Skip to main content

[Cerpen]: "Di Kota Aneh Tempat Sebagian Ingatanmu Hilang" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 19 Agustus 2018)

    Aku tidak tahu di mana aku sekarang, tetapi kepalaku pusing dan mendadak terbit pikiran bahwa aku harus segera mencari makan. Di sekitarku tidak ada orang dan kukira ini sudah lewat tengah malam. Aku tahu-tahu terbangun di teras sebuah toko boneka, di waktu sesepi ini.
    Apa yang terjadi?
    Perutku memang lapar, jadi gagasan mencari makan tidak sepenuhnya muncul oleh rasa pusing. Aku melangkah sambil mengingat sesuatu. Mungkin ada yang berbuat jahat padaku, tetapi aku tidak tahu apa alasan seseorang berbuat begitu?
    Aku betul-betul tidak ingat, dan usaha mengembalikan ingatan malah membuatku makin pusing. Aku mengumpat dan terus berjalan dengan tenaga yang aku rasa sebentar lagi bakalan habis. Di suatu pertigaan, aku berhenti dan memandang ke seberang. Ada bangunan besar, sebuah hotel terbengkalai yang kukira sudah puluhan tahun kosong.
    "Hotel ini puluhan tahun tidak difungsikan," kataku begitu saja. Seakan-akan sudah kuketahui sejarah bangunan di depanku. Aku sendiri heran bagaimana mungkin kalimat macam itu keluar dari mulut orang yang baru saja kehilangan ingatan?
    Hotel tersebut boleh jadi memang tidak terpakai sejak lama, sebab dari lantai atas hingga bawah tampak gelap dan penuh bercak-bercak, tetapi aku tahu bangunan tersebut tidak dibiarkan. Di dasar bangunan ada cahaya, dan aku kira ada yang bertugas menjaga bangunan.
    Aku menyebrang dan berpikir mungkin seseorang dapat memberiku makan. Aku juga dapat bertanya kota apa ini, karena aku tidak tahu di mana aku berada. Aku sadar kondisiku yang awut-awutan tidak memungkinkan mengetuk satu per satu pintu rumah warga, karena bisa menimbulkan keributan. Siapa pun yang menjaga tempat ini aku anggap biasa menemui keanehan, sehingga tidak kaget ketika melihat kedatanganku.
    Dengan yakin aku melintasi gerbang hotel tua tersebut dan mencari sumber cahaya, yang ternyata berada di sisi lain gerbang, sehingga aku masih harus jalan melewati suatu sudut gelap dan berbau pesing. Seseorang duduk di dekat perapian tidak jauh dari sudut itu, dan di titik ini rasa pusingku meningkat beberapa persen, sehingga kupikir aku mungkin mati detik ini juga. Kuhentikan langkah dan berpegang pada sebatang pohon.
    "Anda sakit?" tanya orang itu.
    Aku mengangguk, tapi pria berjanggut itu tidak menoleh dan tidak memandangku, dan aku berpikir mungkin ia memahami kondisiku dan memaklumi pertanyaan lancang yang bakal kulontarkan. Tampaknya orang ini sedang asyik membakar jagung.
    "Boleh minta jagungnya?" kataku tanpa sungkan.
    Pria itu tidak begitu saja menoleh atau merespons permintaanku, tetapi bergumam dan bersiul hingga sepuluh detik, sebelum akhirnya bangkit berdiri dan menghampiriku. Aku jelaskan kepadanya bahwa aku tidak tahu bagaimana tadi terbangun begitu saja di depan toko boneka, dan aku juga tidak tahu nama kota ini. Barangkali seseorang yang sangat jahat belum lama ini menculikku dan menyuntikkan obat perusak ingatan.
    Selama kujelaskan keadaanku, pria penjaga bangunan tua bekas hotel ini—biarlah aku sebut saja begitu—tidak menyela, dan tidak juga membantah tentang sesuatu yang kelihatannya aneh. Kalau dipikir-pikir, memang aneh juga. Seseorang menculikmu, itu adalah satu perkara, tetapi seseorang bertampang tidak terlalu meyakinkan, itu bisa jadi lain soal.
    Pria penjaga bangunan tua bekas hotel barangkali berpikiran bahwa aku ini cuma tunawisma yang malas bekerja. Ia juga boleh jadi mengira aku orang gila, dan tidak ada orang gila yang bicaranya mulus. Maksudnya, tidak ada orang gila bicara soal sesuatu yang simpel dan masuk akal. Pemikiran ini mungkin muncul karena kepalaku sangatlah pusing, tetapi aku tahu itu bisa terjadi. Aku tahu si penjaga bangunan ini memang punya pikiran macam itu; bahwa aku adalah penipu, dan bahwa tampangku yang tidak terlalu meyakinkan ini bukan seseorang yang pantas diculik. Aku semakin yakin saja dengan prasangkaku, sebab ia memandangiku dari atas hingga bawah.
    "Bung makan saja dan tidak usah banyak omong," katanya, sebelum membimbing langkahku menuju perapian.
    Aku mengangguk canggung dan mengucap terima kasih empat kali. Setelah kami berdua sama-sama duduk, pria penjaga bangunan tua bekas hotel menyodorkan jagung yang sudah matang kepadaku, tetapi kurasa tidak ada sedikit pun bumbu ditabur di sana. Aromanya kentara, tetapi aku tidak patut protes, dan menyantap jagung bakar tanpa rasa adalah sebuah anugerah di malam seaneh ini.
    Selama aku makan, pria penjaga bangunan tua bekas hotel merapikan sesuatu dekat tempat duduknya, dan setelah melihatku tampak penasaran dengan apa yang dia lakukan, orang itu bilang, "Ini tempat tinggal saya, Bung, tetapi tidak ada barang atau perabot apa pun lebih dari yang sedang saya rapikan."
    Aku mengangguk dan bertanya untuk kedua kali, selagi mengunyah jagung, bahwa aku tidak tahu nama kota ini dan aku berhak tahu. Aku juga bertanya soal tempat mana pun di dekat-dekat sini yang dapat memungkinkanku bertemu polisi.
    Mendengar ucapan barusan, pria ini memandangiku sinis dan berkata, "Tidak ada semua itu. Makan saja dan jangan banyak omong seperti yang sudah saya bilang!"
    "Saya betul-betul ingin pulang!"
    Aku kira, orang yang sudah baik karena memberiku jagung bakar ini, adalah orang yang mau membantu minimal menunjukkan sesuatu yang memang kubutuhkan. Orang hilang ingatan dan tidak tahu di mana dia sedang berada, bukankah memang seharusnya menemui polisi?
    Sayangnya, pria penjaga bangunan tua bekas hotel itu mengabaikan kalimatku, dan malah mengambil terompet di antara tumpukan barangnya tadi, dan tindakan itu justru merobohkan tumpukan barang yang sudah rapi. Dengan jengkel, sementara di kejauhan terdengar tembakan, pria itu mengumpat dengan amat keras dan ia menuduhku merusak malamnya yang tenang.
    "Saya tidak merusak malam Anda yang tenang, dan ingat, saya ini orang tersesat!" semburku.
    Jagung bakar di tanganku nyaris habis, tapi aku sudah tidak bernafsu pada jagung bakar paling lezat sekalipun, sehingga kubanting tangkai jagung tersebut ke perapian. Hanya karena makan jagung busuk tak harus membuatku rela dikambing-hitamkan.
    Melihat tindakanku, pria penjaga bangunan tua bekas hotel terdiam. Ia mengambil terompetnya yang tergeletak di dekat beberapa batang jagung yang belum dibakar, dan memeluk terompet tersebut sambil memandangiku dengan kesan bahwa aku ini tidak ada.
    Entah bagaimana aku berpikiran begitu, tetapi pria aneh tersebut seakan merasa tak perlu melanjutkan perdebatan denganku. Ia menatapku sesaat, tapi pandangannya seolah tembus pandang, dan yang ia amati tidak lebih dari sesuatu di balik punggungku. Sikap anehnya membuatku mengira orang ini sinting. Ia pasti punya masalah pada kepalanya, dan barangkali bernasib hampir sama sepertiku: tidak tahu jalan pulang.
    Tentu saja aku tidak dapat memastikan itu jika tanpa bertanya terlebih dulu kepada yang bersangkutan, tetapi aku sendiri bahkan tidak tahu masalah apa yang kualami. Aku terbangun di depan toko boneka, di jam selarut ini, dan tidak ada satu pun yang dapat kuingat.
    Aku memang dapat mengingat bahwa di rumahku, di suatu tempat yang amat jauh dari sini, berdiam istriku bersama dua anak yang cemas menungguku pulang. Memang aneh. Aku sadar di tempat lain ada orang-orang yang kumiliki, tetapi aku juga sadar aku tidak ingat apa pun di tempat ini. Seseorang mungkin memang berniat jahat kepadaku, dan ia memberiku sesuatu yang membuat isi kepalaku jadi sekacau ini.
    Karena yakin pria penjaga bangunan tua bekas hotel tidak mungkin bisa membantu, aku berdiri dan bilang terima kasih. Tetapi orang itu segera mencegahku dan mengucap penyesalannya karena sudah menyambutku dengan cara yang tidak baik.
    "Saya sudah tidak sopan, Bung. Seharusnya memang Anda segera ke kantor polisi, tetapi sebenarnya saya sendiri tidak begitu paham tempat ini," katanya dengan tampang penuh keraguan.
    "Anda bilang tempat ini rumah Anda?"
    "Ya, tetapi itu klaim sepihak, dan tak ada orang di sekitar sini selama sebulan. Saya rasa hanya hantu-hantu yang menghuni tempat ini."
    "Memang bangunan ini sudah tua. Papan besar bertuliskan nama hotel itu saja bisa sewaktu-waktu copot dan menimpa kepala orang. Dan orang yang tertimpa itu bakalan mati," tukasku.
    "Bukan begitu, Bung."
    Pria penjaga bangunan tua bekas hotel, yang ternyata baru sebulan menetap di sini, jelas bukanlah orang yang ditugasi menjaga bangunan ini. Dia tampak cemas dan tidak lagi memandangku seakan-akan aku adalah makhluk khayalan. Dan memang orang ini mengakui hal itu; dia bilang dia sempat curiga aku tidak pernah benar-benar ada, dan apa yang dia alami barusan bersamaku adalah semacam pertanda bahwa dia memanglah sinting.
    "Saya barangkali memang sinting," katanya melanjutkan, "tetapi Bung harus tahu apa yang saya maksud. Tidak ada orang. Anda dengar? Tidak ada orang sama sekali dan yang saya maksud itu bukan hanya sekadar bangunan laknat yang sedang kita jadikan tempat berteduh!"
    "Kepala saya pusing dan sekarang Anda malah membuatnya jauh lebih parah!"
    Pria aneh itu meminta maaf dan dengan segera mengemasi barang-barangnya, lalu memintaku untuk pergi bersamanya dalam rangka mencari kantor polisi. Aku tidak tahu bagaimana mungkin dugaanku kepada orang ini nyaris seratus persen benar, tetapi tidak ada waktu membicarakan soal itu.
    Kami terus berjalan melintasi trotoar dan sesekali masuk toko untuk mengambil makanan atau apa pun. Kami terus berjalan dan aku merasa sangat aneh, sebab kota yang sedemikian besar ini memang kosong melompong tanpa ada seorang pun terlihat selain kami.
    Sampai bertahun-tahun kemudian, kantor polisi itu tidak pernah ketemu, tetapi ada satu hal yang membuatku yakin bahwa sebenarnya kami tidak sinting: bahwa di kota ini, tidak pernah ada matahari terbit. Dan aku tahu, alam tidak mungkin berbohong, kecuali jika seseorang terjebak di dunia yang bukan tempatnya pulang. [ ]
   
    Gempol, 15 April-1 Agustus 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri