Kejadian-kejadian
kecil di sekitar kita sering kali, secara aneh dan tanpa kita sadari,
berpengaruh besar bagi kehidupan kita di masa mendatang. Contohnya
ketika saya mengenal seorang teman saat di Jakarta. Saya kenal dia
secara tidak sengaja, yakni karena kami kebetulan mengenal teman yang
sama, sehingga pada satu kesempatan di suatu weekend, bersama
teman-teman lain, saya dan dia pergi ke tempat futsal. Perkenalan ini
berlanjut ke omong-omong panjang, karena sepatu saya rusak sehingga
tidak ikut bermain, sedangkan dia memang sengaja tidak ikut main. Hanya
datang dan menonton saja. Jadi, kami berdua dan seorang teman lain duduk
di tepi lapangan dan membahas hal-hal apa pun.
Teman baru ini ternyata cukup ramah saat diajak mengobrol, walau kelihatannya pendiam dan tertutup. Pada akhirnya saya tahu dia orangnya terbuka pada beberapa hal terkait impiannya. Dia pernah, karena tidak punya kenalan dan buntu ide, mengajak saya kolaborasi di audisi IMB jilid 1. Karena saya sudah punya grup, jadi saya tolak ajakan dia dengan halus. Dia tidak masalah. Dia bisa tampil sendirian. Hanya saja, ketika hari audisi, dia tidak datang entah dengan alasan apa.
Saya tahu dia sebetulnya punya banyak mimpi, tetapi tidak pernah benar-benar berusaha mencapainya. Saya tahu dia begitu besar mengharap pada masa depan yang baik dari impiannya itu, tetapi kurang memiliki hasrat untuk berusaha. Dalam setiap acara kumpul-kumpul, di mana beberapa dari teman kami membicarakan soal peluang-peluang
di industri hiburan, dia yang terlihat paling pasif. Bahkan, karena
kepasifannya ini, saya sampai berpikir, dia sama sekali tidak berminat
dengan pembicaraan jenis ini.
Sebagai teman, saya coba memotivasinya. Saya coba mengenalkannya pada beberapa orang yang kiranya bisa dia jadikan batu lompatan ke tahap yang dia harapkan, tetapi tanggapannya nyaris selalu negatif. Alasannya bermacam-macam, dan yang paling sering saya dengar adalah: dia masih tidak enak badan.
Teman saya ini perokok berat. Saya lihat hari demi hari badannya semakin kering. Hari demi hari, ketika dia melamun, tatapan matanya lebih sering menunjukkan keputusasaan. Mungkin, karena keberadaan saya dan teman-teman lain di sekelilingnya yang suka bercanda ini, tidak terlalu membuatnya putus asa. Benarkah dia putus asa? Saya belum benar-benar tahu.
Suatu hari, dari seseorang yang saya percaya sebagai pemberi informasi terbaik, saya tahu teman saya ini diam-diam putus asa karena impiannya menjadi musisi terhalang oleh hampir semua aspek. Terutama adalah kepercayaan diri dan jenis musik yang dia usung. Ditambah mendengar pengalaman seorang teman lain (yang juga dia kenal), yang benar-benar berhasil menembus dapur rekaman milik musisi kenamaan Indonesia, sekalipun "hanya" membuat mini album dengan video klip yang tak terlalu populer, teman saya yang satu ini seketika kendor. Kejamnya industri musik dari kesaksian teman kami yang paling berhasil saat itu, seakan mencerabut banyak hal dari dirinya, dan yang tersisa pada titik itu hanyalah jalan buntu.
Informan tadi bersumpah melihat begitu banyak kaset rekaman yang teman saya bawa dari kampungnya, yang tak pernah dia tunjukkan ke siapa-siapa. Ketika akhirnya dia tahu saya punya impian lain ke bidang literasi, dia juga bilang betapa itu juga jadi salah satu keinginannya. Tentu saja saya senang mendengarnya. Saya sampaikan gagasan-gagasan
saya soal naskah yang saya rencanakan. Saya juga sampaikan soal upaya
yang harus kami mulai jika ingin buku karya kami benar-benar terbit dan
masuk toko buku. Tapi, apa yang dia bilang?
"Susah, Bro. Untuk ke arah sana, itu sangat susah."
Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika saya memikirkan soal keputusasaan dan harapan, saya pikir saya belum pernah menemukan seorang pun yang merasa seputus asa teman saya ini, sekaligus enggan untuk setidaknya mencoba melakukan sesuatu demi mimpinya.
Saya tidak pernah bertemu lagi dengan teman ini, yang saya kenal secara tak sengaja ketika ingin ke lapangan futsal bertahun-tahun silam. Saya tak tahu juga bagaimana kabarnya sekarang. Tetapi, hingga hari ini, jika saya ingat saya punya cita-cita, kemudian tergoda untuk berhenti mengusahakan apa pun hanya karena lelah, terlalu sering gagal, banyaknya orang sinis dan iri dan nyinyir di sekitar, saya hampir selalu teringat wajahnya. Betapa saat-saat terakhir kami bertemu, dia semakin jauh dari kondisi baik. Kami tidak bisa membantunya, karena bahkan dia sendiri tidak berhasrat membantu dirinya sendiri. Jika saya ingat akan kejadian-kejadian itu, saya tahu saya tidak seharusnya berhenti, apa pun yang terjadi.
Teman baru ini ternyata cukup ramah saat diajak mengobrol, walau kelihatannya pendiam dan tertutup. Pada akhirnya saya tahu dia orangnya terbuka pada beberapa hal terkait impiannya. Dia pernah, karena tidak punya kenalan dan buntu ide, mengajak saya kolaborasi di audisi IMB jilid 1. Karena saya sudah punya grup, jadi saya tolak ajakan dia dengan halus. Dia tidak masalah. Dia bisa tampil sendirian. Hanya saja, ketika hari audisi, dia tidak datang entah dengan alasan apa.
Saya tahu dia sebetulnya punya banyak mimpi, tetapi tidak pernah benar-benar berusaha mencapainya. Saya tahu dia begitu besar mengharap pada masa depan yang baik dari impiannya itu, tetapi kurang memiliki hasrat untuk berusaha. Dalam setiap acara kumpul-kumpul, di mana beberapa dari teman kami membicarakan soal peluang-peluang
Sebagai teman, saya coba memotivasinya. Saya coba mengenalkannya pada beberapa orang yang kiranya bisa dia jadikan batu lompatan ke tahap yang dia harapkan, tetapi tanggapannya nyaris selalu negatif. Alasannya bermacam-macam,
Teman saya ini perokok berat. Saya lihat hari demi hari badannya semakin kering. Hari demi hari, ketika dia melamun, tatapan matanya lebih sering menunjukkan keputusasaan. Mungkin, karena keberadaan saya dan teman-teman lain di sekelilingnya yang suka bercanda ini, tidak terlalu membuatnya putus asa. Benarkah dia putus asa? Saya belum benar-benar tahu.
Suatu hari, dari seseorang yang saya percaya sebagai pemberi informasi terbaik, saya tahu teman saya ini diam-diam putus asa karena impiannya menjadi musisi terhalang oleh hampir semua aspek. Terutama adalah kepercayaan diri dan jenis musik yang dia usung. Ditambah mendengar pengalaman seorang teman lain (yang juga dia kenal), yang benar-benar berhasil menembus dapur rekaman milik musisi kenamaan Indonesia, sekalipun "hanya" membuat mini album dengan video klip yang tak terlalu populer, teman saya yang satu ini seketika kendor. Kejamnya industri musik dari kesaksian teman kami yang paling berhasil saat itu, seakan mencerabut banyak hal dari dirinya, dan yang tersisa pada titik itu hanyalah jalan buntu.
Informan tadi bersumpah melihat begitu banyak kaset rekaman yang teman saya bawa dari kampungnya, yang tak pernah dia tunjukkan ke siapa-siapa. Ketika akhirnya dia tahu saya punya impian lain ke bidang literasi, dia juga bilang betapa itu juga jadi salah satu keinginannya. Tentu saja saya senang mendengarnya. Saya sampaikan gagasan-gagasan
"Susah, Bro. Untuk ke arah sana, itu sangat susah."
Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika saya memikirkan soal keputusasaan dan harapan, saya pikir saya belum pernah menemukan seorang pun yang merasa seputus asa teman saya ini, sekaligus enggan untuk setidaknya mencoba melakukan sesuatu demi mimpinya.
Saya tidak pernah bertemu lagi dengan teman ini, yang saya kenal secara tak sengaja ketika ingin ke lapangan futsal bertahun-tahun silam. Saya tak tahu juga bagaimana kabarnya sekarang. Tetapi, hingga hari ini, jika saya ingat saya punya cita-cita, kemudian tergoda untuk berhenti mengusahakan apa pun hanya karena lelah, terlalu sering gagal, banyaknya orang sinis dan iri dan nyinyir di sekitar, saya hampir selalu teringat wajahnya. Betapa saat-saat terakhir kami bertemu, dia semakin jauh dari kondisi baik. Kami tidak bisa membantunya, karena bahkan dia sendiri tidak berhasrat membantu dirinya sendiri. Jika saya ingat akan kejadian-kejadi