Ketika masih sering-seringnya
latihan ngeband pada tahun 2007-2008 lalu, saya berpikir, "Sepuluh
tahun dari sekarang, mungkin band ini bakalan makin solid dan boleh jadi
terkenal sehingga punya album atau minimal single yang laris di
radio-radio."
Saat itu saya masih kelas sebelas dan memendam banyak impian, utamanya di band yang sedang saya dan teman-teman rintis. Tidak ada pikiran saya bakal menulis prosa atau skenario--yang pada akhirnya memang terjadi. Menulis memang salah satu cita-cita saya, tapi menjadi anak band juga cita-cita saya. Posisi keduanya sama-sama kuat, dan karena lingkungan lebih mendukung ke arah seni musik, maka ngeband adalah alternatif bagi saya untuk istirahat sejenak dari pikiran-pikiran
sumpek sebagai anak sekolah (dengan cinta monyet, teguran ortu, PR yang
selalu menumpuk, guru-guru yang kadang mengerikan, dan lain
sebagainya).
Ada satu titik di mana saya gabung dengan beberapa band sekaligus, sehingga suatu kali jadwal latihan berbenturan dan drummer saya misuh-misuh karena teleponnya tidak saya angkat. Pernah juga berjalan kaki sekian jauhnya gara-gara ban motor yang saya dan dua anggota band baru saya tumpangi bocor. Saat itu band A, sebut saja begitu, membawakan lagu-lagu pop dan umum, tetapi band B, yang personelnya cuma tiga ini, membawakan lagu-lagu anti mainstream. Jadi, agak bergaya juga saya, sebab bisa main gitar untuk bukan hanya jenis musik yang itu-itu saja.
Dalam fase ini, saya menulis banyak puisi. Rekam jejak literasi saya dimulai dari sini, tanpa saya sadari. Puisi-puisi itu rencananya saya jadikan lagu-lagu, tapi tentu saja sebagian besar hanya menjadi setumpuk puisi tak berguna.
Sepuluh tahun lalu saya begitu yakin hari ini band yang saya rintis itu sukses; entah antara band A atau B. Nyatanya keduanya sama-sama bubar karena ketidakcocokan dan berpisahnya kami setelah lulus SMA.
Ketika menyadari harapan-harapan
sepuluh tahun silam yang lugu dan bagaimana akhirnya saya menjalani
hidup justru sebagai prosais yang bahagia--salah satu yang juga saya
impikan, namun dalam sunyi--, suatu pagi saya merasa syahdu.
Berputarnya waktu menghasilkan banyak hal yang di luar jangkauan akal. Hal-hal yang tidak pernah terbayangkan boleh jadi datang suatu hari nanti dan kita tak bisa menolaknya, malah dengan suka hati menerima. Detil-detil kecil: bertemu beberapa penyuka buku ketika mencoba peruntungan di ibukota, bertemu penipu-penipu biadab, bertemu orang-orang dengan ketabahan tingkat tinggi, dan lain-lain, membawa saya kepada hidup saya hari ini.
Kalau saya ini sebidang puzzle, bisa saya bayangkan, bagian terbesar yang menyusun diri saya adalah masa-masa SMA dan masa ketika pertama kali menginjak tanah Jakarta sebagai perantau.
Saat itu saya masih kelas sebelas dan memendam banyak impian, utamanya di band yang sedang saya dan teman-teman rintis. Tidak ada pikiran saya bakal menulis prosa atau skenario--yang pada akhirnya memang terjadi. Menulis memang salah satu cita-cita saya, tapi menjadi anak band juga cita-cita saya. Posisi keduanya sama-sama kuat, dan karena lingkungan lebih mendukung ke arah seni musik, maka ngeband adalah alternatif bagi saya untuk istirahat sejenak dari pikiran-pikiran
Ada satu titik di mana saya gabung dengan beberapa band sekaligus, sehingga suatu kali jadwal latihan berbenturan dan drummer saya misuh-misuh karena teleponnya tidak saya angkat. Pernah juga berjalan kaki sekian jauhnya gara-gara ban motor yang saya dan dua anggota band baru saya tumpangi bocor. Saat itu band A, sebut saja begitu, membawakan lagu-lagu pop dan umum, tetapi band B, yang personelnya cuma tiga ini, membawakan lagu-lagu anti mainstream. Jadi, agak bergaya juga saya, sebab bisa main gitar untuk bukan hanya jenis musik yang itu-itu saja.
Dalam fase ini, saya menulis banyak puisi. Rekam jejak literasi saya dimulai dari sini, tanpa saya sadari. Puisi-puisi itu rencananya saya jadikan lagu-lagu, tapi tentu saja sebagian besar hanya menjadi setumpuk puisi tak berguna.
Sepuluh tahun lalu saya begitu yakin hari ini band yang saya rintis itu sukses; entah antara band A atau B. Nyatanya keduanya sama-sama bubar karena ketidakcocokan dan berpisahnya kami setelah lulus SMA.
Ketika menyadari harapan-harapan
Berputarnya waktu menghasilkan banyak hal yang di luar jangkauan akal. Hal-hal yang tidak pernah terbayangkan boleh jadi datang suatu hari nanti dan kita tak bisa menolaknya, malah dengan suka hati menerima. Detil-detil kecil: bertemu beberapa penyuka buku ketika mencoba peruntungan di ibukota, bertemu penipu-penipu biadab, bertemu orang-orang dengan ketabahan tingkat tinggi, dan lain-lain, membawa saya kepada hidup saya hari ini.
Kalau saya ini sebidang puzzle, bisa saya bayangkan, bagian terbesar yang menyusun diri saya adalah masa-masa SMA dan masa ketika pertama kali menginjak tanah Jakarta sebagai perantau.