua itu bakal aman sentosa sampai hari kiamat mendatang. Mereka agak bodoh karena kurang gizi dan setiap hari disuruh jaga rumah dari maling dan rampok. Setiap hari jaga melulu. Kalau saya sih sudah gila!"
    Tentu saja, dari berbagai spekulasi ngawur ini, ada yang beranggapan bahwa selalu ada kemungkinan bagi anjing-anjing lapar untuk menyerang dan memakan sendiri sang tuan.
    Dulu pernah di suatu kampung di kota ini, tuan pemilik beberapa ekor anjing pergi meninggalkan rumah selama dua minggu. Anjing-anjing itu tidak diberi makan apa-apa, sehingga mereka memangsa satu sama lain. Suatu hari, di saat kepulangan sang tuan, ada keributan. Tetangga tak berani melihat. Mereka tahu esoknya bahwa tuan itu habis dimakan anjing-anjingnya. Di dekatnya, ada tulang belulang dua ekor anjing lain yang paling lemah.
    "Mungkin mereka tidak sanggup karena Bu Meli kelewat cantik," kata seseorang menimpali, mendengar teori anjing-makan-tuan-sendiri ini.
    "Atau jangan-jangan Bu Meli pasang susuk sehingga anjing-anjing itu terpikat dan barangsiapa yang jatuh cinta tidak mungkin melukai."
    "Memangnya anjing punya perasaan?!"
    "Memangnya ada yang tidak mungkin di dunia ini?"
    Demikianlah, banyak perdebatan lahir di warung-warung kopi dan semua berputar di perkara hilangnya anjing-anjing itu.
    Bu Meli sendiri tidak peduli atas berbagai teori, melainkan ingin tahu bagaimana anjing-anjing itu kabur atau hilang. Antara dua hal—'kabur' atau 'hilang'—yang belum jelas, tapi yang pasti adalah anjing-anjingnya sudah tidak ada di kandang.
    Di pagi ketika Bu Meli sadar anjing-anjing itu tidak ada, gerbang depan terbuka lebar. Tentu, ia tidak akan pusing seandainya ada beberapa barang berharga turut hilang; itu sudah pasti ulah perampok. Mereka bisa saja membunuh anjing-anjing tadi dengan pistol berperedam suara, dan mengangkut tubuh para penjaga gerbang sang pelit untuk dibuang ke pengepul daging anjing demi melahirkan nuansa misteri ala novel detektif.
    Sayang sekali, yang demikian tidak mungkin ada. Barang berharga semuanya utuh. Anjing-anjing tidak dibunuh oleh perampok. Mungkinkah setan? Anjing-anjing itu bisa saja kedatangan para setan dari suatu tempat yang datang untuk menghasut mereka agar memakan habis tubuh seksi Bu Meli. Tubuh sintal yang tentu saja rasanya akan sangat nikmat bagi binatang karnivora. Namun karena anjing-anjing tadi setia, mereka tidak terbujuk. Mereka justru mengejar setan-setan laknat itu sampai ke neraka, dan tentu saja hewan yang tadinya terbiasa menghirup udara bumi, tidak tahan terhadap panasnya api neraka. Ketujuh anjing itu pun mati di neraka!
    Oh, Bu Meli sekarang gusar. Apa pun itu, entah anjing-anjing itu mati di neraka, entah dibunuh para perampok psikopat (karena tidak ada barang berharga hilang), entah mencari rumah peternak anjing tua dan berharap kehidupan yang lebih mengenyangkan di sana, dan entah kelompok pecinta binatang mencuri anjing-anjingnya diam-diam, Bu Meli tidak peduli. Pokoknya, ia harus dapat pengganti yang bisa menjaga pintu gerbang rumahnya yang besar.
    Tentu saja Bu Meli tidak memakai susuk kalau sekadar merasa takut bakal disantap anjing-anjingnya sendiri. Memangnya ada anjing jatuh cinta sama manusia? Bu Meli tidak yakin itu terjadi dan beliau orang yang logis. Lagi pula, kalau pergi ke dukun guna memasang susuk, pastilah bayar banyak dan itu amat merugikannya. Itu tidak pernah ada dalam buku agenda seorang janda bernama Meli, yang seksi, berduit banyak, pelit, dan hidup sendiri ditemani tujuh anjing penjaga.
    Hilangnya anjing-anjing sama dengan hilangnya tingkat keamanan. Bu Meli butuh, pengganti yang bisa menjaga pintu dari ancaman maling dan rampok dan boleh jadi pemerkosa.
    Tersebar luasnya omongan soal dirinya dan anjing yang hilang ini membuat orang yang tadinya tidak tahu Bu Meli, menjadi tahu. Dan kita boleh curiga, bahwa di antara orang-orang tersebut, barangkali ada yang mata keranjang sehingga laki-laki itu lantas membayangkan menerobos masuk rumah tanpa penjaga untuk mengerjai pemiliknya.
    Soal kemungkinan adanya pemerkosa dipikirkan oleh para warga yang kenal betul Bu Meli. Mereka bukan mau memperkosa, tetapi merasa mendapat suatu hidayah dari Yang Mahakuasa, bahwa hidup di dunia ini memang tidak boleh pelit, bahkan terhadap anjing sekalipun.
    Mereka sudah memastikan—meski tanpa bukti—bahwa anjing-anjing Bu Meli itu pergi karena kurang hiburan dan bosan punya majikan pelit yang selalu menyuruh jaga malam, padahal makanan kurang. Tubuh mereka juga butuh asupan gizi lebih banyak, 'kan?
    Kalau saja janda itu tidak pelit, tentu anjing-anjing galak yang berjumlah tujuh itu tidak akan pergi dari rumah yang bagai istana, hingga Bu Meli tidak akan merasa cemas diperkosa orang. Coba saja ada yang berani masuk, sementara tujuh ekor anjing siaga di pintu gerbang, sudah celaka duluan bajingan itu, siapa pun dia. Belum memperkosa, sudah dicabik duluan oleh anjing-anjing, apalagi dalam kondisi lapar. Anjing-anjing itu mungkin saja akan memangsa habis sang penjahat dan tidak ada satu pun tetangga tahu karena anjing-anjing ini sangat rajin. Mereka selalu mengerjakan segala sesuatu dengan rapi.
    Tentu, soal penjahat yang dimangsa anjing ini termasuk di pikiran para warga yang tidak tahu kenyataan tetapi suka berspekulasi. Bu Meli memang pelit, tetapi lihat efek yang dihasilkan. Rumahnya aman dari incaran penjahat. Dan tidak pernah ada kabar maling atau rampok berusaha menyatroni rumahnya, padahal rumah itu paling besar di kawasan ini.
    Sejatinya itu terjadi bukan karena tidak ada yang pernah berniat jahat pada rumah Bu Meli. Tidak adanya kabar penyatronan justru karena anjing-anjing berpesta setiap malam.
    Kalau saja orang tahu, mereka bisa memeriksa halaman samping rumah si janda. Ada tumpukan baju dan tulang belulang, yang belum sempat dikubur karena Bu Meli masih sibuk oleh urusan kantor seminggu ini. Kalau tidak salah sudah empat maling. Dan si janda tidak yakin jumlah itu akan bertambah, karena kini anjing-anjingnya hilang entah ke mana. [ ]

    Gempol, 2018
   
 KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya antara lain: Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri