(Dimuat di Haluan, Minggu, 3 Desember 2017)
Tengah malam saya terbangun. Saya pungut satu per satu kesadaran yang rontok ke bantal. Saya cari kacamata dan memasangnya. Ini kelewat batas. Bukan baru sekali saya bangun tengah malam. Entah berapa kali.
"Sudah waktunya diberi pelajaran!"
Saya bangkit. Di pinggir kasur ada kursi. Di situ setumpuk buku tentang satu tokoh berpengaruh di kota ini saya taruh; pagi sebelumnya saya ke perpustakaan dan pinjam buku-buku buat bahan menulis novel sejarah. Saya pindah setumpuk buku itu ke kasur dan saya geser kursi biar ada tempat longgar.
Mau tidak mau, karena pekerjaan ini—buku-buku lumayan berat, ada kali sepuluh kilo—rasa kantuk saya pelan-pelan lenyap. Kalau diibaratkan hape, barangkali baterai saya dua puluh persen, dan nambah walau tidak di-charge. Demi hal satu ini, malam ini saya rela waktu tidur terpotong. Tak lagi seperti malam-malam terdahulu yang berakhir dengan tutup kepala oleh bantal, karena saya tidak mau badan saya pegal-pegal sebab kurang tidur.
Suara itu dari balik tembok kamar saya. Sudah empat belas kali saya mengadu ke Bu Kosasih, induk semang, bahwa tetangga saya yang tertutup dan aneh itu membikin kegaduhan yang tidak layak, yang entah dari aktivitas apa.
"Maksud Anda gimana, Pak?" tanya perempuan paruh baya yang ada tahi lalat di dagunya itu, ketika pengaduan pertama saya utarakan. Ia waktu itu mengelus kucing kesayangannya, Antoinette.
"Bu Kosasih tegur orang itu."
"Wah, kamar saya kejauhan, Pak. Lagian ditegur sendiri bisa, 'kan?"
Tentu tidak enak kalau harus saya yang menegur tetangga kamar kost itu. Memang siapa saya? Dia juga sama-sama bayar dan yang punya tempat bukan saya. Mestinya Bu Kosasih paham, karena beliaulah yang berkuasa. Tapi toh saya diam saja dan balik ke kamar sambil mendengus. Saya rasa Bu Kosasih dengar, tapi biar sajalah. Dengar tidak dengar, perawan tua itu tetap lebih mementingkan kucingnya dan uang kost per bulan, daripada kenyamanan orang yang membayarnya demi kamar selebar empat kali empat meter.
Saya sendiri mestinya bisa membayar kamar yang lebih bersih dan luas dan tenang. Bahkan bukan cuma kamar, melainkan rumah. Jadi setiap saat kalau butuh ketenangan, tidak harus merusak kesenangan seseorang dengan kucingnya. Tapi, karena pengeluaran akhir-akhir ini mencekik—si sulung habis operasi karena kecelakaan—saya ambil jalan aman. Saya pilih kamar yang tidak mahal di kota ini demi segera selesainya novel itu.
Memang, bekerja total sebagai penulis cerita, kondisi ekonomi selalu pasang surut. Kadang di atas, kadang di bawah. Saat ini, saya bayangkan saya menjelang meluncur ke bawah. Royalti novel yang sudah terbit agak macet dan honor cerita pendek di beberapa koran belum dibayar. Kalau saya paksa nyewa tempat lebih bagus, kasihan anak istri. Jadi, itulah bagaimana saya bertahan di sini dan meresmikan—dalam hati tentu—bahwa tetangga aneh saya itu adalah musuh yang harus dibasmi.
Saran teman saya, "Baiknya kamu garap di rumah. Jauh dari istri gak enak, lho."
Saya bilang, saya tahu jauh dari istri dan anak-anak tidak enak. Istri di rumah lagi hamil. Dua anak saya yang sekolah juga tidak lagi punya teman bermain di hari Minggu. Mereka biasa saya ajak pakansi entah ke mana. Dan saya juga tahu kalau garap novel itu lebih enak di rumah.
"Tetapi ini penting. Harus benar-benar didalami. Dengan terbitnya novel ini—yang mungkin bakal jadi masterpiece saya kelak—nasib saya berubah. Tidak menjelang ke bawah, tapi balik lagi ke atas persis seperti dua tahun lalu. Bedanya, roda itu macet dan biarlah saya terus di atas. Penulis lain kelaparan, dan saya tidak. Bisa kamu bayangkan alangkah hebatnya itu?"
Teman saya manggut-manggut. Dia tahu, dua tahun lalu beberapa buku saya bisa dibilang lumayan laku.
Saya tambahkan, kepada teman yang juga menggeluti dunia penulisan itu, "Saya di sini bukan liburan, tetapi kerja. Kamu tahu kerjaan kita memang begini. Dan saya mau novel ini selesai dengan sempurna. Selain melihat langsung tempat-tempat yang punya kaitan sejarah dengan si tokoh, saya juga wawancara beberapa narasumber, saksi hidup, bila diperlukan. Iitu berguna. Novel ini akan mengalahkan karya penulis lain. Kamu nanti boleh iri. Lihat saja."
Lalu teman saya menyuruh saya bersabar. Dia bilang, seorang penulis yang baik memang butuh istirahat. Kalau tidak, bisa mati muda. Dan seorang penulis yang baik, katanya lagi, tidak boleh banyak emosian, sebab bisa mengganggu cerita yang ditulis. Apa jadinya kalau cerita novel berlatar sejarah ini kacau? Bukan penghargaan dan kursi di puncak roda, malah hidup saya miskin sampai kiamat. Itulah kenapa teman saya yang baik kemudian memaklumi kebencian saya pada si tetangga yang suka membangunkan orang pada tengah malam. Hal demikian bisa mengancam misi saya sebagai penulis berbakat.
Saya tidak tahu apa yang tetangga saya lakukan. Suara itu bukan suara mesum. Suara itu juga bukan suara orang bertengkar. Suara itu semacam suara orang bertukang, tapi juga sesekali seperti rintihan kecil. Entah apa itu. Kalau memang ia bertukang, tak tahu yang digarap, karena suaranya lebih lembut dari memaku tembok atau menggergaji daun pintu.
Malam demi malam suara-suara ini bikin saya bangun dan menutupi kepala dengan bantal biar bisa tidur. Butuh satu atau dua jam hingga kembali lelap, tapi kebanyakan tak sesukses itu. Biasanya saya akan begadang sampai subuh, di tempat tidur, menunggu suara-suara itu hilang, sambil memikirkan apa yang bisa saya lakukan demi menyudahi si gila itu dari aktivitas malamnya?
Saya berbaring dan menatap langit-langit kamar dan membayangkan si tetangga itu ketawa-ketiwi karena pekerjaannya lancar. Pastilah selalu lancar karena tidak ada yang ganggu. Kebalikan, justru saya yang tidak lancar karena besok paginya saya tidak bisa menulis kecuali tidur sampai jam dua belas siang. Waktu saya terbuang, padahal target menulis novel ini saya tetapkan dua bulan. Sementara, sebulan lewat, saya baru sampai bab tiga! Ini tidak lain karena ulah si tetangga sinting.
Suatu ketika saya tempelkan kuping ke tembok. Saya dengar suara itu lebih jelas. Sesekali pukulan, serupa hakim mengetok meja sidang. Tapi di lain waktu bisa berubah dengan desah lelaki. Ah, bukan desah, tepatnya ekspresi kenikmatan seperti ketika Anda menjilati bekas es krim di tepi bibir. Lalu, rintihan itu juga. Apa sih yang dia perbuat?
Oleh karena gagal memastikan model keberisikan apa itu—apakah ia bertukang atau mengerjakan kegilaan apalah—saya relakan waktu menulis saya esok paginya demi menunggunya keluar.
Dari Bu Kosasih saya tahu orang itu keluar empat hari sekali (saya jarang keluar di pagi dan siang hari, karena sibuk kerja—walau tidak bisa dibilang begitu, karena saya pusing merampungkan bahkan sekadar lima paragraf! Tapi, apalah artinya penulis kalau tanpa berpikir, sehingga itu pun bisa disebut bekerja. Titik!).
"Kalau boleh saya tahu, pergi ke mana, Bu?" tanya saya pada induk semang.
"Nggak tahu. Emang saya ibunya?" jawab Bu Kosasih sewot. Kaget juga. Tapi saya mengalah karena akhir-akhir ini saya juga agak sewot padanya karena aduan saya tidak pernah ditanggapi.
Bu Kosasih mengelus-elus Antoinette, sambil memandang saya dari ujung rambut hingga sepatu, lalu bertanya, "Kenapa? Ada masalah?"
Saya jawab: Tidak. Saya cuma mau tahu dan kenal lebih dekat dengan tetangga itu. Saya mau bicara baik-baik agar dia tidak lagi berisik setiap malam. Saya harus segera selesaikan novel itu, tambah saya, karena bila itu selesai, karier saya kembali menanjak dan para penulis lain boleh gigit jari.
Akhirnya Bu Kosasih bilang bahwa tetangga saya yang ternyata bernama Madrim itu menjenguk pacarnya yang sakit. Beliau tidak tahu siapa perempuan ini dan sakit apa. Sebulan lebih tidak sembuh-sembuh. "Saya gak akrab," kata induk semang ini, lantas melepas si kucing yang ke dapur; mungkin mencari makan. "Karena seperti Pak Penulis, si Madrim juga orang baru di sini."
Saya bilang terima kasih dan pamit keluar.
***
Saya tidak tahu dia pergi ke mana. Saya telat. Dia sudah pulang dari rumah pacar yang entah di mana, sambil menenteng karung—Bu Kosasih bilang si Madrim suka bawa karung, entah buat apa.
Turun dari bus, Madrim jalan kaki ke rumah kost. Saya buntuti dari belakang. Di depan kamar, saya tegur dia. Kami berkenalan singkat. Baru tahu kalau dia juga penulis yang karyanya sering mejeng di koran nasional. Saya cuma bilang, "Oh!" Dia buru-buru masuk. Katanya, ada yang harus dikerjakan. Karung di tangannya menguarkan bau amis.
"Apa?"
Belum sempat saya menerobos, pintu ditutup.
Malamnya Bu Kosasih heboh. Seisi rumah—beberapa orang yang juga ngekost— kumpul di ruang tengah. Antoinette hilang! Perempuan itu ingin kucingnya ketemu malam ini juga.
Tapi Madrim tidak gabung. Saya dan seorang bapak-bapak menjemputnya. Dia tidak keluar. Diketuk-ketuk, dipanggil-panggil, diam saja. Terpaksa pintu kami gedor dan akhirnya dibuka juga.
"Astagfirullah!"
Saya mendesah, lalu menangis. Tidak tahu kok air mata ini mendadak murah.
Di situ, di samping kasur, Madrim lembut menyuapi anak-anak kucing. Baru saya tahu kalau selama ini dia berisik karena bertukang: bikin kasur buat anak-anak kucing yang—kalau tidak salah dengar—sebanyak tiga puluh dua ekor. Empat hari sekali ke pasar buat beli makanan, sekaligus mampir ke penjual ikan, namanya Bu Jum, yang sakit kanker dan butuh uang. Kadang ia juga mencari bayi kucing yang dibuang. Itulah yang bikin pekerjaan bertukangnya tidak selesai-selesai.
Antoinette di mana? Dia lagi makan!
Madrim menyuruh saya masuk dan sharing soal novel yang lagi ia garap, tapi saya berdiri kaku. Saya tahu saya terlalu ambisi mengejar hasil. Sedangkan ia, tetangga yang saya kira sinting, tidak bekerja untuknya sendiri. [ ]
Gempol, 2016 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya tersebar di berbagai media cetak dan online. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).